Membaca M. Natsir dari Pemikiran A. Hassan

oleh Reporter

22 Januari 2017 | 11:37

Ada anggapan yang berkembang selama ini, yang datang dari beberapa ahli, bahwa hukum Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh tradisi lokal. Anggapan tersebut telah melahirkan sebuah gerakan pembaruan keagamaan dalam keyakinan (aqidah ) untuk membantahnya. Gerakan pembaruan tersebut mengajak kaum muslim seluruhnya agar berhukum kepada ajaran Islam yang murni, yang sama sekali tidak tercampur dengan tradisi lokal, yaitu Al-Quran dan Hadits atau Sunnah. Salah satu tokoh yang terlibat dalam gerakan pembaruan tersebut adalah Ahmad Hassan (1887-1958). Beliau dikenal sebagai tokoh pelopor sekaligus pendiri ormas Persatuan Islam (Persis) yang tulisan-tulisannya sangat tajam, bernas, argumentatif, to the point , dan tanpa kompromi (Howard M. Federspeil, Islam and Nationalism , 1977). Di samping, beliau juga dijuluki ahli debat dan polemik yang tak ada bandingannya, pada zamannya. Hassan adalah tokoh agama yang sangat luar biasa. Di samping sebagai penda’i ulung, seringkali murid-muridnya menyebut beliau sebagai “Singa Podium”, karena kepandaian dan “kegalakannya” dalam berpidato. Beliau juga sangat mumpuni dalam dunia jurnalistik. Karya-karyanya bertebaran di mana-mana, tulisannya kerap muncul di beberapa media untuk menjawab persoalan-persoalan umat. Tulisan-tulisannya tidak hanya membahas persoalan-persoalan hukum Islam saja. Beliau pun telah juga menelurkan sejumlah karya yang berkaitan dengan bahasa, teologi, politik sejarah, moral puisi, hingga tafsir hadis dan Al-Quran. Salah satu magnum opus-nya, menurut Pijper dalam Sejarah Islam di Indonesia , adalah Kitab Tafsir Al-Furqon, yaitu Al-Furqon fi Tafsir Al-Quran . Beliau menulisnya selama 25 tahun, yang dimulai penyusunannya dari tahun 1928 sampai tahun 1953. Tulisan A. Hassan tidak ada yang basa-basi, beliau menggunakan tulisannya untuk “mengahajar” argumentasi lawan-lawannya yang berbeda pendapat dengannya. Pribadi yang tegas tanpa kompromi dan sangat ekstrem dalam mempertahankan pendapat. Hal demikian sangat terlihat jelas ketika berpolemik dan berdebat terbuka dengan tokoh-tokoh tertentu dari golongan yang berbeda dengannya. Ahmad Hassan juga pernah menjadi salah seorang dari 10 penulis produktif tentang Islam di tahun 1975. Indikatornya adalah salah satu karyanya Soal Jawab Masalah Agama merupakan buku yang paling diminati pembaca hingga kini. Buku tersebut pilihan favorit pembaca, khususnya bagi mereka yang mau mengenal hukum Islam lebih mudah dan praktis. Di bawah kepemimpinan A. Hassan, Persis tampil sebagai sebuah organisasi yang mendukung ide-ide pembaharuan radikal dalam arti sikap konsisten, tanpa kompromi, terhadap sesuatu yang dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam. Entah itu datangnya dari pihak muslim atau nonmuslim. Pandangan-pandangan keagamaan A. Hassan sangat berpengaruh di Indonesia, terutama terhadap visi dan misi organisasi Persis. Karya-karyanya merupakan salah satu sumber paling penting yang dibaca para pengikutnya, termasuk salah satu muridnya, yaitu Mohammad Natsir. Pengaruh A. Hassan Terhadap Mohammad Natsir Siapa yang tak kenal Mohammad Natsir (1908-1993)? Beliau dikenal masyhur di tingkat nasional bahkan internasional sebagai seorang negarawan, penulis dan dai. Pengaruh pemikiran A. Hassan diakuinya setelah dalam waktu yang lama ia belajar (berguru) tentang Islam dan soal-soal lainnya kepada A. Hassan. Doktrin keaagamaan A. Hassan sangat mendominasi pandangan-pandangan beliau dalam sikap dan gerak langkah kehidupan dan perjuangannya (George McT. Kahin, In Memoriam: Mohammada Natsir, 1993) Hubungan