Persis.or.id - Wakil Ketua Umum PERSIS Ust. Jeje Zaenudin menyampaikan pandangannya yang menarik tentang ide tawasut dalam ranah ijtihad dan berorganisasi. Pandangan tersebut disampaikan pada acara Diskusi Serial Pemikiran yang diselenggarakan sebuah kelompok diskusi WhatsApp Grup (WAG) Forum Mubahatsah, pada Ahad (11/09/22), di rumah ustadz Muhamad Shogir, dekat Pesantren PERSIS Nomer 40 Sarongge, Sumedang.
Acara diskusi dengan tema "Tajdid dan Tawasuth dalam Narasi Islam Klasik dan Kontemporer" diisi oleh pemaparan dari Dr. Teten Romly Qomaruddin, sedangkan pembandingnya dengan judul "Refleksi Kritis Gerakan Kembali kepada Al-Qur'an dan Assunnah dalam Wacana Islam Kontemporer" disampaikan oleh Ust. Ginanjar Nugraha, M.Sy.
Menurut Wakil Ketua Umum PP PERSIS tersebut, yang disampaikan sebagai closing statement, idealnya seorang mujtahid itu dalam memutuskan fatwa bukan hanya mempertimbangkan fahmunnushus (pemahaman terhadap teks dalil), tetapi juga harus fahmunnas (memahami masyarakat manusianya).
Inspirasi tersebut ia kutip dari Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya I'lamul Muwaqqi'in. Dasarnya terdapat pada kisah Muaz bin Jabal yang menjadi makmum salat Isya bersama Rasulullah saw., dan ketika itu beliau membaca surat yang panjang. Setelah selesai, Muaz bergegas menuju kaumnya untuk menjadi imam, dan beliau membaca sebagaimana bacaan Rasulullah saw. sebagai bentuk ittiba’.
Namun, ada jamaahnya yang memisahkan diri karena bacaan Muaz memberatkan sebagian jamaah. Mengetahui hal ini, Muaz menegaskan bahwa jamaah yang memisahkan diri dari saf salat termasuk orang munafik. Tidak terima dengan pernyataaan Muaz, sahabat tersebut mengadu kepada Rasulullah saw., hingga Muaz dipanggil oleh Nabi saw. "Apakah engkau akan membuat fitnah, hai Muaz?" Beliau mengulang sampai 3x.
“Secara ijtihad fikih, apa yang dilakukan muaz itu sah dan benar karena mengakhirkan Isya dan memanjangkan bacaan salat adalah sunnah nabi. Namun, dari aspek penerapan nash dalil itu kepada masyarakat awam tidak tepat. Ini menunjukkan fahmunnās-nya yang keliru. Sehingga, penerapan jadi fitnah,” ungkap Ust. Jeje.
Selanjutnya, beliau menegaskan bahwa ide keseimbangan antara laju gagasan pembaruan dan keharusan menjaga stabilitas. Menurutnya, di satu sisi biasanya kalangan muda, berdasarkan pengetahuan anyar, semangat tinggi, tenaga yang kuat, dan idealismenya tinggi, tetapi minim pengalaman dan penjiwaan atas realitas, berkehendak untuk menggaungkan gagasan pembaruan, bahkan berharap secara revolusioner sampai ke akarnya.
“Di sisi yang lain, biasanya kaum tua lebih mempertimbangkan untuk mempertahankan stabilitas dan kemapanan. Namun, terkadang melupakan atau mengecilkan pentingnya perubahan yang mengarah pada pembaruan. Apa yang sudah berjalan, berjalan saja sebagaimana mestinya,” lanjutnya.
Ust. Jeje lebih lanjut mengungkapkan bahwa dua titik ekstrim ini memang semacam sunatullah, selalu ada dalam setiap generasi masyarakat dan organisasi. Jika tidak dikelola dengan baik, kondisi ini bukan menjadi kekuatan, melainkan menjadi destruktif.
Ide tawasut atau keseimbangan dalam beroganisasi mewadahi kaum muda, sebagai penggagasan dan penjaga kontinyuitas pembaruan; dan kaum tua, yang cenderung menjaga stabilitas ini, menjadi sangat menarik untuk disuguhkan. Sehingga, satu sisi pembaruan terus berjalan, serta stabilitas tetap terjaga di sisi yang lain.
"Stabilitas akan terpelihara dengan menjaga tradisi yang baik sebagai pengikat soliditas dan kekompakkan dalam organisasi, sedang gagasan perubahan dan pembaharuan dibangun dari pemikiran progresif dan visioner.
Seorang pamimpin juga pada saat bersamaan menjadi mujtahid, sebab ia juga harus berijtihad bagaimana merealisasikan gagasan besar dan pemikiran visionernya agar membumi dan menyasar jiwa umat yang dipimpinnya.
Jangan sampai ide dan gagasannya mengangkasa, tetapi tidak punya basis dukungan yang mengakar karena mengabaikan keharusan menjaga stabilitas dan kemapanan umat disebabkan buruknya kemampuan dalam mengomunikasikan dan mempraktikkannya di tengah-tengah umat," Pungkasnya.
[]
Kontributor: GN/dh