Membiarkan Pezina Tak Terjerat Hukum, Justru Melanggar Hak Konstitusional Masyarakat

oleh Reporter

02 September 2016 | 07:11

Bandung - persis.or.id, Dalam sidang judical review KUHP pasal keasusilaan yang digelar hari selasa (30/8) di Mahkamah Konstitusional, Komnas Perempuan menjelaskan definisi kekerasan, zina, perkosaan dan hubungan seks suka sama suka di luar pernikahan atau berzina. Ketua Komnas Perempuan, Azriana, meminta MK memahami empat masalah tersebut lebih detail dan pelaku zina tidak boleh dipidana. “Ya karena kita punya hak konstitusional, bagian dari hak berekspresi. Kan dasarnya konstitusi. Saya mau pacaran dengan Anda, jalan dengan Anda, ngga boleh dong dilarang,” kata Ketua Komnas Perempuan, Azriana usai sidang  seperti yang dilansir jurnalmuslim.com Menurut Azriana, hubungan seks sesama orang dewasa yang salah satu atau dua-duanya tidak terikat ikatan perkawinan atau berzina adalah urusan moral. Oleh sebab itu, kata Azriana terapi menghilangkan kumpul kebo tidaklah dengan hukum. “Perzinaan ini yang dilihat nilai moral. Pendekatan-pendekatan moral yang dilanggar. Pendekatannya nggak bisa hukum. Kita harus kasih obat bagi penyakit yang tepat. Negara nggak bisa masuk terlalu dalam,” papar Azriana. Karena urusan moral, maka yang menghukum adalah urusan individu dengan keyakinannya. Bagi Azriana, hukum melindungi semua agama.  “Sebagai umat beragama, kita semua punya mekanisme penebusan dosa. Jangan suruh negara mengurus relasi personal dengan Tuhan. Negara sudah mengatur dalam KUHP. Jadi suka sama suka, akan dibatasi jika dia akan mengancam keutuhan satu lembaga perkawinan. Itu dari kacamata negara. Kalau dari agama ya itu masing-masing,” ujar Azriana. Namun seks suka sama suka itu hanya berlaku bagi hubungan seks suka sama suka antara orang dewasa. Namun apabila salah satunya atau dua-duanya masih anak-anak, maka bisa dikenakan UU Perlindungan Anak dan dipenjara minimal 3 tahun. Atau salah satunya atau dua-duanya terikat perkawinan, bisa dikenakan Pasal zina dan dipenjara. “Ini orang kan selalu melihat zina itu sebagai satu hal yang sama dengan perkosaan. Padahal zina itu kan berbeda. Ketika konsep zina ini, karena agama-agama mengenal ini, akhirnya dia tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang dia tidak bisa mewakili pandangan agama, karena dia masuk aturan pidana. Makanya tadi saya sebutkan, diperbaiki atau tidak sekali pun rumusannya, dia tidak akan berkontribusi mengurangi kekerasan seksual. Karena kekerasan seksual itu bukan zina. Tapi saya senang dengan proses itu, karena kita punya ruang untuk menunjukkan pada hakim bagaimana tafsiranannya zina dan hubungan seksual,” pungkas Azriana. Sidang diatas digelar atas permohonan guru besar IPB Bogor, Prof Dr Euis Sunarti dan 11 temannya. Pemohon meminta MK memperluas makna pasal asusila dalam KUHP. Dalam gugatannya itu, Euis dkk berharap kumpul kebo atau zina dan homoseks bisa masuk delik pidana dan dipenjara. Salah satu pasal yang digugat adalah pasal 292 KUHP yang saat ini berbunyi; "Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun". Jika pelaku zina dibiarkan tak terjerat oleh hukum pidana, maka gejala sosial tersebut akan terus mewabah. Semakin parah kondisinya jika perzinaan dilakukan oleh sesama jenis. Tatanan sosial dan peradaban bangsa Indonesia semakin turun. Apabila alasan pelaku zina tak tersentuh hukum pidana karena hak konstitusi personal, maka masyarakat memiliki hak konstitusional yang lebih kuat. Terlebih, pezinaan termasuk perbuatan mungkar yang apabila dibiarkan bisa mengundang azab Allah SWT, bukan hanya menimpa para pendosanya, melainkan semua masyarakat tersebut pun akan merasakannya. (HL & TG)
Reporter: Reporter Editor: admin