“Ulama adalah pewaris para Nabi” begitulah Rasulullah tegaskan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi.
Tentu saja sebagai pewaris para Nabi, ulama memiliki peran dan fungsi sebagaimana para Nabi sekalipun status mereka tetap sebagai manusia biasa bukan Nabi ataupun Rasul. Oleh karena itu ulama memiliki tanggungjawab membina, membimbing, menjaga umat di jalan kebenaran dan menghindarkan mereka dari jalan kesesatan sesuai syariat Allah dan Rasul-Nya.
Jika keberadaan para Nabi adalah karunia yang sangat berharga, maka keberadaan para ulama pun di tengah-tengah masyarakat merupakan karunia yang tak ternilai harganya.
Jika keberadaan para Nabi mutlak dibutuhkan oleh umat maka begitupun para ulama. Jika para Nabi adalah manusia agung yang harus ditaati dan dihormati, begitu pula para ulama adalah manusia mulia yang harus ditaati dan dihormati sesuai koridor syar’i.
Imam Ibnu Jarir at Thabari dalam tafsirnya Jami’ul Bayan menjelaskan bahwa yang dimaksud ulama adalah seseorang yang Allah jadikan sebagai pemimpin atas manusia dalam perkara fiqih, ilmu, agama, dan dunia.
Sementara itu, imam Ibnul Qayyim al Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’innya membatasi bahwa ulama adalah orang yang pakar dalam hukum Islam, yang berhak berfatwa, yang menyibukkan diri dengan mempelajari hukum-hukum Islam kemudian menyimpulkannya dan merumuskan kaidah-kaidah halal dan haram.
Ulama adalah seorang pemimpin agama yang dikenal luas masyarakat akan kesungguhan dan kesabarannya dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana Allah firmankan dalam surat As-Sajdah ayat 24, “Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami, ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.”
Dengan kedudukan ulama yang begitu vital dan terhormat, maka menjaga kehormatannya menjadi sebuah keniscayaan. Karena membela kehormatan ulama sama dengan membela agama itu sendiri.
Syaikh Utsaimin pernah berkata, “Mengghibah ulama memberikan mudharat kepada Islam seluruhnya. Karena umat akan tidak percaya lagi kepada ulama lalu mereka akan meninggalkan fatwa para ulama dan lepaslah mereka dari agama.”
Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: ‘Memuliakan para ulama adalah sebuah kewajiban. Karena mereka adalah pewaris para nabi. Sikap meremehkan ulama yang mereka lakukan termasuk perendahan terhadap kedudukan mereka, perendahan terhadap warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan perendahan terhadap ilmu yang mereka miliki.
Jika kita tidak memiliki kepercayaan pada para ulama, lalu kepada siapakah kita akan menaruh kepercayaan? Jika kepercayaan terhadap para ulama telah hilang, lalu kepada siapakah kaum muslimin meminta solusi dalam menyelesaikan masalah-masalahnya dan meminta penjelasan tentang hukum-hukum syari’at? Tatkala hal itu telah terjadi, maka akan terjadi kekacauan dan kebingungan dalam umat”.
Memiliki dan mengamalkan adab terhadap ulama adalah keharusan. Tidak boleh mencela, menggibah dan merendahkan kehormatan ulama.
Ibnu ‘Asakir berkata, “Ketahuilah, bahwa daging–daging ulama itu beracun, dan sudah diketahui akan kebiasaan Allah dalam membongkar tirai orang-orang yang meremehkan atau merendahkan mereka, dan sesungguhnya barang siapa yang melepaskan lidahnya untuk mencela ulama maka Allah akan mengujinya dengan kematian hati sebelum ia mati.”
Syaikh Awad Ar-Ruasti menjelaskan tentang makna perkataan ini, “Siapa yang suka berbicara tentang aib para ulama, maka dia layaknya memakan daging para ulama yang mengandung racun, akan sakit hatinya, bahkan dapat mematikan hatinya.”
Syaikh Umar As-Sufyani mengatakan, “Jika seorang murid berakhlak buruk kepada gurunya maka akan menimbulkan dampak yang buruk pula, hilangnya berkah dari ilmu yang didapat, tidak dapat mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkan ilmunya. Itu semua contoh dari dampak buruk.”
Kalangan yang memusuhi syariat agama ini menggunakan berbagai cara untuk menghancurkan Islam. Salah satu cara yang mereka lancarkan dalam rangka meruntuhkan kewibawaan Islam adalah menggugat otoritas ulama.
Mereka mengetahui bahwa pokok dari tegak dan terpeliharanya agama ini adalah keberadaan para ulama yang dihormati dan ditaati. Maka mereka menyebarkan pemikiran bahwa tidak ada yang boleh dan bisa menjadi pihak yang otoritatif dalam memahami agama ini.
Semua orang berhak dan bisa memahami dan menafsirkan agama sesuai kehendaknya. Bahwa semua faham dan tafsir adalah benar dan tidak ada yang paling benar atau satu-satunya yang benar. Bahwa para ulama juga adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar.
Hanya Allah lah yang benar sementara pemahaman manusia terhadap agama hanya bersifat nisbi dan relatif. Mereka gambarkan dan publikasikan keburukan dan fitnah kepada ulama sehingga hilanglah kepercayaan dan rasa hormat manusia kepada ulama.
Sehingga ketika umat terpengaruh oleh paham mereka yang sesat itu dan lepas dari pemahaman dan keyakinan bahwa Allah telah mengajarkan kebenaran dan telah memberitahukan mana kebenaran dan mana kebatilan serta manusia telah diberikan kemampuan oleh Allah untuk dapat memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah maka umat terjerat turut menjauhi ulama. Mereka merendahkan ulama dan mencampakkan fatwa dan pandangan para ulama.
Allah memberikan ancaman kepada mereka dengan firman-Nya, “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orng mukmin, maka Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatannya, dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
Telah sangat jelas sikap meninggalkan dan merendahkan ulama berdampak kepada kerusakan masyarakat yang sangat fatal dan mengerikan.
Rasulullah telah mengingatkan dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari diri para ulama, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan matinya para ulama, sehingga jika tidak tersisa seorang ulama-pun, maka masyarakat akan mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin, jika mereka ditanya mereka menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan. ” (HR. Bukhari)
Sesungguhnya menjaga kehormatan ulama, mentaati dan memuliakan mereka adalah kebutuhan manusia dan kehidupan. Tanpa ulama, manusia akan hidup tanpa bimbingan dan arahan yang pada akhirnya tatkala manusia hidup tanpa aturan, tidak ada yang ditaati dan dipatuhi maka kehancuran kehidupan hanya tinggal menunggu waktu.
Maka sebagai bukti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah manusia mentaati para ulama yang benar sebagaimana Allah titahkan dalam firman-Nya; “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59)
Allahu A’lam
***
Penulis: Wildan Hasan, Wakil Sekretaris Dewan Tafkir PP Persis