Hukum adalah alat kontrol masyarakat modern dimana suatu tata diciptakan melalui perangkat peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara. Hukum berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan menghindarkan masyarakat dari kekacauan (ordo ab chao). Interaksi sosial masyarakat bisa terjadi dengan baik, tertib dan ada rasa aman dikarenakan adanya hukum. Seorang pedagang nyaman menjajakan dagangannya dikarenakan mengetahui jika dagangannya dicuri, ada hukum yang akan ditegakkan. Orangtua bisa mempercayakan anaknya menempuh perjalanan ke sekolah dalam jarak yang relatif jauh karena ada hukum yang akan ditegakkan jika terjadi sesuatu menimpa anaknya diperjalanan. Dan sekurang-kurangnya, seseorang akan selalu berfikir berulang kali sebelum membuat suatu pelanggaran dikarenakan hukum siap menjeratnya.
Kurangnya wawasan pengetahuan dan tingkat pendidikan menjadikan masyarakat tidak menyadari bahwa hukum adalah elemen yang menjaga stabilitas kehidupan sosial. Bahkan sebaliknya, acap kali hukum dipandang sebagai penghambat, hukum dianggap hal yang kotor dikarenakan banyaknya oknum aparat. Seringkali hukum baru akan dianggap penting ketika seseorang terjerat permasalahan.
Hal-hal tersebut tidak terkecuali juga terjadi dalam tubuh jam’iyyah persatuan Islam. Masih saja bisa ditemukan kader Jam’iyyah Persatuan Islam yang memandang hukum positif sebagai thagut. Padahal ditinjau dari segi kemanfaatan, hukum adalah alat dakwah yang paling representatif, instrumen perlindungan umat, dan juga senjata ampuh untuk menumpas kedzhaliman.
Dalam bermu’amalah masih banyak kader persis yang tidak jeli dan menjadi korban ketidak fahaman diri akan aturan hukum yang berlaku dan tidak bisa membentengi diri dengan instrumen hukum yang telah disediakan.
pun begitu, masyarakat Indonesia yang bercorak kemajemukan dan keberagaman telah ditempa berbagai cobaan berupa konflik dan krisis sepanjang sejarah kemerdekaan. saat ini krisis moral tengah melanda bangsa indonesia dimana perzinaan telah marak terjadi dan merusak kehidupan keluarga. perilaku asusila terhadap anak, dan bahkan belakangan dilakukan oleh anak" dibawah umur. hal ini diperparah dengan pembiaran terhadap kaum LGBT yang mulai mempengaruhi terutama generasi muda.
Dewasa ini ditengah krisis moral yang melanda bangsa indonesia ternyata ada pihak-pihak yang ingin mencederai Rukh Islam dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia, antara lain dengan mengkampanyekan bahkan berupaya melegalkan perilaku menyimpang seperti LGBT sebagaimana telah terjadi di negara-negara barat, membatasi kontrol sosial dengan kedok ham, dan sebagainya. peraturan perundang-undangan Indonesia dalam menangani masalah kesusilaan ternyata belum cukup memadai. pasal pasal tindak pidana kesusilaan masih sangat lemah karena merupakan pasal warisan kolonial Belanda.
Disisi lain, mereka yang mengatasnamakan Komnas perempuan telah mengambil manuver dengan menyusun 250 pasal dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang ternyata substansi muatannya tidak seindah judulnya. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kental dengan kepentingan feminisme sekuler sehingga
apabila disahkan, seorang suami bahkan tidak akan mempunyai hak terhadap istrinya. maka dengan sendirinya, fondasi keluarga akan runtuh.
Munculnya gugatan judicial review terhadap pasal 284,285 dan 292 KUHP merupakan secercah harapan bagi penanggulangan krisis moral yang terjadi belakangan. pasal pasal yang termasuk delik kesusilaan tersebut perlu diperkuat. Pada dasarnya, KUHP memang tidak memberikan arti pelanggaran kesusilaan (perbuatan asusila) itu secara eksplisit. Namun, “kesusilaan” bisa difahami antara lain sebagai suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kesopanan, perasaaan malu yang berhubungan dengan nafsu.
