Prof. Dr. Hamid Bin Ahmad Al-Rifaie*
Sengaja penulis memberi judul artikel ini dengan ‘Dialog Antar Pemeluk Agama’ karena agama samawi tidak memerlukan dialog dari dulu sudah berjalan seiring seirama. Namun dialog harus dilakukan oleh para pemeluk agama dalam beberapa subyek/topik tertentu yang disepakati bersama demi kemakmuran manusia. Tulisan ini ada sebagai prolog terhadap tujuan tersebut dan akan dikupas sekilas sekitar pengalaman penulis selama lebih dari tiga dekade melakukan dialog antar budaya. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan keyakinan kita, bahwa taaruf/saling mengenal dan dialog merupakan asas yang dapat menepikan segala permasalah yang dihadapi pemeluk agama. Prinsip ini telah diputuskan oleh Allah swt, khususnya dalam kontek hubungan umat Islam dengan pemeluk agama lain. Secara absolut, kemulyaan manusia sudah menjadi keputusan Tuhan, sementara keyakinan dan i’tiqood adalah merupakan kebebesan setiap individu.
Dialog antar umat beragama, (Yahudi, Kristen dan Islam) bukanlah tujuan utama, tetapi tujuannya adalah taaruf, dan sesudah taaruf antar budaya dan peradaban serta kenal sesama pemeluk dan pengikut agama terdapat tujuan lain. Tujuan itu ialah yang paling penting setelah pase taaruf adalah periode tafahum/saling memahami dan ketika tafahum sudah terealisir maka menuju kepada wasilah/media yang lain. Yaitu bagaimana sesama pemeluk agama saling bahu-membahau membangun kemakmuran dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, dialog adalah wasilah sebagai jalan yang bernorma dan beradab.
Manfaat apa yang dapat diraih oleh kaum muslimin dalam dialog dengan para pemeluk agama?, Dialog merupakan anjuran semua agama dan budaya. Problematika yang dihadapi dalam dialog antar sesama pemeluk agama berkenaan dengan materi dialog. Sebenarnya kita bukan sekedar terlambat memasuki ranah dialog tersebut, tetapi kita belum siap menghadapi dialog dengan pemeluk selain agama Islam. Tentunya medan dialog sangat luas dan beragam, yaitu yang sudah dimulai sejak tahun tujuh-puluhan abad lalu, pertama kali kita berdialog mendapatkan tesis dan desertasi yang aneh dan banyak sekali misalkan, orang-orang berbicara dan mengusulkan tentang pentingnya wihadatul adyaan/ kesatuan agama, wihadatul ma’aabid/kesatuan tempat ibadah, kesatuan liga internasional agama, budaya dan agama bersama, hakikat agama tunggal, dan agama apa yang paling baik dan tepat dipeluk dunia saat ini?.
Saat itu medan dialog masih ithiraab/belum teratur dan perbedaan sangat besar sekali antar pemeluk agama dibandingkan dengan periode saat ini. Ketika kita berdialog dengan mereka, kita memasauki methode lain, yaitu kita memulai dengan minhaaj insaani, budaya manusiawi dan kita menghindari dari jedal/debat agama dan keyakinan. Karena akidah dan keyakinan adalah masalah yang sudah selesai bagi setiap agama dan debat biasanya berdasarkan kepada prinsip siapa pemenang/gholabah dan siapa yang kalah/taghalub. Siapa yang akan menang, agama atau budaya mana yang akan kokoh, atau orientasi politik yang lebih baik dari yang lain?. Dapat disimpulkan, ranah dialog pada masa itu dalam keadaan sakit, dan tidak pantas kita mendukungnya. Sebaliknya kita dituntut masuk ke ranah yang lebih luas dan lebih manusiawi, dari sini kita mulai berdialog dengan Vatikan pada masa Paus II / Oannes Paulus tahun 1992 M. Sejak tahun 1972, untuk pertama kali Vatikan berkunjung ke Saudia dan bertemu dengan para ulama dan cendikiawan. Kunjungan balasan ulama muslim ke Vatikan terjadi tahun 1974 bertujuan untuk melakukan dialog. Dialog kedua belah pihak sempat terhenti sejak tahun itu dan pada tahun 1992 dimulai kembali dialog antar sesama pemeluk agama.
Sebelum kita putuskan melakukan dialog, kita sempat bertanya kira-kira apa yang akan kita sampaikan kepada Vatikan dan Barat setelah dialog berlangsung selama 20 tahun (1972-1992). Selama lebih dari 3 bulan para ulama/cendiakiawan Islam termasuk penulis berpikir mendiskusikan masalah ini. Akhirnya disepakati agar kita menyampaikan surat kepada Paus II pada pertemuan terjadi di Mujama’ Katholik-Vatikan.
