Dalam bahasa Inggris,
conflict berarti perselisihan; percekcokan; atau pertentangan. Baik percekcokan itu sebatas pertengkaran mulut atau sampai pertentangan dengan mengadu kekuatan fisik dan senjata, baik pertentangan individual ataupun kolektif dan missal, baik pertentangan itu terselubung dan bersifat internal maupun terbuka dan bersifat eksternal. Sedang secara terminologi, konflik dapat didefinisikan dari dua pendekatan; psikologis dan sosiologis. Secara psikologis, konflik dijelaskan sebagai “benturan dua atau lebih motiv yang kuat yang tidak dapat di selesaikan secara bersamaan”.
[1] Benturan dua motive ini sering kali dipicu oleh jurang yang lebar antara apa yang menjadi cita-cita ideal dengan kenyataan. Atau antara “dunia dalam” dengan “dunia luar”-nya. Konflik internal individual seperti ini manakala tidak dapat teratasi dan tidak terselesaikan secara memuaskan sering menjadi penyebab gangguan kesehatan jiwa seseorang.
[2]
Secara sosiologis, konflik dimaksudkan sebagai situasi pertentangan sosial yang ditandai dengan adanya interaksi dua pihak atau lebih yang bertikai dengan kepentingan yang berbeda.
[3] Konflik sosial biasanya melewati dua tahap; tahap disorganisasi dan tahap disintegrasi. Disorganisasi merujuk kepada suatu situasi sosial di mana satu atau beberapa kelompok masyarakat merasa tidak cocok dengan norma-norma yang ada dan berlaku. Baik karena kesalahpahaman terhadap norma-norma tersebut atau karena norma tersebut dipandang asing serta tidak sesuai dengan keyakinan yang di anutnya, atau juga karena kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma tersebut. Sedang disintegrasi bukan hanya kegagalan kelompok masyarakat dalam beradaptasi dengan norma-norma yang baru dan dipandang asing atau norma-norma lama yang dianggap sudah usang, melainkan sudah diwujudkan dengan sikap dan tindakkan penentangan sebagai protes terhadap norma-norma tersebut.
[4]
Yang dimaksud norma dalam konteks sosiologis adalah tata aturan perilaku dalam masyarakat yang meliputi empat bentuk: Pertama, bentuk
usage atau cara. Norma dalam bentuk ini adalah tatacara prilaku dalam suatu masyarakat yang bersifat longgar. Dimana tiap individu dalam prilaku ini sangat memungkinkan mempunyai cara sendiri yang belum tentu disukai oleh keumuman orang. Baik itu dalam berpakaian, makan, minum, berkata atau tertawa, akan tetapi pelanggaran atas cara-cara ini tidaklah dipandang oleh masyarakat sebagai pelanggaran berat, melainkan dianggap sesuatu ketidaksopanan di depan orang lain. Dengan kata lain,
usage adalah norma yang daya ikatnya terhadap prilaku individu dalam sebuah masyarakat sangat lemah karena lemahnya daya sanksi masyarakat atasnya.
Kedua, bentuk
folksways atau kebiasaan. Norma dalam bentuk ini adalah kebiasaan yang terus menerus dilakukan masyarakat sebagai sesuatu yang disukai dan dipandang baik. Penghormatan seorang anak muda atas orang yang lebih tua, umpamanya, dapat dikatagorikan ke dalam norma kebiasaan. Pelaku pelanggaran atas kebiasaan ini dikatagorikan sebagai bersalah dipandangan masyarakat. Karena itu,
foklsway adalah norma yang memiliki daya ikat setingkat lebih kuat di atas
usage.
Ketiga,
mores atau tata laku. Menurut Mac Iver dan Page,
[5] mores adalah kebiasaan tingkah laku masyarakat yang sudah dipandang sebagai norma-norma pengatur, dimana setiap individu terikat untuk menyesuaikan dengan norma tersebut untuk mendapat pengakuan sebagai anggota kelompok masyarakat. Tata laku atau
mores mempunyai daya ikat yang kuat dengan sangsi yang berat. Sehingga dalam tata laku sudah terkandung sifat paksaan memerintah dan melarang agar tiap individu menyesuaikan prilakunya dengan norma tersebut.
Keempat,
custom atau adat istiadat. Yaitu norma tata laku yang sangat kuat integrasinya dengan pola-pola prilaku masyarakat serta mempunyai sangsi yang berat bagi pelanggarnya, bukan hanya karena dipandang menyimpang dari tata prilaku yang berlaku dimasyarakat, melainkan dianggap menodai norma-norma religi atau ajaran kepercayaan yang sakral.
[6]
Penentangan kelompok-kelompok masyarakat terhadap norma-norma yang ada menimbulkan suasana ketegangan dan konflik yang membawa kepada situasi disintegrasi atau perpecahan. Disintegrasi masyarakat tidaklah terjadi secara tiba-tiba melainkan melalui proses yang bertahap. Proses disintegrasi ini menurut Astrid S. Susanto
[7] melalui lima tahapan:
- Anggota-anggota kelompok masyarakat mulai tidak sepaham tentang tujuan bersama yang semula disepakai dan dijadikan pegangan kelompok.
- Norma-norma yang ada dipandang sudah tidak sesuai dan tidak membantu lagi dalam mencapai tujuan yang disepakati.
- Norma-norma yang dihayati anggota masyarakat tidak lagi seragam malah saling bertentangan.
- Sangsi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pelanggaran norma sudah menjadi lemah
- Masyarakat sudah bertindak bertentangan dengan norma-norma kelompok.
Ketika pertentangan-pertentangan di ditengah masyarakat tidak dapat lagi dikendalikan atau diselesaikan dengan norma-norma umum yang masih disepakati, dapat dipastikan masyarakat tersebut telah memasuki babak disintegrasi yang sesungguhnya.
Manusia adalah makhluk
bidimensional, dimana dua unsur yang mempunyai karakter berbeda –yaitu ruh dan jasad– menjelma sebagai satu pribadi. Unsur yang disebut pertama, karena ia merupakan tiupan langsung dari ruh Allah
[8], mempunyai sifat dasar yang suci dan kekal abadi.
[9] Karena itu kecenderungan dan kebutuhannyapun kepada kesucian dan keabadian hidup. Sementara jasad atau tubuh manusia tercipta dari bahan materi yang terdapat dalam tanah yang menjadi tempat tinggal manusia itu sendiri. Tidaklah mengherankan kalau kebutuhan utama jasad manusia juga dari segala yang bersifat materi. Yang memuaskan jiwa adalah nilai-nilai, sementara yang memuaskan tubuh adalah makanan dan minuman yang lezat. Karakter yang berbeda dari dua unsur penciptaan manusia ini yang menyebabkan manusia secara
kodrati terus menerus berada dalam konflik internal, di dalam dirinya sendiri. Konflik internal ini adalah penting sebab dinamika kehidupan serta kebahagian manusia justru terletak dalam keberhasilannya memenuhi sekaligus menjaga dua kecenderungan tersebut secara proporsional dan adil.
Konflik yang terjadi antar manusia adalah refleksi dari konflik internalnya. Dorongan memenuhi tuntutan kebutuhan hidup –jasmani dan ruhani– menyebabkan manusia senantiasa berfikir dan bertindak. Dalam proses memenuhi kebutuhan hidup itulah perbedaan pemikiran dan tindakan antara satu individu atau satu kelompok manusia dengan individu atau kelompok lainnya tidak dapat dihindari. Sebab tidaklah setiap orang menggunakan landasan pemikiran dan tindakan yang sama. Seringkali orang mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang satu masalah yang sama, sehingga terjadi perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan dan perbedaan prilaku dalam memenuhi kebutuhan hidup mengakibatkan terjadinya benturan satu kelompok masyarakat dengan yang lainnya. Inilah proses munculnya konflik sosial.
[10]
Selama jasad dan ruh menyatu, maka dorongan kepentingan yang berbeda akan terus ada. Demikian pula selama manusia itu hidup bermasyarakat, konflik kepentingan akan terus berlangsung. Karena itu sebagian sosiolog, seperti yang disinyalir oleh Paul B. Horton, beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas serta berkecenderungan ke arah perselisihan, ketegangan, dan perubahan.
[11] Sejarah masyarakat manusia memang tidak dapat dipisahkan dari konflik.
Menurut teks atau ayat-ayat kitab suci agama-agama samawi, kehadiran manusia dimuka bumi diawali dengan konflik Adam dengan Iblis. Allah menurunkan Adam ke bumi karena kekalahannya dari tipudaya Iblis. Karenanya, kehadiran manusia di dunia membawa suatu
kodrat ilahiyah untuk senantiasa bersaing dan bermusuhan dengan Iblis dan parapengikutnya.
[12] Seperti yang diberitakan dalam kitab suci juga bahwa konflik antar manusia yang pertama kali membawa korban jiwa telah terjadi pada generasi awal dari kehadiran manusia di muka bumi ini. Habil adalah korban pembunuhan pertama akibat konflik kekerasan yang justru dilakukan oleh saudara kandungnya sendiri, Qabil.
[13] Pemicu permusuhan Qabil atas Habil dalam sebagian riwayat malah sangat jelas adalah persaingan memperebutkan calon istri.
