Fazlur Rahman adalah sosok pemikir islam intelektual yang menghasilkan karya-karya yang banyak dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Hasil karyanya yang begitu banyak dapat memperluas pengetahuan tentang tasawuf dan juga filsafat.
Dengan berbagai cara dan jalan yang di tempuh beliau untuk menyampaikan gagasannya yang bernilai sangat tinggi sebagai suatu gerakan Islam.
Selama hidup beliau mengabdikan dirinya dalam mengembangkan agama.
Karya-karya yang begitu banyak mengajarkan kita segala ilmu pengetahuan tentang islam yang pertama kali di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana cara Fazlur Rahman menjelaskan tentang wahyu dan perjalanan Nabi Muhammad dalam menyebarkan Islam.
Fazlur Rahman juga menjelaskan apa itu al-Qur’an dan segala bentuk ajaran agama Islam. Serta asal-usul perkembangan tradisi sampai perkembangan modern juga tentang filsafatnya telah banyak di sampaikan (Fahrizal, 2020).
Rahman dalam (Mahendra, 2023) menjelaskan perkembangan sejarah islam ketika memasuki abad ke-18 dan ke-19 dunia muslim memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya.
Ketika gempuran dari barat mulai menyerang wilayah Islam yang sangat luas. Berbagai bentuk serangan pun tak bisa dihindarkan, yang paling menyita perhatian adalah ketika Barat mulai melakukan penjajahan ke wilayah-wilayah Muslim, baik di Eropa, Asia dan Afrika, dimana wilayah-wilayah bangsa Muslim di taklukan dan ditundukan.
Hal ini disusul dengan masuknya berbagai intelektualisme dan keagamaan yang masuk dari berbagai jalan, yang semakin mempengaruhi berbagai pemikiran keagamaan dan sosial pada saat itu.
Dikotomi Pendidikan Islam
Secara etimologi, istilah dikotomi berasal bahasa Inggris dichotomy yang berarti pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.
Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikotomi dapat diartikan sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.
Secara umum, istilah dikotomi digunakan untuk membedakan antara dua hal yang berbeda. Adapun secara istilah, dikotomi dapat dipahami sebagai suatu pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama.
Dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain di mana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya (Yusuf, Said and Hajir, 2021).
Dalam proses kesejarahan, dikotomi tersebut diawali dengan perkembangan pertemuan Islam-Arab dengan budaya lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam serta diakhiri dengan pertentangan dua cara berpikir yang cukup berpengaruh dalam pembentukan dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban Islam.
Islam yang pada awalnya universal, mengakomodir semua permasalahan dan aspek kehidupan, menemukan titik pembelahan ketika ada pertemuan dengan ilmu-ilmu filsafat yang notabene berasal dari non –Islam (Mustaqim, 2015).
Dikotomi ilmu dan Agama dalam sejarah peradaban Islam cukup berpengaruh dalam pembentukan pola berpikir masyarakat yang dilanjutkan dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Nusantara, merupakan sebuah masalah kontemporer yang keberadaannya tidak terlepas dari sebuah proses sejarah penjajahan yang panjang sehingga bisa muncul sekarang ini.
Proses sejarah tersebut diawali perkembangan pertemuan kultur budaya Islam-Arab dengan budaya lainnya, yang kemudian diakhiri dengan pertentangan oleh kultur keduanya (Tamami, 2019).
Dalam konteks pendidikan Islam, dikotomi lebih dipahami sebagai dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan.
Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kaffah dan universal.
Faktor lain yang menyebabkan kemunculan dikotomi ilmu adalah fanatisme dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam kehidupan bermasyarakat melahirkan sikap esklusivisme.
Gerakan Islam termasuk dalam kategori gerakan esklusif tersebut. Ekslusif dalam arti kemunculan pemikiran bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada pada agamanya semata, agama orang lain semuanya salah.
Agama orang lain sama sekali berbeda dan tidak mempunyai keselamatan sedikit pun, sehingga tidak perlu ada dialog karena tidak akan mencapai titik temu.
Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya dan mengisolasi diri dari yang lain, menolak untuk bekerja sama dalam memecahkan permaslahan-permasalahan, dan terkadang suka menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan dengan luar agamanya (Mustaqim, 2015).
Secara konsep normatif menurut Abdul Rahman, Islam tidak mengenal istilah dikotomi ilmu. Di dalam Al-Quran dan Hadits kita tidak akan menemukan dalil yang menjadi dasar adanya dikotomi ilmu, sebaliknya Agama Islam menganjurkan untuk mencari ilmu dan mempelajari semua cabang ilmu.
Ramayulis menjelaskan, dalam pendidikan Islam tidak mengenal batasan antara agama dan sains. keduanya adalah tuntutan akidah Islam.
Oleh sebab itu dalam dunia pendidikan tidak dibenarkan adanya dikotomi pendidikan sains dengan pendidikan agama.
Siswa harus memahami Islam keseluruhan way of life, minimal guru dapat melakukan perubahan perspektif pola pikir terkait konsep ilmu secara langsung dikaitkan dengan dasar keagamaan (Tamami, 2019).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dualisme pendidikan bukanlah terbaginya ilmu pada beberapa disiplin, melainkan fungsi ilmu sendiri dimana seharusnya terdapat hubungan fungsional.
Namun hubungan tersebut terpisahkan, sehingga muncullah istilah pendidikan agama dan pendidikan umum.
Upaya Rekonstruksi Pemikiran Islam Fazlur Rahman
Pembaharuan dalam Islam muncul dengan tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan yang pernah di alami pada zaman yang sebelumnya.
Fazlur Rahman memiliki pengetahuan tentang Islam sebagai warisan agama, politik, budaya, serta etika dalam menghadapi perubahan dunia yang sangat pesat.
Awalnya ia memfokuskan kajian intelektualnya pada bidang filsafat. Kemudian ia mulai memfokuskan kajian intelektualnya pada bidang teologi atau pemikiran para tokoh agama yang menggabungkan keahlian dan minat mereka pada masalah-masalah hukum yang ada (Isnaini Fauziatun Nisya, 2019).
Sementara istilah rekonstruksi dalam sejarah pemikiran Islam kontemporer, telah banyak digunakan juga oleh para pemikir muslim kontemporer, seperti Hassan Hanafi, Ashgar Engineer, dan juga Rahman.
Rahman menyatakan bahwa rekonstruksi pemikiran Islam adalah menelaah kesejarahan krisis Islam dan menawarkan suatu cetak biru (blue print) bagi transformasi kehidupan intelektual ke dalam suatu kekuatan kreatif dan vital.
Dengan demikian, rekonstruksi pemikiran Islam di sini diartikan sebagai usaha Rahman dalam memberikan interpretasi baru, yang lebih menyentuh situasi dan kondisi kontemporer, terhadap khazanah pemikiran mapan dan ortodoks dengan tanpa menegasikannya (Majdi, 2019).
Sebagai seorang intelektual Rahman yang memperoleh pendidikan formal sampai jenjang tertinggi tentu mempunyai sejarah sendiri dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran.
Disebutkan bahwa Rahman pada dasarnya mempunyai dasar-dasar disiplin tradisional keislaman, namun karena perkembangan studi lanjutnya di Barat maka arus pemikirannya tidak dapat dilepaskan dari tradisi intelektual yang berkembang di sana.
Dengan pengalaman didikan dua jalur tersebut menjadikan Rahman mempunyai karakter yang khas. Karakter pemikiran yang kemudian disebut sebagai cikal bakal Neo-Modernisme Islam dapat ditelusuri melalui perkembangan pemikirannya lewat tulisan dan karya-karya yang dihasilkan dari waktu ke waktu (Widayani, 2020).
Adapun konsep neomodernisme Islam dalam perspektif Fazlur Rahman jika ditelaah dalam aspek epistemologi, dapat disimpulkan bahwa Rahman menitikberatkan metode pembaruannya pada pendekatan historis atau sejarah.
