عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
"Dari Abu Bakrah, bahwasanya dia sampai ke (jama’ah sholat) Nabi ketika beliau sedang rukuk. Maka ia rukuk sebelum masuk shaff (kemudian masuk shaff sambil rukuk). Ia lalu menceritakan hal tersebut kepada Nabi saw, beliau lalu menjawab, 'Semoga Allah menambahkan semangat kepadamu dan jangan kamu ulangi lagi'." (dicantumkan rujukan: Shahih al-Bukhari Kitab al-Adzan, Bab Idza raka’a dunas shaff no.783) Selanjutnya, pengasuh rubrik Istifta bulletin ini menyampaikan penjelasan para ulama tentang hadis tersebut, antara lain Al-Hafizh Ibnu Hajar, Imam Al-Bukhari, dan Jumhur ulama. Namun amat disayangkan, penisbatannya kepada para ulama itu tidak cermat, untuk tidak menyebut tasaahul (ceroboh), dengan pertimbangan sebagai berikut: A. ‘Potong Kompas’ Maksud Ibnu Hajar Pengasuh rubrik itu mencantumkan penjelasan Ibnu Hajar dengan redaksi sebagai berikut: “Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, dalam hadits ini Nabi saw tidak menyuruh mengulangi raka’at tersebut kepada Abu Bakrah.” (dicantumkan rujukan: Fathul-Bari bab idza raka’a dunas-shaff) Dengan redaksi sedemikian itu, pengasuh Buletin sedang “berusaha” menginjek opini pribadi dalam rangkaian penjelasan Ibnu Hajar dengan cara 'potong kompas' atau mencari 'jalan pintas', sehingga dapat menimbulkan kesan pada pembaca bahwa begitulah pendapat Ibnu Hajar terhadap hadis Abu Bakrah tersebut. Padahal, sejatinya Ibnu Hajar sedang menguraikan perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi permasalahan sah dan tidaknya makmum sendirian berdiri di belakang shaf berdasarkan hadis Wabishah bin Ma’bad di satu pihak, dan hadis Abu Bakrah pada pihak lainnya. Ibnu Hajar berkata:وَذَهَبَ إِلَى تَحْرِيمِهِ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَبَعْضُ مُحَدِّثِي الشَّافِعِيَّةِ كَابْنِ خُزَيْمَةَ وَاسْتَدَلُّوا بِحَدِيثِ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةَ أَخْرَجَهُ أَصْحَابُ السُّنَنِ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَغَيْرُهُمَا وَلِابْنِ خُزَيْمَةَ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ عَلِيِّ بْنِ شَيْبَانَ نَحْوُهُ وَزَادَ لَا صَلَاةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ وَاسْتَدَلَّ الشَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ بِحَدِيثِ أَبِي بَكْرَةَ عَلَى أَنَّ الْأَمْرَ فِي حَدِيثِ وَابِصَةَ لِلِاسْتِحْبَابِ لِكَوْنِ أَبِي بَكْرَةَ أَتَى بِجُزْءٍ مِنَ الصَّلَاةِ خَلْفَ الصَّفِّ وَلَمْ يُؤْمَرْ بِالْإِعَادَةِ لَكِنْ نُهِيَ عَنِ الْعَوْدِ إِلَى ذَلِكَ فَكَأَنَّهُ أُرْشِدَ إِلَى مَا هُوَ الْأَفْضَلُ – فتح الباري 2: 268 –
“Ahmad, Ishaq, dan sebagian ahli hadis kalangan syafi’iyyah, seperti Ibnu Khuzaimah berpendapat perbuatan itu diharamkan, dan mereka berdalil dengan hadis Wabishah bin Ma’bad bahwa Nabi saw. pernah melihat seorang laki laki mengerjakan shalat sendirian di belakang shaf, maka beliau memerintahkannya untuk mengulangi kembali shalatnya itu, ditakhrij oleh para penyusun kitab Sunan dan dinilai shahih oleh Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain, dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan pula hadis Ali bin Syaiban yang semakna dan ia menambah keterangan: ‘Tidak sah shalat bagi orang yang sendirian di belakang shaf.’ Sementara Asy-Syafi’I dan lainnya berdalil dengan dengan hadis Abu Bakrah bahwa perintah pada hadis Wabishah itu menunjukkan mustahab (sunat), karena Abu Bakrah telah melakukan satu bagian dari shalat di belakang shaf, dan ia tidak diperintah untuk mengulangi shalatnya, namun ia dilarang untuk mengulangi kembali perbuatan itu. Maka seakan-akan ia dibimbing untuk melakukan perbuatan yang lebih utama.” (Lihat, Fath Al-Bari, II:268) Dengan penjelasan Ibnu Hajar—yang asli ini—kita dapat memahami bahwa hadis Abu Bakrah dibicarakan oleh Ibnu Hajar dalam konteks “hukum makmum sendirian di belakang shaf”, bukan tentang “Makmum Masbuq Mendapatkan Ruku Imam.” B. ‘Kloning’ Pendapat Ibnu Hajar Dengan mencantumkan rujukan Fath Al-Bari masih pada bab yang sama, selanjutnya pengasuh rubrik ini lagi-lagi menisbatkan suatu penjelasan kepada Ibnu Hajar dengan gubahan redaksi berikut: “Padahal dalam riwayat ath-Thabrani disebutkan bahwa Abu Bakrah melakukan hal tersebut karena takut ketinggalan raka’at:فَقَالَ اَيُّكُمْ صَاحِبُ هَذَاالنَّفْسِ؟ خَشِيْتُ اَنْ تَفُوْتَنِيْ الرَّكْعَةُ مَعَكَ
Beliau bertanya: “Siapa tadi diantara kalian yang bernafas terengah engah ini?” Abu Bakrah menjawab: ‘Aku takut ketinggalan raka’at bersamamu” Artinya Nabi setuju dengan Abu Bakrah dan menilai hanya mendapatkan ruku’ pun maka raka’atnya sudah shah, tidak perlu menambah lagi.” (Dicantumkan rujukan: Fathul-Bari Bab Idza raka’a dunas shaff). Dengan redaksi demikian adanya, pengasuh Bulletin itu lagi-lagi “berusaha” mempengaruhi pembaca bahwa pendapat Ibnu Hajar: “Makmum Masbuq Mendapatkan Ruku Imam dihitung rakaat.” Padahal, sebenarnya Ibnu Hajar sedang menguraikan berbagai redaksi hadis sebagai penafsiran makna kalimat: “Jangan kamu ulangi lagi (wa laa ta’ud)” yang disabdakan Nabi pada Abu Bakrah. Ibnu Hajar berkata:قَوْلُهُ وَلَا تَعُدْ أَيْ إِلَى مَا صَنَعْتَ مِنَ السَّعْيِ الشَّدِيدِ ثُمَّ الرُّكُوعِ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مِنَ الْمَشْيِ إِلَى الصَّفِّ وَقَدْ وَرَدَ مَا يَقْتَضِي ذَلِكَ صَرِيحًا فِي طُرُقِ حَدِيثِهِ كَمَا تَقَدَّمَ بَعْضُهَا وَفِي رِوَايَةِ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْمَذْكُورَةِ فَقَالَ مَنِ السَّاعِي وَفِي رِوَايَةِ يُونُسَ بْنِ عُبَيْدٍ عَنِ الْحَسَنِ عِنْدَ الطَّبْرَانِيِّ فَقَالَ أَيُّكُمْ صَاحِبُ هَذَا النَّفَسِ قَالَ خَشِيتُ أَنْ تَفُوتَنِي الرَّكْعَةُ مَعَكَ وَلَهُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْهُ فِي آخِرِ الْحَدِيثِ صَلِّ مَا أَدْرَكْتَ وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ وَفِي رِوَايَةِ حَمَّادٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ أَيُّكُمُ الرَّاكِعُ دُونَ الصَّفِّ وَقَدْ تَقَدَّمَ مِنْ رِوَايَتِهِ قَرِيبًا أَيُّكُمْ دَخَلَ الصَّفَّ وَهُوَ رَاكِعٌ
“Sabda beliau, ‘Jangan kamu ulangi kembali,’ yaitu pada apa yang telah kamu perbuat, yaitu berjalan dengan keras, lalu rukuk di luar shaf, kemudian berjalan menuju shaf. Sungguh keterangan jelas yang menunjukkan hal itu tercantum pada berbagai jalur hadis Abu Bakrah sebagaimana telah dikemukakan sebagiannya, dan pada riwayat Abdul Aziz yang tersebut terdapat keterangan: ‘Maka beliau bertanya, ‘Siapa yang berjalan?’ Pada riwayat Yunus bin Ubaid, dari Al-Hasan menurut riwayat Ath-Thabrani dengan redaksi: ‘Siapa di antara kalian pemilik nafas (yang terengah-engah) ini? ia menjawab, ‘Aku khawatir terlewatkan rakaat bersama Anda.’ At-Thabrani memiliki jalur lain dari Abu Bakrah dengan redaksi di akhir hadis: ‘Shalatlah sesuai yang kamu dapatkan dan lakukanlah apa yang terlewat.’ Dan pada riwayat Hammad menurut Abu Dawud dan lainnya dengan redaksi: ‘Siapa di antara kalian yang rukuk di belakang shaf?’ Telah disampaikan riwayatnya tak jauh sebelum ini dengan redaksi: ‘Siapa di antara kalian yang bergabung ke dalam shaf sambil rukuk?’وَتَمَسَّكَ الْمُهَلَّبُ بِهَذِهِ الرِّوَايَةِ الْأَخِيرَةِ فَقَالَ إِنَّمَا قَالَ لَهُ لَا تَعُدْ لِأَنَّهُ مَثَّلَ بِنَفَسِهِ فِي مَشْيِهِ رَاكِعًا لِأَنَّهَا كَمِشْيَةِ الْبَهَائِمِ اه وَلَمْ يَنْحَصِرِ النَّهْيُ فِي ذَلِكَ كَمَا حَرَّرْتُهُ وَلَوْ كَانَ مُنْحَصِرًا لَاقْتَضَى ذَلِكَ عَدَمَ الْكَرَاهَةِ فِي إِحْرَامِ الْمُنْفَرِدِ خَلْفَ الصَّفِّ وَقَدْ تَقَدَّمَ نَقْلُ الِاتِّفَاقِ عَلَى كَرَاهِيَتِهِ – فتح الباري 2: 268 –
Al-Muhallab berpegang pada riwayat terakhir, maka ia berpendapat, ‘Nabi bersabda kepadanya, ‘Jangan kamu ulangi kembali,’ tiada lain beliau mentamsil karena nafasnya yang terengah-engah sewaktu berjalan sambil rukuk bagaikan cara berjalannya binatang. Selesai, dan larangan tersebut tidak terbatas karena hal itu sebagaimana telah saya tegaskan, dan sekiranya terbatas tentu saja hal itu menunjukkan takbiratul ihram sendirian di belakang shaf tidak makruh, padahal telah disampaikan sebelumnya kesepakatan para ulama bahwa perbuatan itu makruh.” (Lihat, Fath Al-Bari, II:268) Dengan penjelasan Ibnu Hajar—yang orisinal ini—kita dapat memaklumi bahwa Ibnu Hajar tidak pernah berpendapat bahwa “Nabi setuju dengan Abu Bakrah dan menilai hanya mendapatkan rukuk pun maka raka’atnya sudah shah, tidak perlu menambah lagi,” sebagaimana diduga oleh pengasuh bulletin itu. Namun, mengapa ia tetap nekat mengutip rujukan: “Fathul-Bari Bab Idza raka’a dunas shaff”??? C. Kontaminasi Gagasan Imam Al-Bukhari Jika pada paragraf sebelumnya pengasuh bulletin memotong kompas dan mengkloning pernyataan Ibnu Hajar, hingga “tak seindah aslinya”, maka pada paragraf berikutnya ia—bukan saja “mengganggu alur pemikiran Ibnu Hajar—namun juga mengkontaminasi kejernihan gagasan Imam Al-Bukhari, dengan memuat redaksi kalimat berikut: “Akan tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, dari sabda Nabi saw “Jangan kamu ulangi lagi”. Ini ada ulama yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Abu Bakrah itu salah. Imam al-Bukhari misalnya, sebagaimana dituliskannya dalam salah satu kitabnya, “Juz al-qira’ah kahlfal imam” menyatakan bahwa maksud sabda Nabi saw adalah jangan mengulanginya sama sekali. Apa yang Nabi saw larang berarti batal, jangan diulangi lagi. Artinya, mendapatkan ruku’ dihitung satu raka’at itu tidak benar, jangan terulang lagi. Meski khusus untuk saat itu Nabi saw tidak menyuruh untuk mengulanginya lagi. Dalam karyanya ini, Imam al-Bukhari juga mencantumkan berbagai dalil tentang wajibnya membaca al-fatihah dibelakang imam dan itu sebagai syarat shahnya shalat.” Di sini, pengasuh rubrik itu mencantumkan rujukan tambahan dalam Fath Al-Bari—selain bab idzaa raka’a dunas shaff—bab laa