Mengingat kesusilaan amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempatnya, tentunya hal ini sangat urgen mengingat pergeseran paradigma masyarakat Indonesia yang latah terhadap budaya barat. lambat laun, hal hal yang dianggap melanggar kesusilaan akan dianggap hal yang wajar dan biasa apabila para tokoh bangsa dan ulama membiarkan hal ini dan hanya mengandalkan dakwah di mesjid.
Dalam Pasal 284, misalnya terdapat sekurang-kurangnya dua permasalahan. perzinaan hanya dinyatakan terlarang bila salah satu dari pasangan tersebut telah menikah. Bagaimana dengan mereka yang belum menikah? Apakah akan dibiarkan saja berzina? kemudian yang kedua, pasal ini hanya bisa dikenakan sepanjang ada pengaduan dari pasangan resmi (suami/atau istri pelaku przinaan). artinya masyarakat yang mengetahui tidak mempunyai alas hak untuk melakukan pelaporan.
Di Pasal 285, kita jumpai larangan terhadap tindakan perkosaan, namun pasal itu membatasi bahwa korban adalah perempuan. padahal di jaman sekarang ini, tidak sedikit laki-laki yang menjadi korban perkosaan oleh laki-laki lainnya. Kemudian Pasal 292 melarang pencabulan sesama jenis, namun dibatasi hanya bagi orang dewasa terhadap anak-anak. Apakah pencabulan sesama jenis di antara dua orang dewasa lantas bisa diterima? antara lain hal-hal inilah yang perlu dikoreksi.
Gugatan judicial review terhadap pasal 284, 285 dan 292 ini sejatinya adalah upaya taktis dalam menjawab gempuran kaum liberalis dan feminis yang sedang berupaya melegalkan Millah mereka, yang tidak lain untuk melancarkan dekadensi moral bangsa Indonesia. judicial review sendiri adalah mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
Sistem hukum Indonesia sebenarnya sangat terbuka dan kondusif untuk menanamkan spirit keislaman didalamnya. Namun ironis justru sejauh ini peluang peluang tersebut malah lebih banyak dipergunakan oleh liberalis untuk menggerus ajaran Islam.
Upaya Komnas Perempuan menyusun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk dimajukan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2016 secara tidak langsung mendapatkan perlawanan apik dengan adanya gugatan uji materil ini dikarenakan materi muatan pasal pasal 284, 285 dan 292 KUHP ini otomatis telah mencover perlindungan terhadap perempuan tanpa ditumpangi faham feminis-liberalis. dan dari segi waktu, gugatan uji materil lebih cepat dibanding proses pembahasan RUU di DPR.
Akhir kata, apabila mahkamah konstitusi mengabulkan gugatan judicial review tersebut maka pasal perzinaan perkosaan dan pencabulan tidak hanya menjadi alat perlindungan tetapi lebih jauh lagi dapat menjadi tonggak dakwah yang kuat dan menambah instrumen Amar ma'ruf nahyi Munkar. semoga dikemudian hari, lebih banyak lagi umat Islam Indonesia khususnya kader Jam'iyyah persatuan Islam yang bisa menggandeng dan memanfaatkan instrumen hukum untuk membela kepentingan dan menjaga kejayaan Islam. Allahu yakhudzu bi aidina ilaa ma fiehi khairan Lil islami wal muslimiena.
* M. Adli Hakim H.
(Advokat/lawyer pada Kantor Konsultasi dan Bantuan Hukum (KKBH) Pimpinan Pusat Persatuan Islam, Divisi Hukum Lembaga Kajian Harakah Hadamah PP. Pemuda Persatuan Islam, Dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung)