Oleh: Dean Al-Gamereau
(Anggota PERSIS, warga negara biasa yang sudah terbiasa dengan keadaan biasa-biasa saja, tinggal di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)
Apakah media, termasuk media sosial, ikut memengaruhi pemilih atau bahkan menjadi pengendali utama pemilih? Bisa jadi. Disadari atau tidak disadari, media “menyihir” khalayak pemilih dengan framing (pembingkaian) calon yang disodorkan oleh media yang bersangkutan. Pemilihan yang seharusnya oleh rakyat, yang kita sebut democracy (demokrasi), ternyata hakikatnya medialah yang mengarahkan pilihan rakyat.
Untuk kasus seperti ini, Kevin Phillips menyebutnya mediacracy, gabungan dari media dan democracy. Medialah sebenarnya yang bermain, yang menjadi aktor dan atau director di areal demokrasi pemerintahan rakyat. Kevin memperkenalkan istilah mediacracy untuk menunjukkan adanya “pemerintah oleh media”, dan mengingatkan bahwa kalau selama ini pemerintahan oleh rakyat (democracy), kini lahir pemerintahan oleh media.
Contoh yang gampang, pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2019: Metro TV mendukung siapa, TV One mendukung siapa pula? Apa hubungannya dengan mediacracy Kevin tadi? Khalayak pemilih “disihir” oleh kedua televisi itu dengan framing (positif atau negatif), sampai akhirnya jadi sikap: memilih atau tak memilih calon tertentu.
Maka, televisi sebagai aktor intelektual dan khalayak pemilih sebagai “eksekutor”. Kata Kevin, “Era sekarang adalah lebih merupakan mediacracy, yakni pemerintahan media daripada demokrasi pemerintahan rakyat” (Ginting, Republika.co.id, 31/12/2018). Orang-orang komunikolog (komunikasi massa) mungkin menyebutnya pula sebagai Teori Jarum Suntik (Hipodermic Needle Theory). Ya, alat suntik dan obat. Televisi alat suntiknya, pesan adalah seperti obat yang disuntikkan itu agar menjadi sikap.
Lantas, jangan-jangan, keterpilihan calon presiden itu memang karena televisi tempat bernaung, bukan karena pribadi calon presidennya itu sendiri. Jangkauan siaran Metro TV (48 pemancar) lebih luas dari jangkauan siarannya TV One (37 pemancar), tetapi durasi siarannya sama, 24 jam sehari semalam. Metro TV lebih tua dua tahun, diperkuat pula dengan media cetak nasional Media Indonesia.
Oleh karena itu, wajar saja, kalau Joko Widodo jauh lebih dikenal luas, hingga kemudian terpilih jadi presiden. Kalau saja Prabowo Subianto ada di pihak Metro TV, amat sangat mungkin dialah yang akan terpilih jadi presiden. Jadi, siapa pemilih yang sebenarnya? Media televisi, dan itulah mediacracy. Anda percaya pada kekuatan media? Paradigma klasik menyebutnya sebagai kekuatan keempat (The Fourth Estate) setelah tiga kekuatan eksekutif, legislatif, dan judikatif.
Nama-nama bakal calon ketua umum PERSIS 2022-2027 sudah banyak ditulis di media sosial, lengkap dengan narasi, analisis, dan peluang serta tantangan PERSIS pada usianya yang memasuki abad kedua.
Nama-nama yang beredar adalah K.H. Aceng Zakaria, K.H. Dr. Jeje Jaenudin, M.Pd., K.H. Iman Setiawan Latief, S.H., dan Prof. Dr. K.H. Atif Latiful Hayat, S.H., L.L.M., Ph.D. Masih ada versi tiga bakal calon, dengan tagline “Persatukan hati demi Persatuan Islam”, yakni K.H. Aceng Zakaria, K.H. Dr. Jeje Jaenudin, M.Pd., dan Prof. Dr. K.H. Atif Latiful Hayat, S.H., L.L.M., Ph.D. (tanpa K.H. Iman Setiawan Latief, S.H.).
Muktamar PERSIS tinggal menghitung hari. PERSIS memang tak punya tradisi kampanye, atau apalagi pembentukan tim sukses secara resmi, seperti pada pemilu. Para calon pun ditentukan persis pada saat muktamar. Tak ada penjaringan dan penyaringan bakal calon sebelumnya. Tak perlu pula ada penyampaian visi dan misi para calon sebelum penggunaan hak pilih. Sebuah prosesi suksesi pucuk pimpinan yang relatif sederhana, dan khidmat.
Semua calon yang terpilih sudah tahu persis sebelumnya: bakal di-ba’iat untuk mewakafkan diri. Kita pasti ingat, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, dalam kampanye 2019, berjanji akan mewakafkan diri kalau terpilih jadi presiden dan wakil presiden. Kemudian, mereka terpilih. Lalu, bagaimana model wakafnya?
Para peserta muktamar bebas menggunakan hak pilih. Dasar penggunaannya pasti berbeda-beda. Dalam ilmu pemilu, ada pemilih emosional, pemilih rasional-emosional, dan pemilih rasional. Firmanzah dalam Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas (2012) membagi pemilih jadi dua dimensi: memilih dengan orientasi kebijakan dan memilih dengan orientasi ideologi (Khadafi, Tirto.id, 18/4/2017).
Sekarang, kalau kita mau memilih calon ketua umum sepenuhnya berdasarkan informasi atau framing media massa dan atau media sosial, maka kita “korban” mediacracy.