yas’a ilas shalat. Kontaminasi opini terhadap Imam Al-Bukhari ini perlu kita netralisir dengan cara telusur jejak orisinalitas gagasannya, baik dikutip tidak langsung oleh Ibnu Hajar dalam bab laa yas’a ilas shalah walya’ti bis sakiinah wal waqaar, maupun kutipan langsung dalam kitabnya Al-Qira’ah Khalf al-Imam. Ibnu Hajar berkata:وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الْإِمَامَ رَاكِعًا لَمْ تُحْسَبْ لَهُ تِلْكَ الرَّكْعَةُ لِلْأَمْرِ بِإِتْمَامِ مَا فَاتَهُ لِأَنَّهُ فَاتَهُ الْوُقُوفُ وَالْقِرَاءَةُ فِيهِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي هُرَيْرَةَ وَجَمَاعَةٍ بَلْ حَكَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي "الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ" عَنْ كُلِّ مَنْ ذَهَبَ إِلَى وُجُوبِ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ وَاخْتَارَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالضُّبَعِيُّ وَغَيْرُهُمَا مِنْ مُحَدِّثِيْ الشَّافِعِيَّةِ وَقَوَّاهُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ السُّبْكِيُّ مِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ – فتح الباري 2: 119 –
“Dan diambil dalil dengannya bahwa orang yang mendapatkan imam dalam rukuk maka tidak dihitung raka’at itu untuknya, berdasarkan perintah menyempurnakan yang tertinggal, karena orang itu tertinggal berdiri dan bacaan (al-Fatihah) padanya, dan ini pendapat Abu Huraerah dan sekelompok ulama, bahkan Al-Bukhari, pada kitabnya Al-Qira’ah Khalf al-Imam, menceritakan setiap orang yang berpendapat wajib membaca Al-Fatihah di belakang imam. Pendapat ini menjadi pilihan Ibnu Khuzaimah, Adh-Dhuba’iy dan lain-lain di kalangan para ahli hadis Syafi’iyyah dan dikuatkan oleh Syekh Taqiyuddin As-Subki, di antara ulama Syafi’iyyah mutaakhir.” (Lihat, Fath Al-Bari, II:119) Sementara dalam kitabnya, Qira’ah Khalf al-Imam, Imam Al-Bukhari berkata:فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَعُودَ لِمَا نَهَى النَّبِيُّ صلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ وَلَيْسَ فِي جَوَابِهِ أَنَّهُ اعْتَدَّ بِالرُّكُوعِ عَنِ الْقِيَامِ وَالْقِيَامُ فَرْضٌ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
“Seseorang tidak boleh kembali kepada sesuatu yang telah dilarang oleh Nabi dan pada jawaban Nabi tidak terdapat keterangan bahwa beliau menganggap sah dengan rukuk sebagai ganti qiyam, sedangkan qiyam adalah fardhu dalam Al-Qur’an dan Sunnah.” (Lihat, Al-Qira’ah Khalf al-Imam, hal. 77) Ibaarah (Gaya bahasa) Imam Al-Bukhari dan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya berdialektika atas basis etika dan objektivitas. D. ‘Bedah Caesar’ Argumen Syekh Al-Albani Pada paragraf selanjutnya, pengasuh rubrik mencantumkan kitab Irwa’ Al-Ghalil karya Syekh Al-Albani sebagai rujukan dalam mengkonfrontir penjelasan Imam Al-Bukhari, dengan gubahan redaksi sebagai berikut: “Meski demikian jumhur ulama tidak memahami seperti Imam al-Bukhari. Menurut mereka, sabda Nabi saw di atas sebatas menunjukkan yang lebih afdhal, bukan melarang haram. Jika haram, tentu Nabi saw menyuruh Abu Bakrah menambah raka’at. Nabi saw membenarkan Abu Bakrah yang mengejar raka’at dengan mengejar ruku’, tapi lain kali lebih baik datang lebih awal lagi. Penjelasan seperti ini merupakan penjelasan