Penulis: Nurul Hikmah (Kader Himi PERSIS)
Ilmu adalah saudara kembar iman. Keduanya tidak bisa dipisahkan, ataupun hanya salah satunya saja yang digunakan, sebab Islam adalah agama yang menempatkan ilmu dan iman sebagai substansi dalam beragama. Ilmu tidak boleh menyalahi iman seberapa pesat pun perkembangannya, ilmu menjadi penumbuh kembang dan penguat keimanan. Jika salah satunya saja ditinggalkan, akan menimbulkan kepincangan.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan berdasarkan pada dalil (bukti). Dalil yang dimaksud bisa berupa penukilan wahyu dengan metode yang benar (al-naql almushaddaq), bisa juga berupa penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqaq). Sedang yang dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat adalah yang bersumber dari Rasul saw. Sesungguhnya ilmu itu adalah yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka sesuatu yang bisa kita katakan ilmu itu adalah penukilan yang benar dan penelitian yang akurat.
Dalam Islam, ilmu tidak hanya sekadar berbicara tentang ruang yang terindrai saja, tetapi menembus ruang-ruang metafisis. Itulah kenapa iman harus senantiasa mendampingi ilmu, bukan sebagai pengekang melainkan menjadi benteng pembatas agar ilmu tidak menjadi liar dan sesuai dengan fungsinya. Ilmu memiliki tujuan pencapaian, pencapaian tertinggi dari ilmu adalah marifatulloh. Untuk bisa mencapai maqom tersebut, ilmu harus berlandas dan didampingi oleh unsur yang mungkin mengantarkan pada tujuannya, yakni wahyu.
Terdapat 5 (lima) hal yang menjadi sumber ilmu: pancaindra, akal, naluri, ilham, dan wahyu. Dengan demikian, wahyu merupakan sumber tertinggi dari ilmu. Sedangkan, pancaindra merupakan sumber paling dasar dari sumber-sumber keilmuan. Seorang ulul ilmi mestilah berusaha untuk menjadikan wahyu sebagai sumber segala ilmu. Sebab, ulul ilmi merupakan gelar bagi pemilik ilmu yang Allah sebut dalam salah satu firman-Nya dan disandingkan langsung dengan malaikat.
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
“Alloh menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang yang berilmu yang menegakkan keadilan.” (QS Ali Imron: 18)
Ulul ilmi dilihat dari ayat tersebut menjadi bagian terpenting dalam menjungjung tauhidullah, keesaan Allah Swt. Untuk mencapai maqom tersebut, tentu ada usaha yang harus dilakukan. Sebab, tidak setiap manusia mendapat jaminan untuk dapat menerima ilmu yang langsung Allah berikan sebagai hadiah, akan tetapi ada usaha yang bisa dilakukan untuk memperolehnya. Oleh karenanya, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah saw. bersabda, “sesungguhnya ilmu itu didapat dengan belajar,” sebagai sinyal untuk terus mengkaji dan menelaah.
Dalam catatan sejarah, ilmu merupakan salah satu aspek yang tidak terlepaskan dari perkembangan Islam. Bukankah wahyu yang kali pertama turun kepada Muhammad saw. merupakan sinyal keilmuan—Iqra (Bacalah)—yang kemudian mendobrak pintu-pintu kejahiliahan hingga pesatnya peradaban emas Islam pada masa Dinasti Abasiyah. Dengan berkembangnya berbagai macam disiplin keilmuan, lahirnya tokoh-tokoh ilmuan muslim, serta banyaknya perpustakaan didirikan. Maka mungkin tidak terlalu berlebihan jika kalimat iqra difahami sebagai membaca segala khazanah dan cakrawala berdasarkan wahyu.
Sebagai generasi umat ini, menuntut ilmu mestilah menjadi prioritas dalam kehidupan. Pertalian antara generasi dan ilmu merupakan salah satu modal besar yang dimiliki ummat ini. Sebagaimana Imam Syafii pernah mengungkapkan, “Demi Allah, hakikat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan taqwa. Jika kedua hal tersebut tidak ada padanya maka tidak bisa disebut pemuda.”
Apatah lagi di tengah gempuran pemikiran, generasi umat ini perlu menjaga stabilitas keilmuan agar tidak tercederai kemurniannya untuk sampai pada tujuannya (marifatulloh). Jika ilmu yang menjadi bekal perjalanannya saja diambil dari sumber yang keliru, kecil kemungkinan untuk bisa sampai pada tujuan. Bukankah Rasul menyampaikan dalam sabdanya bahwa kewajiban mencari ilmu bagi setiap muslim dari buaian hingga masuk liang lahat. Sebab, betapa besar peran ilmu dalam membangun kehidupan. Ilmu memberikan akal untuk mempertimbangkan berbagai hal perlu dilakukan dan yang harus ditinggalkan.
Prof. Maman Abdurrahman pernah berpesan, “jadikan ilmu sebagai passport masa depan.” Hal ini tentunya tidak berlebihan, bukankah kokohnya peradaban umat ini terbangun di atas ilmu yang bersumber pada wahyu?
Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran memberikan penjelasan berkaitan dengan surah Al-Mujadilah ayat 11. Menurutnya, ayat ini mengajarkan kepada kaum muslimin bahwa keimanan mendorong mereka berlapang dada dan menaati perintah, dan ilmu membina jiwa lalu dia bermurah hati dan menghidupkan ketaatan.
Menjadikan ilmu sebagai landasan dalam membangun paradigma pergerakan dan pergerakan perlu terus ditumbuh kembangkan. Lebih dari itu, Persatuan Islam sendiri merupakan organisasi yang lahir dari kenduri-kenduri kajian lingkaran-lingkaran pemikiran dan diskusi-diskusi kajian keilmuan. Maka lingkaran pengkajian secara tidak langsung menjadi jantung yang membuatnya terus berdetak.
(dh)