Hal ini dapat dilihat dari bukunya pada periode perkembangan yang secara gamblang memberikan uraian mengenai akar sosio-historis dari perkembangan sumber ajaran Islam serta peradaban dan pemikiran Islam.
Sementara dilihat dari karya Rahman pada periode kematangan, dapat dikatakan bahwa Rahman mendasari pemikirannya pada alquran dengan menempatkannya sebagai sumber terbaik bagi kehidupan individual dan kolektif.
Dengan demikian, dapat disebut bahwa Rahman adalah sosok intelektual muslim yang berorientasi qurani (Majdi, 2019).
Ragam Modernisasi Pemikiran Islam Fazlur Rahman
Fazlur Rahman mengelompokkan ragam perkembangan modernisasi yang hadir di Dunia Islam dalam empat kelompok. Pertama adalah revivalisme pramodernis yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika.
Lalu yang kedua adalah modernisme klasik, yang muncul pada pertengahan abad ke-19 dan pada awal abad ke- 20.
Lalu yang ketiga adalah neo-revivalisme yang telah berpengaruh berkat adanya gerakan yang kedua, modernisme klasik. Dan keempat di bawah pengaruh neo-revivalisme, yang juga merupakan tantangannya adalah neo-modernisme lahir.
a. Revivalisme Pra-Modernis
Gerakan ini muncul pada abad ke-18 dan 19 diberbagai wilayah-wilayah Islam seperti Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut: pertama, keprihatinan yang mendalam kepada degenarasi sosial-moral umat Islam dan berusaha untuk mengubahnya.
Kedua, seruan untuk kembali kepada Islam sejati dan menolak takhayul-takhayul yang disebarkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, dan meninggalkan ide tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum-hukum serta berusaha untuk melakukan ijtihad.
Ketiga, imbauan untuk menolak corak predeteranministik. Keempat, seruan untuk melakukan pembaruan ini lewat kekuatan-kekuatan bersenjata (jihad) jika dibutuhkan.
Salah satu analisisnya, Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa gerakan-gerakan tersebut adalah respon dari ajaran-ajaran sufisme pada klasik yang telah bercampur dengan sufisme teosofis yang membuat umat Islam pada saat itu tertinggal.
Salah satunya adalah gerakan Wahabi yang hadir sebagai reaksi keras atas penurunan moral yang menggerogoti umat Islam selama berabad-abad.
Gerakan Wahabi ini terilhami oleh ajaran-ajaran dan kitab-kitab karya Ibn Taimiyah, ulama Hanbali dari abad ke-14. Yang paling khas dari Wahabi ini adalah penolakannya tentang bid'ah, takhayul, dan ajaran Ibn Arabi yang sangat kontroversial dalam sejarah Islam dan tasawuf (Mahendra, 2023).
b. Modernisme Klasik
Gerakan modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, dengan mengambil dasar pembaharuan revivalisme modernis dan berada dibawah pengaruh ide-ide Barat.
Gerakan ini mengembangkan isi ijtihad, seperti hubungan antara akal dan wahyu, pembauran sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita, pembauran politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang refresentatif serta konstitusional.
Kesemuanya terjadi karena kontak dengan pemikiran dan masyarakat Barat. Menurut Rahman usaha modernisme klasik dalam mengaitkan pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui al-Qur'an dan Sunah Nabi merupakan prestasi besar.
Sunnah Nabi disini diartikan sebagai sunnah historis, yaitu biografi Nabi, bukan Sunnah teknis yang terdapat dalam hadis-hadis yang non histories.
Modernisme klasik bersikap skeptis terhadap hadis-hadis, tetapi sayang tidak ditopang oleh kritisme ilmiah (Ajahari, 2016).
c. Neo-Revivalisme Modernisme
Gerakan ketiga ini mendasarkan dirinya pada basis pemikiran gerakan sebelumnya yaitu bahwa Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia baik individual maupun kolektif. Ciri yang paling menonjol dari tipologi gerakan adalah sikapnya yang anti-Barat secara total.
Perlu dicatat bahwa karena sebagian neo-revivalisme merupakan penerimaan dan sebagian lagi merupakan reaksi terhadap modernisme klasik, maka pada dasarnya neo-revivalisme muncul dan tumbuh di belahan-belahan dunia islam yang mana modernisme klasik muncul lebih dahulu (Widayani, 2020).
d. Neo-Modernisme
Dengan berpijak pada kajiannya atas karakteristik ketiga, Rahman mencanangkan suatu gerakan baru yang disebutnya dengan Neo-modernisme.
Ciri utama dari gerakan baru ini adalah pengembangan suatu metodologi sistematis yang mampu melakukan rekonstruksi Islam secara total dan tuntas serta setia kepada akar-akar spiritualnya dan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan Islam modern tanpa mengalah secar membabi buta kepada Barat atau menafikannya sama sekali.
Demikian pula terhadap warisan-warisan kesejarahan Islam, neo-modernisme akan bersikap kritis.
Dalam pandangannya tradisi bukanlah kumpulan warisan masa lampau yang statis dan tidak berubah, melainkan proses yang dinamis dan terus berubah yang harus diarahkan sejalan dengan prinsip-prinsip yang diturunkan dari Qur’an dan Sunnah.
Dengan demikian dalam konteks ini penting bagi Rahman untuk membedakan antara yang ‘Islami’ dan ‘yang murni historis’.
Inilah yang mengantarkannya kepada pembedaan antara Islam normatif dan Islam historis (Widayani, 2020).
Kesimpulan
Fazlur Rahman adalah sosok pemikir muslim yang sering disebut sebagai tokoh neomodernisme. Rahman menunjukkan kecermelangan berpikirnya melalui gagasan neomodernisme yang disertai metodologi pembaruan dan rekonstruksi sejarah pemikiran Islam.
Metodologi pembaruan yang dikenal dengan teori gerakan ganda ini, tidak hanya sesuai dan cocok dalam penafsiran alquran mengenai ayat hukum, seperti yang terlihat dalam bukunya yang berjudul Major Themes of Quran, tetapi bisa juga merupakan pemikiran filsafat sejarah dari Rahman.
[]
Daftar Pustaka
Ajahari (2016) ‘Pemikiran Fazlur Rahman Dan Muhammad Arkoun’, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 12, pp. 232–262.
Isnaini Fauziatun Nisya (2019) ‘Fazlur Rahman sebagai Tokoh Pembaharu Islam 1919–1988 M’, Qurthuba: The Journal of History and Islamic Civilization, 3(1), pp. 1–20.
Mahendra, F. R. (2023) ‘Dialektika Pembaruan Islam dalam Pembacaan Fazlur Rahman: Jurnal Pemikiran Islam’, 9(1), pp. 100–117.
Majdi, A. L. (2019) ‘Metodologi Pembaruan Neomodernisme dan Rekonstruksi Pemikiran Islam Fazlur Rahman’, NALAR: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, 3(1), pp. 27–42. doi: 10.23971/njppi.v3i1.1196.
Mustaqim, M. (2015) ‘Pengilmuan Islam dan Problem Dikotomi Pendidikan A . Pendahuluan Dalam sebuah diskusi ilmiah di STAIN Kudus beberapa waktu lalu , Prof . Yudian Wahyudi , Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyatakan bahwa ilmu Islam yang sekarang ini kita warisi te’, 9(2), pp. 255–274.
Tamami, B. (2019) ‘Dikotomi Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Umum’, Jurusan Teknik Kimia USU, 3(1), pp. 18–23.
Widayani, H. (2020) ‘Neomodersnisme Fazlur Rahman’, El-Afkar, 9(1), pp. 85–100.
Yusuf, M., Said, M. and Hajir, M. (2021) ‘Dikotomi Pendidikan Islam : Penyebab dan Solusinya’, Pendidikan Agama Islam, 1(1), pp. 13–19.