عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لاَ ينْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، وَلَكِنَّ اللَّهَ تعَالَى يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ» رواه البخاري
Dari Abi Bakrah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya matahari dan bulan adalan dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, tidak terjadi gerhana karena mati atau hidupnya seseorang, akan tetapi Allah hendak menakut-nakuti hambanya” (H.R. Bukhari)
Pada 29 Syawwal tahun ke-10 dari kenabian, putra Rasul SAW yang bernama Ibrahim meninggal dunia, dan pada hari yang sama terjadi gerhana matahari. Orang-orang ketika itu mengaitkan kejadian gerhana tersebut dengan kematian putra Nabi SAW. Lalu Nabi membantah dengan sabda beliau seperti hadits di atas.
Ketika gerhana terjadi, setidaknya ada tiga kelompok manusia: ada yang mengait-ngaitkannya dengan mitos dan kepercayaan yang menjurus kepada kemusyrikan, ada orang yang menganggapnya sebagai fenomena alam biasa yang penting untuk didokumentasikan sehingga sibuk menyaksikan dan merekamnya, dan orang yang sadar akan kebesaran Allah kemudian berdo’a bertakbir, shalat dan shadaqah sesuai dengan perintah Nabi.
Gerhana sejatinya mengingatkan kita akan kekuasaan Allah, bahwa matahari, rembulan, seluruh makhluk langit, dan juga makhluk yang ada di muka bumi ini tunduk pada-Nya. Allah maha kuasa mengatur semuanya dan membuat kejadian yang lebih dahsyat dari sekedar gerhana. Semua itu hendaknya membuat kita semakin takut akan azab Allah SWT.
Mudah-mudahan gerhana yang terjadi di akhir bulan Ramadhan ini, semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin
Wassalam,
Penulis: KH. Dr. Haris Muslim, Lc. (Sekretaris Umum PP PERSIS)