para sahabat yang memang lebih tahu tentang maksud hadits dari siapapun. Mereka adalah Abu Bakar ash-Shidiq, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Umar, Zaid Ibn Tsabit, dan Abdullah Ibnuz Zubair.” (dicantumkan rujukan Irwa’ul-Ghalil no.496) Padahal, konteks pembicaraan Syekh Al-Albani sejatinya bukan tentang hadis Abu Bakrah dan tidak pula berkenaan dengan pendapat Imam Al-Bukhari atas hadis itu, melainkan keabsahan hadis dari Az-Zuhri berikut ini:مَنْ أَدْرَكَ الإِمَامَ وَهُوَ رَاكِعٌ فَلْيَرْكَعْ مَعَهُ وَلْيَعْتَدَّ بِهَا مِنْ صَلاَتِهِ
Pasalnya, hadis itu diperselisihkan tentang kesahihannya. Meski secara sanad Syekh Al-Albani menilai dha’if (Wa haadzaa isnaadun waahin jiddan), karena terdapat rawi Muhammad bin Harun bin Syu’aib bin Ibrahim—yang tertuduh dusta—namun kandungannya, dalam pandangan Syekh Al-Albani, sejalan dengan amal sejumlah shahabat Nabi. Syekh Al-Albani berkata:وَمِمَّا يُقَوِّى الْحَدِيْثَ جَرَيَانُ عَمَلِ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلَيْهِ
Selanjutnya, Syekh Al-Albani mengemukakan beberapa atsar, baik ucapan maupun amal shahabat, yaitu: (1) Ibnu Mas’ud, berupa ucapan diriwayatkan Al-Baihaqi (2/90). Kata Syekh Al-Albani, “Saya berpendapat, ‘Dan ini sanad yang shahih’.” Berupa perbuatan diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, 1/99/1-2), Ath-Thahawi (1/231-232), Ath-Thabrani (3/32/1), dan Al-Baihaqi (2/90-91), dari Zaid Ibnu Wahb. Kata Syekh Al-Albani, “Saya berpendapat, ‘Dan sanadnya shahih’.” (Lihat, Irwa al-Ghaliil, II:262-263) (2) Abdullah bin Umar, berupa ucapan diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, 1/94/1) dan Al-Baihaqi dengan perbedaan redaksi. Kata Syekh Al-Albani, “Saya berpendapat, ‘Dan sanadnya shahih’.” (Lihat, Irwa al-Ghaliil, II:263) (3) Zaid Ibn Tsabit, berupa ucapan diriwayatkan Al-Baihaqi. Berupa perbuatan diriwayatkan Ath-Thahawi (1/232). Kata Syekh Al-Albani, “Saya berpendapat, ‘Dan sanadnya jayyid’.” (Lihat, Irwa al-Ghaliil, II:264) (4) Abdullah bin Zubair, berupa perbuatan diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah. Kata Syekh Al-Albani, “Para rawinya tsiqat kecuali Amr bin Tamim, ia dibersihkan oleh Ibnu Abu Hatim, dan disebutkan oleh Ibnu Hiban dalam kitabnya At-Tsiqat, dan Al-Bukhari berkata, ‘Pada hadisnya perlu ditinjau kembali’.” (Lihat, Irwa al-Ghaliil, II:264) (5) Abu Bakar ash-Shidiq, berupa perbuatan diriwayatkan Al-Baihaqi. Kata Syekh Al-Albani, “dan sanadnya hasan, namun Abu Bakar bin Abdurrahman tidak sezaman dengan Abu Bakar Ash-Shidiq, maka hadisnya munqathi, namun dimungkinkan ia menerima riwayat itu dari Zaid bin Tsabit. Dan penerimaannya dari Zaid adalah shahih dan kuat.” Selanjutnya, Syekh Al-Albani berkata:وَالْخُلاَصَةُ أَنَّ الْحَدِيْثَ بِشَاهِدِهِ الْمُرْسَلِ وَبِهذِهِ الآثَارِ حَسَنٌ يَصْلُحُ لِلاِحْتِجَاجِ بِهِ والله أعلم
