Bandung – persis.or.id, Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia menginisiasi dan menjadi koordinator untuk 12 orang pemohon yang menilai perlunya uji materiil (judical review, red) atas beberapa pasal dalam KUHP yang sudah tak sejalan dengan nilai-nilai moral dan agama sebagai sebuah bangsa beradab. Perwakilan dari PP Persis dan Persistri ikut andil dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada selasa kemarin (19/7) di Jakarta.
Rita Hendrawaty Soebagio, S.Pt, M.Si, salah satu pemohon judical review KUHP, menyebutkan bahwa ini merupakan rangkaian sidang ke-3. Persoalan asusila ini bukan hal yang sepele, karena hal yang terkait dengan perzinahan, pemerkosaan, homoeksual bukanlah hal yang main-main. “Harus ada upaya yang strategis yang harus kita lakukan bersama-sama dari seluruh elemen bangsa, bagaimana menjaga moral bangsa dari tiga hal tadi”, tutur Rita.
Rita menyoroti bahwa Indonesia mesti memiliki produk hukum sendiri agar relevan dengan kondisi bangsa Indonesia yang bermartabat. Produk perundang-undangan di negara ini sudah hampir 100 tahun usianya yang mungkin berbicara dan ini adalah produk yang sebenarnya asli buatan Belanda sehingga bisa jadi tidak sesuai dengan hukum-hukum positif di Indonesia. “Tidak sesuai dengan hukum-hukum adat kita, tidak sesuai dengan hukum-hukum agama”, lebih lanjut Rita menyebutkan.
Para pemohon Judical Review juga bicara tentang membuat langkah bersama memberikan moral baru, bahwa sebenarnya perzinahan itu seperti apa. “Jika dalam 284 selama ini yang dimaksud perzinahan itu hanya dalam konteks pernikahan maka ini bisa dikatakan tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini”, Rita menyoroti.
Rita memaparkan bahwa yang dimaksud perzinahan itu tidak hanya terkait dalam konteks pernikahan tapi diluar itu pun juga dikatakan perzinahan, demikian juga pemerkosan itu tidak hanya bisa menimpa perempuan saja tapi nyatanya bisa saja menimpa laki-laki.
Selanjutnya yang disoroti adalah pasal 292 yang mengatur tentang penyimpangan seksual yang hanya berlaku jika dilakukan dibawah umur. “tapi saat persidangan kita melihat tadi dari perwakilan pemerintah dalam rancangan RUU KUHP tidak melakukan perubahan untuk pasal ini karena nyatanya pada pasal ini jelas-jelas mengatakan dibawah 18 tahun, sedangkan dalam KUHP diduga belum dewasa tapi kalau dalam rancangan RUU KUHP ternyata dibawah 18 tahun, sama saja tidak merubah esensi artinya jika dilakukan di atas 18 tahun atau dilakukan oleh orang-orang dewasa maka tidak akan kena delik hukum apapun, nah itulah yang kemudian norma itu yang tidak ada payung hukum pidana kita”, Rita menyebutkan.
Sebenarnya ada upaya yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan pengrusakan minimal dari tiga hal tadi (perzinahan, pemerkosaan dan penyimpangan seksual, red). “Pasal 284, 295 dan 292 dan ini adalah mewakili UU yang ada dalam KUHP yang kita miliki yang menunjukan bahwa kita memiliki kekosongan hukum artinya yang terkait dengan nilai-nilai yang menyangkut tiga hal tadi”, imbuh Rita.
Rita berharap agar seluruh elemen masyarakat bisa bergerak bersama-sama. “Ini bukan perjuangan kami semata tapi ini seluruh masyarakat, bukan perjuangan kelompok-kelompok tertentu saja tapi perjuangan bersama bahwa kita bisa bersama-sama bergandengan tangan untuk bisa mendukung langkah-langkah ini”, pungkas Rita.
Semoga hakim MK bisa menjadi bagian yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yaitu menjadi penjaga moral melalui jalur konstitusi. (IH/TG)