Manusia Makhluk Sosial
Manusia merupakan ciptaan Allah yang tidak dapat lepas dengan realitas sosialnya. Dari realitas inilah kita mengetahui bahwa manusia ini membutuhkan manusia lain untuk mendukung aktivitasnya. Bahkan manusia membutuhkan makhluk lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya manusia sering disebut makhluk sosial (khalqun ijtima’i), makhluk yang berkelompok secara naluriah (thabi’at al-kauniyah). Hal ini tercermin dalam firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَاالنَّاسُإِنَّاخَلَقْنَاكُمْمِنْذَكَرٍوَأُنْثَىوَجَعَلْنَاكُمْشُعُوبًاوَقَبَائِلَلِتَعَارَفُواإِنَّأَكْرَمَكُمْعِنْدَاللَّهِأَتْقَاكُمْإِنَّاللَّهَعَلِيمٌخَبِيرٌHai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.(Qs. al-Hujurat [49]: 13)
Tidak ada orang yang dapat berjalan dengan sendirinya, sekaya apapun seseorang, sekuat apapun tenaganya, seluas apapun istananya tetap saja membutuhkan orang lain walau hanya sekadar interaksi. Karena itu kita diperintahkan untuk saling mengenal satu sama lain. Akan tetapi orientasinya taqwa kepada Allah SWT.
Perintah Berjama’ah
Dalam Islam sendiri tabi’at berkelompok ini telah diatur sedemikian rupa. Dapat dilihat dalam al-Qur’an ada banyak kosakata plural yang digunakan. Bahkan di antaranya ada dalil yang secara khusus dijadikan sebagai sandaran hukum berkelompok (berjam’iyyah). Sebagaimana firman Allah SWT:
وَاعْتَصِمُوابِحَبْلِاللَّهِجَمِيعًاوَلاتَفَرَّقُواوَاذْكُرُوانِعْمَةَاللَّهِعَلَيْكُمْإِذْكُنْتُمْأَعْدَاءًفَأَلَّفَبَيْنَقُلُوبِكُمْفَأَصْبَحْتُمْبِنِعْمَتِهِإِخْوَانًاوَكُنْتُمْعَلَىشَفَاحُفْرَةٍمِنَالنَّارِفَأَنْقَذَكُمْمِنْهَاكَذَلِكَيُبَيِّنُاللَّهُلَكُمْآيَاتِهِلَعَلَّكُمْتَهْتَدُونَDan berpegannglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.(Qs. Ali Imran [3]: 103)وقوله: { وَلاتَفَرَّقُوا } أمَرَهُمبالجماعةونهاهمعنالتفرقةوقدوردتالأحاديثُالمتعددةبالنهيعنالتفرقوالأمربالاجتماعوالائتلاف
Dan maksud Firman-Nya: [وَلا تَفَرَّقُوا] adalah Allah memerintahkan kepada mereka untuk berjama’ah dan melarangnya dari perpecahan, dan sungguh telah tersebut di dalam banyak riwayat berkenaan haramnya perpecahan dan wajibnya berjama’ah dan bersatu. (Tafsir Ibnu Katsir, juz 2 :89. Maktabah Syamilah)وَلْتَكُنْمِنْكُمْأُمَّةٌيَدْعُونَإِلَىالْخَيْرِوَيَأْمُرُونَبِالْمَعْرُوفِوَيَنْهَوْنَعَنِالْمُنْكَرِوَأُولَئِكَهُمُالْمُفْلِحُونَDan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. Ali Imran [3]: 104)
Dalam ayat tersebut kata ummat (jama’ah) memiliki arti kumpulan yang terdiri dari beberapa orang yang memiliki ikatan yang menyatukan mereka dan memiliki kesatuan yang membuat mereka dengannya bagaikan anggota badan pada tubuh seseorang. Tafsir al-Maraghi, IV: 21فَالْمُرَادُبِالْأُمَّةِالَّتِيتُقِيمُهَاالْأُمَّةُلِذَلِكَمَايُعَبَّرُعَنْهُفِيعُرْفِهَذَاالْعَصْرِبِالْجَمْعِيَّةِ
Maka yang dimaksud dengan kata ummat yang didirikan oleh umat Islam untuk melakukan itu semua adalah apa yang dewasa ini diungkapkan dengan sebutan ‘Jam’iyyah’. Tafsir al-Manar, IV: 37 (Versi Maktabah Syamilah)
Maka jelaslah bagi kita bahwa berjam’iyyah itu diperintahkan oleh Allah SWT. Seperti hadis dari Abu Dzar, dari Nabi SAW sesungguhnya beliau berkata: Dua lebih baik dari satu, tiga lebih baik dari dua, empat lebih baik dari tiga, maka wajib atas kamu berjama’ah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengunmpulkan umatku kecuali dalam hidayah.Fenomena Malaise [Lesu] dalam Berjam’iyyah
Fenomena malaise (lesu) dalam berjam’iyyah ini kentara dalam aktivitas jam’iyyah yang monoton. Dalam arti, tidak terlihat semangat mengembangkan jam’iyyah. Mayoritas fokus pada suksesi program saja. Padahal ada yang lebih penting ketimbang konsentrasi pada program, yakni bagaimana kita mengembangkan dakwah ke tingkat akar rumput (grass root). Bahkan akhir-akhir ini sering dibahas masalah komitmen dan loyalitas terhadap jam’iyyah.