keduanya diawali saat Natsir bersekolah di Bandung. Pada waktu itu, Bandung menjadi pusat pendidikan dan dakwah organisasi Persis. Natsir memanfaatkan peluang tersebut untuk menimba ilmu dalam bimbingan A. Hassan. Ia dan teman-temannya, termasuk Isa Anshary, setiap malam mengunjungi rumah A. Hassan untuk mempelajari persoalan keislaman darinya. Menurut pengakuan Natsir sendiri, A. Hassan selalu mendorongnya untuk membaca karya-karya Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh. Dua orang yang disebutkan tersebut adalah dua tokoh intelektual muslim yang mengembangkan gagasan pemabaharuan atau modernisme Islam (Pratiknya, Perjuangan Seorang Bapak , hal. 32, 1989). Faktor apakah yang melatarbelakangi sehingga Natsir senang berguru kepada A. Hassan? Ada 2 (dua) alasan rasional yang membuatnya jatuh hati dan kagum terhadap gurunya; Pertama, pengetahuan A. Hassan dalam sejumlah aspek ajaran Islam, di samping sangat luas, pengetahuannya juga sangat dalam. A. Hassan terlihat sangat cerdas dan cakap menghadapi banyak persoalan keagamaan pada masa itu. Kedua, metode yang dipakai A. Hassan dalam mengenalkan nilai-nilai Islam kepadanya sangat menarik. Sangat jauh berbeda dengan metode yang dipakai ulama-ulama lain terhadap muridnya. Natsir selalu diajarinya metode diskusi dalam menyelesaikan persoalan keagamaan dengan merujuk pada argumentasi-argumentasi yang kuat dan sahih, tentunya. Baik rujukannya dalam bahasa Inggris maupun Arab. Sebagai gambaran pengalaman, pada tahun 1928 Natsir suatu hari diminta A. Hassan membuat tulisan untuk menjawab artikel misionaris Kristen, A.C. Christofel, yang telah menghina Nabi Muhammad di surat kabar Algemene Indische Dagblad . Namun sebelumnya, A. Hassan terlebih dahulu mendiskusikan hal tersebut dengan Natsir sekaligus ia memberinya beberapa referensi bacaan untuk bahan jawaban artikel Christofel tersebut. Pemikiran Keislaman dan Gerakan Pembaruan Pada tahun 1939, Natsir terpilih sebagai pemimpin Persatuan Islam (Persis). Pemikiran keislamannya sangat kental dan dominan dalam bersikap dan mengambil keputusan. Tentu, hal tersebut adalah pengaruh ajaran dan didikan A. Hassan. Islam adalah segala-galanya baginya. Kepercayadiriannya terhadap Islam dilandasi sabda nabi; Al-Islam ya’luu wa laa yu’laa ‘alaih (Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripada Islam itu sendiri). Natsir juga sangat senang sekali mengutip pernyataan Gibb; “Islam itu bukan hanya sekedar teologi, ia adalah sebuah peradaban yang komplet.” Pandangan-pandangan keagamaan Natsir tak lain adalah refleksi pengaruh doktrin dari sang guru, A. Hassan. Pengaruh lain A. Hassan terhadap Natsir adalah soal “pembaharuan atau reformasi”. Tafsir pembaharuan bagi Natsir adalah mengintroduksi kembali apa yang telah diperkenalkan pada awal sejarah Islam dan telah ditinggalkan oleh kaum muslimin. Tujuan gerakan pembaruan tersebut untuk membebaskan Islam dari noda, yaitu penyakit aqidah yang sudah akut, mendarah daging di masyarakat. Natsir menganggap bahwa kaum muslim saat itu mengalami kesalahpahaman dalam menerjemahkan maksud dan tujuan sebenarnya dari ajaran Islam. Sangat wajar jika kemudian Natsir sangat menentang prilaku taqlid, bidah dan khurafat. Perjuangan menentang sekaligus mengikis prilaku buruk kaum muslim di atas adalah juga visi dan misi A. Hassan dalam berdakwah, mengajak kaum muslim untuk kembali pada ajaran murni Islam yang bersumber sepenuhnya dari Al-Quran dan sunnah. Pengaruh A. Hassan terhadap Natsir sangat kentara dalam konteks ini. Hal tersebut terang dan jelas dipaparkan Rosidi berikut: “Natsir berada pada sisi yang sama dengan A. Hassan; melalui Persis, mereka