[14]
Disamping faktor perbedaan kepentingan dan prilaku, sebagaimana dikemukakan di atas, faktor lain pemicu konflik sosial adalah diskriminasi dan etnosentris. Diskriminasi adalah tindakan berat sebelah akibat pengaruh prasangka yang berlatarbelakang sejarah, sosial kultural, faktor kepribadian, perbedaan keyakinan, kepercayaan atau agama. Sedang etnosentris adalah suatu kecenderungan yang menganggap nilai dan norma kebudayaan sendiri paling unggul dan paling sempurna, sedang nilai dan norma kebudayaan orang lain dipandang rendah dan buruk. Akibatnya timbul prilaku yang melanggar atau bahkan melecehkan norma budaya pihak lain serta menghukumkan budaya orang lain dengan budayanya sendiri.
[15]
Ditinjau dari alasannya, konflik sosial dapat dikatagorikan kepada konflik rasional dan irrasional. Suatu konflik disebut rasional jika ia terjadi karena memperebutkan tujuan-tujuan yang rasional; seperti perebutan kekayaan atau jabatan tertentu, dan dinamakan irrasional manakala ia terjadi tanpa suatu tujuan yang jelas, melainkan terjadi demi konflik itu sendiri.
[16] Sedang dari sudut keterlibatan pelakunya, konflik terjadi dalam tiga tingkatan; konflik di dalam diri, konflik pada tingkatan kelompok, dan konflik dalam lingkup masyarakat luas.
[17] Konflik memang berkonotasi buruk, tetapi tidak berarti bahwa setiap konflik membawa keburukan. Sepanjang dapat dikendalikan dengan baik dan dicegah dari tindakkan anarkis serta kekerasan fisik dan senjata, konflik memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat dalam meningkatkan saling memahami, meningkatkan hubungan antar kelompok yang berbeda serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah bersama. Tetapi konflik akan menimbulkan kerusakkan dan kerugian besar –materil maupun moril– jika gagal dicarikan solusinya.** (Bersambung)
[1]Ensiklopedi
Britanica, (Chicago University, 1992), edisi XV, vol.III, hal 592
[2]MR.A.G.Pringgodigdo, dkk,
Ensiklopedi Umum, (Jakarta: Yayasan Kanisius, 1977), hal.578
[3]M.Arifin Hakim,
Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Pustaka Satya, 2001), hal.120
[4]Ibid, hal.114
[5]Soerjono Soekanto,
Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1990), edisi baru keempat, hal 120.
[6]Ibid, hal. 220-223
[7]Astrid S.Susanto,
Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Bina Cipta, 1985), hal. 104
[8]Dalam hal ini teks al Qur’an menyatakan,
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (Surat Al Hijr : 29)
[9]Para ulama Islam berbeda pendapat mengenai keabadian ruh manusia setelah terlepas dari jasadnya di dunia. Sebagian berpendapat bahwa ruh juga mengalami kematian lagi. Sedang sebagian yang lain berpendapat tidak mengalami kematian lagi. Tetapi mayoritas ulama sepakat bahwa ruh manusia akan kekal abadi setelah berada di surga atau di neraka. Mengenai diskusi tentang kekekalan ruh ini dapat dibaca pada Syamsuddin Abu Abdillah, yang terkenal dengan Ibnu Qayim al Jauziyah, dalam kitabnya
Ar Ruuh (Beirut: Dar el Fikr, 1989), hal. 43- 47
[10]M.Arifin,
Ilmu Sosial Dasar, hal.118
[11]Paul B. Horton,
Sosiologi I, terjemah Indonesia oleh Aminudin Ramm dkk, (Jakarta: Erlangga, 1987), hal.25, dalam Dadang Kasmad,
Sosiologi Agama, (Badung: Rosdakarya, 200), hal.147
[12]Surat Thâhâ ayat 103 dari kitab suci al Qu’ran umpamanya menyatakan,
“Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”
[13]Kisah perselisihan kedua putra Adam ini yang berujung pada pembunuhan dapat dibaca dalam surat Al Mâidah ayat 26-32. Komentar yang luas terhadap teks kitab suci di atas dapat dibaca dalam Tafsir Muhammad Rasyid Rida yang terkenal dengan nama
Tafsir Al Manâr (Beirut: Dar el Fikr, tt), cet ke 2, jilid VI : 339-352
[14]Al Hafidh Imaduddin Abul Fida Ismail bin Katsir,
Tafsier al Qur’ânul Karîm, (Semarang: Toha Putra, tt.), jilid II, hal. 41-42
[15]M.Arifin Hakim,
Ilmu Sosial Dasar, hal. 119
[16]ibid, hal.121
[17]Ibid, hal.120