Rombongan cendikiawan muslim terdiri 8 orang bertemu Paus II yang disertai beberapa Kardinal. Selanjutnya, ulama muslim sampaikan surat yang isinya, ‘kami datang tidak berharap agar kalian menjadi muslim, walaupun tentunya keingginan itu ada dalam diri kami. Karena kami inggin manusia lain berada seiman dan sekeyakinan sama dengan kami, dan selain itu juga berharap agar Vatikan tidak berupaya untuk mengkristenkan kami. Kami tahu bahwa keingginan yang besar ada di diri kalian karena kalian mengharapkan agar manusia berada dalam keyakinan dan akidah yang sama dengan kalian’. Jelaslah, kedua belah pihak berharap agar mengikuti agamanya masing-masing, Vatikan punya keingginan agar muslim menjadi Kristen, muslim juga punya keingginan agar Kristen menjadi muslim, begitulah seterusnya termasuk Yahudi punya keingginan agar yang lain mengikuti keyakinannya.
Kalau begitu, kenapa kami datang ke Vatikan?, kami tidak berupaya memuslimkan orang kristen dan kristen tidak mengkristen muslim. Kami datang ke Vatikan karena kami memandang perjalalan manusia dalam bahaya, agama Islam menyuruh dan menganjurkan umatnya agar bekerja semampu mungkin untuk memperbaiki perjalanan manusia agar berada dalam kondisi adil, aman, damai serta agar menguatkan kesucaian/qudsiyah, kemulyaan/karamah manusia, keselamatan lingkungan dan terealisirnya toleransi yang aman antar sesama masyarakat dunia. Selanjutnya kami bertanya pada Paus II, Apakah anda siap bekerjasama dengan kami untuk tujuan yang mulia ini? Paus II meanggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. Dari sini mari kita pindah topik dari dialog akidah ke dialog manusiawi dan dibentuklah Komite Bersama yang terdiri dari dua perwakilan Islam-Kristen, yang terdiri dari pemuka agama yang menyiapkan kerangka kerjasasama untuk menjalankan prinsip-prinsip tersebut. Komisi tersebut bekerja selama 2 tahun, dan selama periode itu terjadi korespondensi dan tukar menukar pandangan dan pemikiran inti ajaran dua agama.
Pada tahun 1994, kita bertemu untuk mendiskusikan dokumen perjanjian, dan dokumen itu ditandatanggani secara bersamaan dalam rangka pengawalan menjalankan prinsip ini. Salah satu poin penting dalam pernjanjian tersebut, kedua belah pihak tidak boleh melakukan dialog dalam bidang akidah, karena masalah akidah adalah masalah yang sudah selesai menurut semua agama. Namun kita berdialog dalam masalah kemanusiaan yang merupakan tujuan yang sama pada seluruh pemeluk agama. Dalam akidah Kristen ada tujuan manusiawi, begitu juga dalam akidah Islam memiliki tujuan manusiawi. Jadi kami tidak berkonsentrasi kepada masalah akidah yang merupakan sumber perbedaan. Kita berbicara tentang tujuan kemanusiaan yang merupakan tujuan dan kesepakatan semua agama.
Setiap tahun sekali pada bula Juni diadakan pertemuan kedua pihak, dan dipilih subyek tertentu yang akan dibahas. Setiap kelompok menyiapkan tesis dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan sendiri oleh mereka ke dalam bahasa Arab, begitu juga kami menyiapkan tesis dalam bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kedua naskah artikel baik dalam bahasa Arab dan Inggris semuanya asli, sehingga tidak terjadi asumsi kesalahan dalam penerjemahan. Penulis mendapatkan artikel dalam bahasa Arab seolah-olah dalam teks dalam bahasa Inggris asli dan begitu sebaliknya, nantinya tidak ada alasan bagi siapapun bahwa adanya terjemahan yang salah. Setiap hari didiskusikan berbagai subyek dialog itu, diskusi yang luas dan mendalam yang disepakati atau tidak atas suatu permasalahan. Permasalah yang diperdebatkan dikesampingkan dan permasalahn yang disepakati diberikan penjelasan dalam bahasa Arab dan Inggris, serta ditandatanggani dan semua penjelasan dalam bentuk aslinya. Kemudian setiap kelompok membawa dua lembar artikel asli dan selanjutnya dibuat dalam dokumen perjanjian yang pertama dan begitulah seterusnya.