“Dan kesimpulannya bahwa hadis itu dengan syahidnya yang mursal dan dengan berbagai atsar ini adalah hasan yang layak untuk digunakan sebagai hujah.” (Lihat, Irwa al-Ghaliil, II:264). E. ‘Amputasi’ Ekspresi Imam An-Nawawi Jika pada beberapa paragraf sebelumnya pengasuh bulletin memotong kompas, mengkloning, kontaminasi, bedah caesar terhadap orisinalitas sejumlah gagasan dan argumen Al-Hafizh Ibnu Hajar, Imam Al-Bukhari, dan Syekh Al-Albani, maka pada paragraf kedua terakhir ia—bukan saja “mengganggu” alur pemahaman hadis Abu Bakrah—namun juga mengamputasi ekspresi Imam An-Nawawi, dengan membuat gubahan redaksi kalimat berikut: “Tentang kewajiban al-fatihah bagi setiap orang yang shalat pun ditempuh thariqatul-jam’I (metode menyatukan/mengompromikan), yakni wajib al-fatihah itu bagi yang datang dari awal. Bagi yang masbuq ada rukhshah tidak perlu membaca/menyimak sepanjang masih sempat ikut ruku’ bersama imam.” (dicantumkan rujukan: Syarah an-Nawawi Shahih Muslim 1: 441) Padahal, Imam An-Nawawi tengah mengekspresikan berbagai faidah yang dapat diambil dari peristiwa masbuqnya Nabi saw. bersama Mugirah bin Syu’bah. Imam An-Nawawi berkata:قَوْلُهُ: (فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوْا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ رَكْعَةً بِهِمْ فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا)
“Ucapannya (Mughirah) maka kami sampai pada kaum itu, sedangkan mereka tengah mendirikan shalat yang diimami oleh Abdurrahman bin Auf, sedangkan dia telah melaksanakan satu rakaat bersama mereka. Ketika dia merasakan kedatangan Nabi saw., maka dia akan mundur, lalu beliau memberikan isyarat kepadanya (agar melanjutkan), maka dia terus mengimami mereka. Tatkala dia telah mengucapkan salam, maka Nabi saw. berdiri, dan aku pun berdiri bersama beliau, lalu kami melaksanakan rakaat yang tertinggal.” Selanjutnya, Imam An-Nawawi menyebutkan berbagai faidah pada hadis itu, antara lain:وَمِنْهَا : أَنَّ مَنْ سَبَقَهُ الْإِمَامُ بِبَعْضِ الصَّلَاةِ أَتَى بِمَا أَدْرَكَ فَإِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ أَتَى بِمَا بَقِيَ عَلَيْهِ وَلَا يَسْقُطُ ذَلِكَ عَنْهُ بِخِلَافِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فَإِنَّهَا تَسْقُطُ عَنِ الْمَسْبُوقِ إِذَا أَدْرَكَ الْإِمَامَ رَاكِعًا
“Di antaranya, bahwa orang yang didahului imam (masbuq) dengan sebagian kaifiyat shalat ia melaksanakan apa yang didapatkan, maka jika imam telah salam ia melaksanakan yang tersisa, dan kewajiban itu tidak gugur darinya. Ini berbeda dengan membaca al-Fatihah karena kewajibannya akan gugur dari makmum masbuq apabila mendapatkan imam sedang rukuk.” (Lihat, Syarah Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, I: 441) Jadi, konteks pembicaraan Imam An-Nawawi sejatinya tidak berkenaan dengan metode konvergensi (al-Jam’u) antara kewajiban membaca al-Fatihah dengan petunjuk (dalaalah) hadis Abu Bakrah. Setelah mencermati “penghalalan ragam paksa”—potong kompas, cloning, kontaminasi, bedah Caesar, amputasi—terhadap orisinalitas sejumlah gagasan dan argumentasi para ulama itu, kita menghayati bahwa masalah makmum masbuk mendapatkan rukuk imam bukan lagi sekedar persoalan ikhtilaf (perbedaan pendapat) dan pilihan metodologi yang dianut, melainkan sudah menyentuh persoalan yang cukup mendasar, yakni amanah ilmiah dan kode etik intisab. Dengan cara “penghalalan” demikian itu, bukankah pendapat Jumhur ulama—yang konon diklaim telah jelas itu—menjadi tidak jelas terlihat? Bandung, 23 Maret 2018 *** Penulis, para santri Ibnu Hajar Kelas Ushul al-Fiqh Editor: Amin Muchtar, Anggota Dewan Hisbah Persis