tak kenal kompromi memerangi khurafat, taqlid dan bidah ” Persoalan Fikih Pengaruh A. Hassan terhadap Natsir yang lain adalah berkaitan dengan pandangan Natsir soal istilah bidah (Pratiknya,Perjuangan Seorang Bapak , 1989). Sama seperti halnya gurunya, Natsir pun mengadopsi kaidah ushul fiqih “al-ashlu fi al-ibadati al-tahrimi, hatta yadullu al-dalil ‘alaa tahliilihi wa alashlu fi al-muamalati al-tahliil hatta yadullu al-dalil ‘alaa tahriimihi” (dalam urusan ibadah, sebuah perbuatan itu terlarang kecuali ada dalil yang membolehkannya; sementara dalam urusan muamalah, sebuah perbuatan itu diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya). Dari kaidah ushul fiqih di atas, Natsir berpandangan bahwa Islam terbuka terhadap ide-ide baru, khususnya dalam urusan muamalah (bukan ibadah) selama tidak bertentangan dengan dengan prinsip-prinsip Al-Quran dan sunnah. Pujian terhadap Natsir datang dari W. Motgomerry Watt, ia mengungkapkan: “Natsir adalah salah satu tokoh besar pembaharu yang secara kreatif mampu menyesuaikan Islam dengan kehidupan modern.” Komentar dan pujian tersebut disampaikan setelah ia mendengar pidato Natsir, “The Message of Islam to The Modern World”, pada sebuah konferensi tentang sejarah Nabi di Pakistan pada tahun 1976 (Pratiknya, Perjuangan Seorang Bapak , hal. 21-22, 1989). Sama pula seperti pandangan gurunya, Natsir memandang bahwa salah satu faktor kemunduran umat Islam adalah masih dilakukannya praktik bidah dalam urusan agama, pada waktu yang bersamaan umat Islam tidak melakukan bidah dalam urusan muamalah. Contoh konkretnya soal membaca ushalli sebalum mendirikan shalat dan pemakaian bahasa Arab dalam khutbah Jumat (Natsir, Islam dan Akal Merdeka , hal. 29-30, 1988). Persoalan Politik Terakhir, pengaruh pemikiran A. Hassan terhadap politik Natsir. Sebagaimana kita ketahui bahwa Natsir pernah memimpin Masyumi selama 6 (enam) tahun. Masyumi adalah sebuah partai politik yang berazaskan Islam, ia sangat berpengaruh saat awal-awal kemerdekaan. Ketika Natsir menjadi Perdana Menteri, tentu ia terlibat aktif dalam urusan politik. Ia sering mewakili Indonesia dalam pertemuan-pertemuan Internasional. Selain itu, Natsir juga adalah wakil presiden Mu'tamar Al-Alam Al-Islamiy sekaligus anggota World Moslem League, Al-Majlis Al-A’la Lil Masjid of Makkah, The Oxford Center for Islamic Studies, dan lain-lain. Keterlibatan Natsir dalam dunia politik menjadi titik fokus bagi para penulis biografi Natsir dalam menulis karir kehidupannya. Natsir mengakui kelihaian dan kecerdesannya dalam berpolitik adalah bentukan dan bimbingan Agus Salim. Sedangkan latar belakang pandangan dan aktivitas politiknya adalah representasi dari ide-ide A. Hassan. Khususnya dalam pandangan bahwa agama dan negara itu tak dapat dipisahkan (Natsir, Islam dan Negara, 1957). Natsir berpandangan demikian adalah sebagai respon atau dalam rangka menjawab propaganda politik yang dihembuskan kelompok nasionalis-sekuler seperti yang diekspresikan Soekarno saat itu. Menurut Natsir, negara adalah alat satu-satunya untuk menegakkan ajaran Tuhan. Natsir sangat menolak keras dukungan Soekarno terhadap ide Mustafa Kemal soal pemisahan antara agama dan negara. Menurutnya juga, Islam, sebagai agama, menyediakan nilai-nilai dasar (basic values) dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk aspek yang berkaitan dengan negara dan seluruh aspek yang berhubungan dengannya.   Sumber: Akh Minhaji, A. Hassan: Sang Ideologi Reformasi Fikih di Indonesia 1887-1958, Garut: Penerbit Pembela Islam, 2015   *** Oleh : Iip Rifai, Pengajar di Kampus CMBBS Banten dan Peneliti di Omar Institute
Reporter: Reporter Editor: admin