Hal tersebut bisa jadi apa yang dikatakan oleh Syaikh Fathi Yakan karena lemahnya aspek tarbiyah (dla’fun bijanibi al-tarbiyah). Di antaranya tarbiyah [pendidikan] aqidah, ibadah, dan akhlak.
Tidak ada atau lemahnya keyakinan bisa jadi membuat anggota tidak lagi peduli terhadap perjuangan jam’iyyah. Karena merasa jenuh dan menganggap tidak ada untungnya lama-lama berada di jam’iyyah. Sehingga kebutuhan hidup atau kepentingan sendiri terkadang dapat mengalahkan semangat memperjuangkan jam’iyyah.
Oleh sebab itu, orientasi berjam’iyyah kita mesti ditegaskan kembali, apakah benar-benar masuk di jam’iyyah ini berdasarkan pemahaman dan keyakinan yang kuat dan benar berdasarkan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan? Atau hanya sekadar mengisi waktu yang kosong? Sehingga jika dari awal berjam’iyyah dengan tujuan yang kuat maka ia tidak akan goyah sedikitpun, tetapi jika hanya sekadar ikut saja maka tidak aneh jika suatu saat berguguran karena memang ia tidak mempunyai tujuan.
Jangan Tinggalkan Jama’ah Walau Sejengkalحَدَّثَنَاحَسَنُبْنُالرَّبِيعِحَدَّثَنَاحَمَّادُبْنُزَيْدٍعَنِالْجَعْدِأَبِىعُثْمَانَعَنْأَبِىرَجَاءٍعَنِابْنِعَبَّاسٍيَرْوِيهِقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِ -صلىاللهعليهوسلم- « مَنْرَأَىمِنْأَمِيرِهِشَيْئًايَكْرَهُهُفَلْيَصْبِرْفَإِنَّهُمَنْفَارَقَالْجَمَاعَةَشِبْرًافَمَاتَفَمِيتَةٌجَاهِلِيَّةHasan Ibnu Rabi’ telah menceritakan kepada kami, Hammad bin Zaid dari Ja’d Abi Ustman dari Abu Raja’ dari Ibnu Abbas ia meriwayatkannya berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: Barang siapa yang melihat sesuatu yang ia tidak suka pada pemimpinnya maka bersabarlah karena siapa saja yang meninggalkan jama’ah sejengkal saja maka ia mati seperti matinya jahiliyah (Shahih Muslim, Juz 6, 21: 4896 versi Maktabah Syamilah)
Hadis ini mengingatkan kepada kita untuk menjaga keistiqamahan kita dalam jama’ah, juga menunjukkan betapa pentingnya untuk berjama’ah, yang mengharuskan umat Islam untuk memelihara komitmen dan loyalitasnya terhadap jama’ah. Bahkan dalam hadis lain dikatakan siapa saja yang keluar dari jama’ah sejengkal saja maka ia telah melepaskan ikatan Islam dalam dirinya. Maka ia telah sesat dan celaka seperti binatang yang ikatannya lepas sehingga tidak dapat dijamin keselamatannya. Dan sudah dipastikan ia mati dalam keadaan jahiliyah.
***
Penulis: Adi Tahir Nugraha, S.Ud (Bidang Kaderisasi PD Pemuda Persis Kabupaten Bandung)