Gerakan LGBT Didasari Pemahaman Gerakan Freemasonry

oleh Reporter

31 Agustus 2016 | 15:08

Bandung - persis.or.id, "Dilihat dari perspektif pemikiran, gerakan LGBT didasari pemahaman gerakan Freemasonry yakni sebagai gerakan kebencian terhadap religiusitas dan agama, namun dibungkus dengan pseudo-ilmiah. Salah satu bentuk kebencian terhadap agama adalah penembakan tanpa sebab pada pasangan mahasiswa muslim yang baru menikah  si Ohio USA, hanya karena si pelaku tidak suka melihat orang beragama-dalam hal ini orang islam. Mereka terus berjuang melawan agama dan negara serta masyarakat", ucap Taty Setiaty. Taty berpandangan bahwa LGBT adalah fitnah sistemik yang dirancang sangat apik oleh mereka yang ingin membuat 'tatanan dunia baru'. Perubahan paling penting  dalam gerakan pembebasan seksual ini  adalah keberanian untuk mempropagandakan bahwa percintan secara homoseksual adalah hal yang alamiah dan sehat. Slogan kebebasan mereka  “cinta tidak mengenal hukum”, “tubuhku adalah milikiku, tidak ada yang berhak mengatur tubuhku, apalagi orang tua, negara dan bahkan agama”, “kamu bebas mengekspresikan kenyamanan terhadap tubuhmu, tidak ada yang salah ketika kamu berekspresi”, "berislam yang baik tidak hanya bisa dicapai dengan menjadi perempuan atau laki-laki saja”, “hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya, karena bagaimana pun ia merupakan warna pelangi pilihan yang diberikan oleh Tuhan, sama layaknya kaum heteroseksual”, “homoseksual bukan gangguan jiwa maupun penyakit, hanya perbedaan orientasi seks semata”. Argumen tersebut dihimpun sehingga membentuk tiga argumen dasar LGBT yang dipropagandakan ke seluruh dunia : 1). Homoseksual diturunkan secara biologis, 2). Homoseksual tidak dapat diubah secara psikologis.  3). Homoseksual merupakan hal yang normal secara sosiologis. Propaganda ini justru melanggar hak azasi orang lain, melanggar tumbuh kembang generasi muda secara wajar dan alamiah seta mengusik ketenangan berkehidupan. Indonesia memang bukan negara yang berdasarkan agama, melainkan Pancasila yang dalam sila pertamanya "Ketuhanan Yang Maha Esa". Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Di dalam Islam tujuan kebebasan untuk mencapai sifat bahwaan yakni berserah diri kepada undang-undang Pencipta Yang Maha Kuasa. Tunduk pada pengabdian diri yang membebaskan insan dari belenggu budak syahwat kemaluan serta memuliakan ke taraf kemurnian asal, yaitu sebagai insani taqwim. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan ini memerlukan keberpasangan (QS; Ali Imran 3: 14). "Orientasi seksual yang benar adalah bersifat heteroseksual, karena orientasi seksual dan perilaku seksual yang natural, disamping memiliki faedah kenikmatan jima’ yang ada pada lawan jenis, mencapai ketenangan, juga untuk mencari kebahagian akhirat", papar Taty.  Beliau menambahkan bahwa masyarakat sudah cukup toleran dengan keberadaan LGBT, namun ketika melakukan gerakan yang bertujuan membangun kehidupan yang “Laa diniyah wa laa khuluqiyah” adalah hak warga untuk menentangnya. Dugaan ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa hampir semua para aktivis pendukung Gerakan Gay di USA adalah pelaku gerakan Freemasonry” (Henry Makow Ph.d). Namun terbuka kedok bahwa anggota mereka ternyata didominasi oleh kaum laki-laki yang rentan perilaku Homoseks. Untuk memperjuangkan perilaku menyimpang tersebut, mereka berkedok program memperjuangkan legalitas hak hak kesetaraan dan kebebasan perpikir. Dengan demikian sebetulnya mereka juga berjuang dan melakukan upaya menentang kelompok yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka. Mereka telah menipu diri sendiri, mengelak bahwa sebetulnya mereka juga sangat intoleran. Mereka menipu diri sendiri dengan beranggapan akan bisa menciptakan tatanan yang  baik bagi manusia dengan warna pelanginya, karena sebenarnya gerakan mereka sendiri tidak akan membawa kebahagian buat kelompok tersebut. Mengapa? Pertama, Mereka tidak mungkin punya anak. Kedua, hidup dengan menyalahi kodrat dan menetang tatanan sosial sebagai LGBT sangat berat karena melawan hati nurani. Melawan hati nurani  merupakan beban jiwa terberat.  Ketiga, Konflik akibat api cemburu di tubuh komunitas LGBT sangat besar, bisa berakhir dengan saling membubuh dengan keji dan penuh amarah. Mereka menjadi mangsa hewan buas di hutan yang tidak mereka kenal yakni sesama LGBT. Keempat, Andai bisa memilih dan berjuang untuk sehat, jauh di bawah dasar hati, mereka ingin kembali ke dunia normal. Mereka selalu tidak tenang karena dihantui ketakutan terkena penyakit menular seperti pada HIV /AIDS.  Kelima, Melakukan perilaku seksual menyimpang itu berat dan sangat berat. Cara hubungan seksual yang terjadi adalah serba tidak layak dan menyakitkan, sehingga sering menimbulkan kerusakan hebat baik secara fisik maupun phiskis, khususnya sekitar alat kelamin. Keenam, Jika akhirnya kaum LGBT ini terkena penyakit seksual, dari beberapa penuturan aktivis layanan bantuan sosial dan medis disebutkan,  akhirnya yang merawat dan menjaganya adalah keluarganya, bukan kelompok LGBT. Terakhir, Mereka mengakui khawatir dan sedih jika saudara mereka  mengalami penyimpangan orientasi seksual seperti mereka. Padahal mereka sendiri begitu ngeyel menghindari ingatan untuk menjauhi potensi terpaparnya penyakit akibat freesex dan pilihan menjadi kaum LGBT. (HL & TG)
Reporter: Reporter Editor: admin