Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Tulisan ini diilhami oleh beberapa kejadian yang belakangan terjadi dalam lembaga pelestari tradisi Persis paling tua, yaitu Pesantren Persis. Pertama, isu rekonstruksi kurikulum pesantren telah bergulir sejak lama dan sedikit demi sedikit telah dilakukan, terlepas apakah menuju ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya. Kedua, isu rekonstruksi itu mengkritik beberapa mata ajar yang telah lama diajarkan di pesantren-pesantren Persis. Salah satu yang menjadi sasaran kritik adalah pengajaran fiqih. Ada beberapa kalangan yang menganggap “aneh” ada pelajaran bernama “Bulûghul Marâm”, “Hadyu Rasul”, “Bukhari” yang justru menjadi trademark pesantren Persis sejak lama. Nama-nama pelajaran itu dianggap aneh karena bukan nama suatu disiplin ilmu seperti Ushul Fiqih, Sejarah, atau Fisika, melainkan nama-nama kitab. Oleh sebab itu, kemudian diusulkan untuk mengganti pelajaran-pelaran tersebut dengan nama-nama yang lebih abstrak, yaitu “Hadis” dan Fiqih” yang merupakan nama suatu disiplin ilmu, sementara ketiga nama pelajaran di atas dihapus. Usulan ini benar-benar menjadi kebijakan PP Persis dan diedarkan ke seluruh pesantren. Alhasil hilanglah pelajaran-pelajaran yang sejauh pengamatan saya sampai saat ini justru menjadi soko guru tradisi Persis.
Kita tidak akan membicarakan soal kebijakan, tokh itu sudah bergulir. Juga mengenai nama pelajaran, buat saya tidak terlampau substantif. Penggantian nama, asal tidak mengganti substansi tidak ada masalah. Yang akan kita perbincangkan adalah soal tradisi fiqih Persis, sekalipun terkadang saya sering berinstrospeksi diri apakah saya yang bukan sarjana fiqih pantas membicarakan masalah ini atau tidak. Namun, setelah sekian lama menunggu para sarjana fiqih alumni Persis dari dalam dan luar negeri belum ada yang (berani) bersuara lantang, terpaksa saya harus angkat bicara. Modal saya hanyalah bahan-bahan penelitian sewaktu menyelesaikan S1 yang kurang lebih satu tahun mengamati akar-akar sejarah dan perkembangan pesantren Persis di seluruh Indonesia beserta struktur pengajarannya. Selain itu, tentu pengalaman selama enam tahun belajar di pesantren Persis. Bagaimana soal fiqih yang sedang dibicarakan? Mudah-mudahan saya tidak termasuk orang yang “kokolot begog” alias sok tahu soal disiplin ilmu fiqih setelah tulisan ini rampung.
Masalah pertama yang ingin penulis sampaikan adalah anggapan keliru mengenai dasar paradigmatik keilmuan yang dibangun oleh para founding father pesantren Persis. Anggapan “aneh” terhadap pelajaran-pelajaran seperti Bulûghul Maram, Hadyur Rasul, dan Bukhari justru malah menyisakan kecurigaan jangan-jangan yang melontarkan isu itu justru tidak mengerti apa isi kitab-kitab itu. Ini tergambar umpamanya dari ungkapan bahwa pelajaran Hadyur-Rasul bukan pelajaran fiqih karena isinya adalah sirah Nabi. Pertanyaan saya sederhana, sejak kapan penulis kitab itu menyatakan kitabnya sebagai kitab sirah? Padahal dengan jelas dalam pembukaan kitabnya beliau menulis bahwa kitab ini dimaksudkan sebagai petunjuk dalam beribadah dan beramal yang akan memberikan kemaslahatan di dunia dan akhirat (Lihat “Muqaddimah” kitab Hadyu Al-Rasûl tulisan Muhammad Abu Zaid).
