Kaderisasi Persis Tak Sekadar 'Resep'

oleh Reporter

14 Mei 2017 | 12:00

Persatuan Islam dalam catatan sejarah akan genap menjadi 100 tahun. Perubahan yang cukup signifikan telah dialami Ormas yang katanya terbesar ini setelah NU dan Muhammadiyah. Nyatanya, menurut info terbaru Persis belum mendapatkan SK Ormas dari Mendagri, hanya saja Persis baru mendapatkan SK dari Kemenkumham. Saat ini predikat dari pemerintah bagi Persis adalah Perkumpulan Masyarakat. Bukan itu esensinya, diakui atau tidak oleh Pemerintah, Persis telah menorehkan banyak goresan sejarah keilmuan di nusantara. Tak bisa dipungkiri, A. Hassan sebagai tokoh keilmuan di eranya banyak dipuji dan diagungkan pemikiran dan gagasannya. Karyanya banyak dibukukan. Yang paling sohor diantaranya Tafsir Quran Al-Furqan dan Tanya Jawab masalah fiqih. M. Natsir sebagai negarawan muslim yang andilnya tak dipungkiri dalam tegaknya NKRI. KHE. Abdurrahman bisa dikatakan sebagai reformis pendidikan Persis yang  berhasil menyimpan ruh Qur’an Sunnah bagi pendidikan Persis. Isa Anshary, sang Napoleon Masyumi juga intelektual muslim yang menjadi garda terdepan dalam menentang ajaran Nasakom kala itu. Tentunya, dengan semangat mereka, sebagai generasi penerus kita harus menjaga ritme perjuangan mereka. Masa berganti, corak pemikiran tak berubah, Persis tetap menjadi sorotan dengan ketegasannya berpegang kepada Qur’an Sunnah dalam segala aspek ruh kehidupan. Jauh dari itu, Persis dianggap sebagai ajaran yg kuno, pemikirannya sudah tak sejaman. Arah gerakan Persis tak berkembang, dan hanya fokus pada dua aspek vital yaitu Pendidikan & Dakwah. Pendidikan sebagai pokok peradaban, karakternya dibutuhkan dalam mengarungi kehidupan nyata dan masa depan akhirat. Output dari pendidikan tersebut akan menghasilkan good people (خيرامة). Progres yang dilakukan oleh mereka dengan hasil pendidikan adalah bagaimana membawa perubahan yang kecil dengan dampak yang besar. Menyebarkan faham qur’an sunnah, mencegah darinya segala yang dapat menghalangi keberlangsungan progres pemahaman tersebut. Demi menjaga pemikiran Persis tersebut diatas, perlu adanya regenerasi good peoplenya A. Hassan, M. Natsir,Isa Ansori dan KHE. Abdurrahman, tentunya hal ini memerlukan strategic planning, diantaranya : 1.Merancang pola kaderisasi Persis Kejahatan terstruktur akan mengalahkan kebaikan yang tak dirancang. Dalam hal ini hemat penulis, yang berwenang merancangnya adalah PP. Persis sebagai pimpinan tertinggi Jamiyah Persatuan Islam. Bisa melalui Dewan Tafkir dan meminta arahan langsung dari para ulama di Dewan Hisbah. Kiranya penting, hal ini jadi pondasi bagi berlangsungnya dakwah quran sunnah. Persis memiliki lumbung kader yg secara kualitas dan kuantitas sangatlah cukup. Pola ini harus menyentuh aspek kepesantrenan. Secara data, pertahunnya Pesantren Persis di Indonesia meluluskan santrinya tak kurang dari 1000 kader. Berapa persenkah yang masih berada di Persatuan Islam ? Tanda tanya besar bagi kita. 2. Mengembalikan Ruh Pesantren Persis Disadari atau tidak, ruh pesantren persis kian memudar. Ruh yang dibangun dahulu oleh KHE. Abdurrahman kian lama kian tak terasa. Aktor penting dari Pendidikan adalah Asatidz yang handal secara keilmuan dan bersuri tauladan. Sering dijumpai para guru yang tak menjadi guru. Ketika mengajar seolah bukan pengajar, ketika mendidik tak jadi pendidik. Santri yang menjadi pemeran utama nya pun harus memiliki niat yang luhur dalam menimba ilmu.  Tindak tanduknya sebagai seorang pelajar harus terbentuk. Jangan sampai ada celotehan “Sakola di Pasantren mah elmuna moal kapake gawe”. Prinsip pelajar seperti ini harus dikubur hidup hidup agar tak mengakar dalam diri. Belajar itu bukan untuk Bekerja, melainkan untuk mempekerjakan diri dalam berbakti pada Ilahi. Harus ditanamkan ke pelajar, ilmu yang telah dan akan mereka dapatkan semata-mata untuk menjadi sarana mendekatkan pada ilahi robbi. Jika telah dekat, ilmu itu akan menjadi ruh dalam jiwa dengan sendirinya. Maka akan terciptalah kader Rasikh fi ilmi dan generasi ulul albab. Santri yang rasikh fi ilmi dan ulul albab ini nantinya akan berada ditengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat yang heterogen. Di mata masyarakat, lulusan Pesantren itu bisa ngaji, jago dakwah, menguasai dalil-dalil agama. Nyatanya banyak lulusan Pesantren kita yang tak sesuai mata masyarakat. Mereka santri beraploogi “punten, abdi mah di Pesantrena jurusan IPA”. Sangatlah miris jika benar seperti itu. Harus dirumuskan kembali ruh keilmuan agama di Pesantren.   3. Membangun Jaringan yang kuat A.Hassan dikenal di Nusantara dengan kepiawaiannya berdebat masalah kebangsaan dengan Soekarno sang proklamator. M. Natsir memiliki jiwa kepemimpinan kenegaraan yang tangguh sehingga menjadi PM pertama RI. Isa Ansori mampu duduk di jajaran elit Masyumi yang kala itu menjadi Partai Islam terbesar. Mengapa orang persis saat itu bisa duduk sama rata di bumi pertiwi ? Jaringan yang mereka bangun sangat apik dan terstruktur. Mereka berani karena mereka punya kapasitas yang bagus. Tak mungkin A. Hassan berani mendebat soekarno jika dirinya kosong. Mustahil M. Natsir dipilih jadi PM RI jika dirinya tak memiliki kemampuan. Kapasitas yang baik akan mengurut jaringan yang kuat.   Tiga poin diatas, hemat penulis harus jadi dasar dalam menentukan arah gerak kaderisasi Persatuan Islam. Resep yang diberikan haruslah sesuai kebutuhan, agar kelak tak kehilangan arah.   Wallahu a’lam. Allaahumma faqqihu fiddin.   *** Penulis: Kholid Barkah, Ketua IPP Persis Kabupaten Garut 2013
Reporter: Reporter Editor: admin