Tahun 2014 adalah periode ke 19 diadakan pertemaun kedua kelompok agama dengan tema dialog : “Agama dan Sekulerisme, Agama dan Materialisme” dan setiap pandangan kedua kelompok disampaikan dan ditanda-tanggani secara bersama. Dialog ini tidak pernah terjadi perselisihan dan tidak akan pernah berhenti, kenapa? Karena kita sudah menentukan garis strategi dalam dialog ini mereka juga mengetahui apa yang kita harapkan, sebaliknya kita tahu apa yang diingginkan oleh Vatikan. Yah, memang terjadi perbedaan dalam perincian dialog, tetapi kita semua sama menuju satu tujuan yang sudah disepakati. Misalkan pada periode dialog ke 10 diadakan evaluasi terhadap perjalanan dialog, sebanyak 54 pasal dan penjelasan dialog antar sesama pemeluk agama diterbitkan yang ditanda-tanggani secara bersama, seperti rilis yang disampaikan ke PBB. Dalam hal ini, kemulyaan Islam adalah profesi Ketuhanan yang tidak boleh dilanggar dalam kondisi bagaimanapun, kebebasan manusia adalah nilai-nilai Ketuhanan, yaitu kebebasan mutlak yang tidak dibatasi kecuali terjadi pelanggaran terhadap batasan kebebasan yang lain.
Penulis merasakan kedua kelompok ini telah berhasil dalam masa transisi dialog, dan semua hasil dialog dikumpulkan dalam sebuah buku secara bersamaan dalam dua bahasa Arab dan Inggris. Kemudian buku tersebut diserahkan kepada PBB dan institusi lain sebagai bentuk hasil kebudayaan dan pemikiran manusia bersama antara dua agama besar, lebih 1 miliar katolik dan lebih 1 1/2 miliar muslim. Pengalaman dialog penulis dengan Vatikan juga dimanfaatkan pada saat dialog dengan Gereja Orthodok, Budha, Hindu dan Majelis Gereja Amerika yang pengikutnya lebih dari 50 juta. Semua dokumentasi dan hasil dialog ini dimiliki oleh kedua belah pihak. Pertanyaan, adakah manfaat dari semua periode dialog ini bagi kemanusiaan? Saya katakan bahwa semua hasil ini tidak terlalu bermanfaat kecuali sedikit sekali, kenapa demikian? Karena political will terpisah dari think thank, kebijakan politik berjalan ke satu arah dan pemikiran melaju ke arah yang lain. Penomena ini terjadi secara global dan ini sangat bahaya sekali. Cendikiawan tidak dapat berbuat sesuatu apabila tidak ada political will, kebijakan poltik tanpa adanya upaya pemikiran akan hancur, inilah salah satu penyebab kekurangan yang harus dihadapi dalam perjalanan manusia.
Sekarang kita berupaya untuk mempertemukan dan saling memahami antar kedua keingginan tersebut, misalkan pada tahun 2000 yang lalu sudah disampaikan kepada Kofi Annan agar mengadakan Konferensi Internasional antar sesama pemeluk agama, budaya dan peradaban. Kofi Annan pun menyetujuai konferensi itu dan dihadiri 1.700 pemimpin pemuka agama sentero dunia. Di sini saya sampaikan dengan rasa tawadhu, bahwa kita adalah pemilik sumber dan topik dialog diatas dan kita berupaya di level PBB agar ada penyelenggara yang akan menjembatani hubungan kedua kebijakan itu, sehingga perjalanan kemanusiaan akan take off/ lepas landas dengan kedua sayapnya, yaitu pemikiran dan politik. Apabila salah satu sayapnya tidak berfungsi maka tidak akan terbang jauh perjalalan kemanusiaan. Kofi Annan setuju terhadap proposal tersebut dan dibentuklah Komisi Bersama beranggotakan 10 orang dan penulis salah satu diantaranya. Tetapi setelah Kofi Annan tidak menjabat Sekjen PBB maka program yang sudah dirancangpun berhenti dan program tersebut sekarang sedang digodok oleh The World Muslim Congress (WMC), dan Arab League. Intinya, dialog adalah suatu keharusan juga merupakan kewajiban agama, perjalanan akhlaki dan tuntutan peradaban.
الحوار مطلب، واجب دين، مسلك أخلقي و مطلب حضاري
*Ia adalah mantan dosen kimia dan pemikir Saudi yang aktif dalam forum dialog antar agama, Presiden International Islamic Forum for Dialogue (IIFD) berpusat di Irlandia, Wakil Ketua Motamar al-Alam al-Islami l The World Muslim Congress (WMC), dan penulis produktif yang telah menerbitkan lebih dari 75 buku dalam bahasa Arab dan Inggris. Diterjemahkan dan disusun ulang oleh Arip Rahman yang tinggal di Rabat-Maroko dari dialog.