Menelaah Konsep PERSIS dalam Pemurnian Ajaran Islam

oleh Reporter

20 Desember 2023 | 09:25

Penulis: Irham Fauzan (Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati)

 

Persatuan Islam (PERSIS) meletakan pemikirannya yang bercorak puritan, yaitu paham pemurnian Islam.

Pemahaman keislaman yang bercorak purifikasi ini kemudian memunculkan sikap yang berbanding terbalik dari sebagian kaum muslimin di Indonesia, yaitu pemahaman keislaman yang bercorak kultural, atau biasa dikenal dengan Islam tradisional.

Pemikiran keagamaan yang diperlihatkan oleh PERSIS, dengan corak purifikasinya ini selalu menginginkan segala sesuatu yang menyangkut Islam itu harus benar-benar murni, termasuk metode pemahaman ajaran Islam itu sendiri.

Itulah mengapa, PERSIS melandaskan pemahaman keagamaannya secara ketat pada nash-nash Al-Qur’an dan Hadits.

Beberapa pemikiran PERSIS mengenai konsepsi keagamaaan tentang akidah ialah:

1. Konsepsi tentang Wali dalam Kaitannya dengan Tawasul

Secara bahasa, dalam Al-Qur’an disebutkan, hadîts pembicaraan orang Arab, tawassul artinya mendekat (taqarub) kepada yang dituju dan mencapainya dengan keimanan yang kuat.

Dalam praktiknya, tawassul  ialah  berdoa dengan menggunakan perantara (wasilah), baik kepada orang maupun benda.

Yang dipersoalkan oleh PERSIS dalam bertawassul hal  ini ialah penggunaan perantaranya. Misalkan Nabi, wali atau orang-orang ‘alim yang telah meninggal dunia.

Karena manusia yang sudah meninggal itu sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan telah hilang ditelan oleh  bumi.

Apalagi jika bertawasul dengan mengguanakan benda, hal ini sama sekali tak bisa dipahami oleh akal sehat. Lain halnya jika orang yang dijadikan perantara itu masih hidup.

Pandangan inilah yang diyakini benar oleh paham keagamaan PERSIS. Sehingga banyak fatwa ulama PERSIS menganggap musyrik hukumnya bagi siapapun yang meminta kepada siapa saja  orangnya, setingkat Nabi atau Wali yang sudah meninggal dunia.

Tawassul hanya diperbolehkan kepada yang diminta sebagai perantara itu dikala dirinya masih hidup.

2. Konsepsi tentang Qadhâ dan Qadar

Kalangan ulama PERSIS melihat qadar sebagai suatu masalah yang timbul bukan saja dari agama, namun jika seandainya agama tak membahasnya, maka akal manusia pun mesti mencarinya atau mempersoalkannya.

Menurut A. Hassan, masalah qadar tidak dapat diatasi dengan pemikiran rasional dan hanya dapat dipecahkan melalui keyakinan agama.

Kita sebagai makhluk tidak mampu menentukan keputusan tentang qadar Allah, namun karena agama memerintahkan kita untuk percaya kepada Allah, maka kita juga harus percaya.

Masalah qadhâ dan qadar merupakan bagian dari keagungan Allah yang sebenarnya.

Dalam keyakinan ini, taqdir Allah termanifestasi dalam hukum alam (sunatullah) atau hukum sebab-akibat yang pasti berlaku, termasuk kebebasan manusia untuk berkehendak dan bertindak (free will and free act).

Pandangan ini sejalan dengan pandangan Muhammad 'Abduh yang mempercayai bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan bertindak, tetapi tetap meyakini bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.

Oleh karena itu, manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya di hadapan Allah.

3. Konsepsi tentang Khurafat dan Tahayul

Khurafat adalah sebuah ketentuan yang dilakukan seperti upacara agama, tetapi tidak diatur oleh akal dan tidak berdasarkan dalil dari Al-Quran dan Hadis.

Contoh dari khurafat adalah membuat sesajen setiap malam Selasa atau Jum'at tanpa hukum yang jelas mengenai keharusan atau sunatnya.

Pelakunya tidak mengharapkan pahala atau menghindarkan adzab Tuhan, tetapi lebih kepada takut dari sesuatu yang ghaib.

Tahayyul atau hayyal, di sisi lain, merupakan gambaran dalam pikiran yang dasarnya perkiraan atau sudah menjadi kebiasaan nenek moyang.

Dalam kalangan orang Islam, tahayyul dapat merujuk pada keyakinan terhadap yang ghaib yang berdasarkan perkiraan atau kebiasaan nenek moyang.

PERSIS mengkritik praktik khurafat dan takhayyul yang berdimensi syirik karena bertentangan dengan tauhid yang seharusnya hanya tertuju kepada Allah semata.

Islam tidak mengenal kompromi dengan kepercayaan lain dalam soal tauhid. Contoh kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid adalah kepercayaan terhadap benda-benda keramat (jimat) yang dihuni oleh roh dan makhluk halus, yang diyakini akan mendatangkan bahaya jika tidak dipuja melalui sesajen, serta kepercayaan lain yang sejenis dan masih banyak diyakini oleh umat Islam di Indonesia.

Kepercayaan-kepercayaan semacam ini sebenarnya merupakan kepercayaan Animis, yaitu kepercayaan kuno bangsa Indonesia.

[]

Referensi:
Anas, W. D., Khaerman, B., Rahman, M. T., & Awaludin, L. (2015). Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam. Tanggerang Selatan: Amana Publishing.

Reporter: Reporter Editor: admin