Jakarta, persis.or.id - Semakin dekat dengan penyelenggaraan Pemilu 2024, hingar bingar kampanye para pendukung masing-masing paslon capres-cawapres semakin seru, bahkan cenderung sengit.
Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP PERSIS) telah berulang kali menyampaikan sosialisasi secara luas ke semua jenjang pimpinan jamiyyah terkait kebijakan yang telah diambil oleh tim siyasah PERSIS.
Namun, tetap saja tidak meredakan suara-suara yang tidak puas, mempertanyakan, dan mengkritsi kebijakan siyasah PP PERSIS tersebut.
Ketua Umum PP PERSIS Dr. K.H Jeje Zaenudin, M.Ag menanggapi respons beragam dari pimpinan dan jamaah yang memiliki pandangan berbeda.
“Saya memandang, fenomena seperti itu hal biasa dan wajar saja,” kata Ustaz Dr. Jeje ketika dimintai keterangannya, Selasa (2/1/2024).
Ustaz Jeje menambahkan, pertama-tama yang harus dipahami bahwa kebijakan pimpinan bukan ditujukan dan berdasar kepada apa yang bisa memuaskan semua orang.
Tetapi berijtihad mencari yang paling baik dan paling maslahat untuk kepentingan tujuan dan cita-cita utama perjuangan jamiyah, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
“Apa jadinya jika suatu kebijakan dasarnya ingin memuaskan semua orang? Maka lembaga kepemimpinan bukan membawa kemajuan kepada umat, tetapi menjadi alat legitimasi untuk memuaskan umatnya,” ucapnya.
Kedua, ukuran dan batasan suatu kemaslahatan sangat berpotensi untuk diperdebatkan di dalam jamiyyah tersebut.
Ini bisa terjadi karena adanya perbedaan persepsi dan interpretasi, atau bisa juga karena perbedaan kepentingan, tingkatan ilmu, informasi, referensi, dan lain-lainnya.
Ditambah lagi kemaslahatan suatu perjuangan itu tidak selamanya nampak jelas dipahami semua orang.
"Jangankan kebijakan pemimpin, ketetapan syariat Allah saja masih banyak yang mempertanyakan karena belum bisa dipahami apa kemaslahatannya,” papar Ustaz Jeje.
Ustaz Jeje mencontohkan dengan adanya ‘iddah bagi perempuan dalam perceraian menurut Islam tapi bagi laki-laki tidak ada. Apa maslahat yang terkandung di dalamnya?
Menurutnya, orang yang tidak sempurna imannya banyak merasa tidak puas atas ketetapan Allah itu dan menuduhnya sebagai ketetapan yang diskriminatif.
Contoh lain, kata Ustaz Jeje, adanya kebijakan Rasulullah di bidang siyasah yang seringkali dipertanyakan oleh para sahabatnya.
Seperti kebijakan Rasulullah dalam hal menerima perjanjian damai dengan musyrikin Mekkah di Hudaibiyah, dalam hal pembagian ghonimah perang Hunain.
Juga dalam kebijakan menunjuk Usamah bin Zaid menjadi panglima perang pada usianya yang baru 18 tahun.
Selain itu kebijakan pada rencana penulisan wasiat sebelum beliau wafat, dan lain sebagainya.
“Jadi kalau ketetapan Allah dan kebijakan Rasulullah saja orang bisa mempertanyakan, maka pasti lebih wajar lagi suatu kebijakan pemimpin yang hanya manusia biasa,” paparnya.
Ustaz Jeje menegaskan, jangan mau jadi pemimpin jika tidak bisa menerima kritikan dan pertanyaan atas suatu kebijakan.
Selain itu, Ustaz Dr. Jeje juga menekankan adanya mempertanyakan dengan menghujat.
Menurutnya, kalau mempertanyakan itu hak jamaah dan memang diajarkan oleh para ulama kita agar bersikap kritis dalam segala hal.
“Tidak boleh asal manut saja alias taqlid. Kita mempertanyakan karena kita harus paham alasannya suatu urusan, namanya ittiba',” ujarnya.
Maka menurutnya, setelah paham argumentasinya, terlepas sepakat atau tidak, kemudian ittiba' atau menerima dengan lapang dada.
"Maka kewajiban pimpinan melakukan edukasi, sosialisasi, dan penjabaran argumentasi kebijakannya agar jamaah tidak salah paham,” tambahnya.
Adapun jika ada hujatan dalam arti menentang, membangkang, apalagi sampai sumpah serapah terhadap suatu kebijakan, jelas sudah keluar dari konteks kehidupan berjamaah dan berjam'iyah yang diajarkan Rasulullah.
“Karena, hujatan biasanya bukan muncul dari sikap kritis dan kepenasaranan, melainkan diawali dari kebencian, buruksangka (su'uzhan), atau ketidakpercayaan atas kapasitas dan integritas pimpinan,” sebut dia.
Selain itu, kewajiban pimpinan menetapkan suatu kebijakan berdasar musyawarah secara benar dan objektif, bukan berdasar pemaksaan, otoriter, dan subjektif seorang pemimpin.
“Jika semua itu telah dilakukan, lalu dihujat, saya kira itu sudah bukan dalam konteks dan bingkai berimamah imarah jamiyah lagi, tetapi masuk wilayah provokasi dan menggiring opini untuk tidak percaya kepada lembaga kepemimpinan jamiyah,” jelas Ustaz Jeje
Ustaz Jeje meyakini, sampai saat ini tidak ada nada-nada menghujat kepada suatu kebijakan jamiyyah, baik pada aspek dakwah, pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya.
“Kalau ada ditemukan, saya yakin itu dari pihak yang bukan bagian dari jamiyah ini,” sebutnya.
Karenanya, dia mengimbau untuk diri sendiri dan semua warga jamiyah agar tetap bertakwa kepada Allah dengan menjaga ketulusan niat, kecintaan atas kebaikan, menguatkan ukhuwah dan persaudaraan.
Serta saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran, kemudian menghindari segala hal yang merusak tali ukhuwah dan jamaah.
Hal ini sebagaimana yang diperingatkan Allah dalam surat Al Hujurat ayat 11-12, yaitu jangan saling mencemooh, jangan saling mencela, jangan saling memanggil dengan panggilan atau stigma buruk, jangan buruk sangka, jangan mencari kesalahan orang lain, dan jangan mengumpat kesalahan orang lain.
“Insya Allah, dengan mengikuti tuntunan Al Quran dan Sunnah nabi dalam kita berjamiyyah dan berjamaah kita akan kokoh, bersatu, sukses, dan selamat dunia akhirat,” tandasnya. (/HL)
[]