Sebuah “petunjuk amal”, kalau bukan fiqih, apalagi? Bukankah ilmu syari‘ah (agama) yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan lahiriah adalah fiqih, sekalipun tidak perlu disebut langsung sebagai kitab fiqih? Benar bahwa ada bagian penggalan hidup Rasulullah diceritakan dalam kitab itu. Harus diingat bahwa penggalan hidup Rasul adalah Sunnah; dan Sunnah merupakan salah satu sumber dalil fiqih. Jadi, bukan persoalan bila ada satu-dua penggalan sejarah perjalanan hidup Rasul. Dalam kitab itu penggalan sirah dimaksudkan sebagai dasar dalil hukum, bukan sebagai sirah itu sendiri. Sistematika buku ini memang tidak seperti kitab-kitab fiqih pada umumnya. Namun, sistematika bukan substansi untuk menentukan suatu kitab sebagai kitab fiqih atau bukan. Substansinya adalah isi dari kitab itu; sedangkan sistematika soal bagaimana isi disajikan.
Bagaimana soal Bulûghul-Marâm yang dianggap tidak layak dijadikan nama pelajaran atau mungkin dianggap tidak layak diajarkan? Dari sini pembicaraan kita akan mulai fokus pada karakter fiqih dan pengajaran fiqih pada umumnya dan fiqih Persis secara khusus. Sebagai suatu disiplin ilmu, fiqih biasanya diajarkan dengan kelengkapannya, karena fiqih bukan ilmu yang berdiri sendiri yang tidak ada irisannya dengan disiplin bidang ilmu lain. Sebagai dasar metodologis dari fiqih diajarkan disiplin ilmu Ushul Fiqih dan Qawâ‘id Fiqhiyyah. Kedua ilmu tersebut adalah alat untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan fiqih dari dalil-dalilnya. Oleh sebab itu, untuk melengkapi disiplin ilmu fiqih perlu pula diajarkan tentang sumber-sumber dalil bagi fiqih, yaitu Al-Quran dan Hadis. Khusus sebagai penunjang fiqih, dipilihkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang secara khusus memiliki dilalah hukum. Para ulama pun banyak yang berusaha mengumpulkan ayat-ayat dan hadis-hadis hukum. Tafsîr Âyât Al-Ahkâm yang ditulis oleh Abu Bakar Al-Jashshâsh atau yang ditulis Ali Al-Shâbûnî—yang terakhir banyak dijadikan rujukan oleh pesantren Persis—adalah di antara tafsir yang khusus mengupas ayat-ayat hukum dalam Al-Quran. Tafsir semacam ini sebenarnya lebih kental nuansa fiqihnya ketimbang nuansa tafsirnya.
Dalam hal ini, Bulûghul-Marâm adalah salah satu kitab yang berusaha mengumpulkan hadis-hadis hukum dari sekian banyak kitab-kitab hadis. Kitab lain sejenis ini cukup banyak. Salah satu yang paling masyhur adalah ‘Umdatul-Ahkâm karya Ibnu Daqîq Al-‘Îd yang hanya menghimpun hadis-hadis hukum yang kesahihan hadisnya disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Bulûghul-Marâm ditulis oleh Ibn Hajar Al-Asqalani dengan gayanya sendiri dan kecenderungan mazhab Syafi‘i yang dianut-nya. Al-Asqalani juga menulis syarah paling baik terhadap kitab Jâmi‘ Al-ShahîhAl-Bukhârî yang ia beri nama Fath Al-Bârî. Dengan demikian, posisi “pelajaran” Bulûghul-Marâm di pesantren-pesantren Persis sama dengan posisi pelajaran “Tafsir Ayat-Ayat Ahkam”, yaitu sebagai pelajaran yang mengajarkan sumber-sumber dalil fiqih.
Selain keempat disiplin penunjang di atas (Ushul Fiqih, Qawa‘id Fiqih, Ayat Hukum, dan Hadis Hukum), biasanya diajarkan juga beberapa penunjang yang lain seperti Tarikh Al-Tasyrî‘ Al-Islâmî (Sejarah Pembentukan Hukum Fiqih Islam), Târîkh Al-Madzâhib fi Al-Fiqh (Sejarah Mazhab-Mazhab Fiqih),Muqâranah Al-Madzâhib (Perbandingan Mazhab-Mazhab Fiqih), dan sebagainya. Penunjang-penunjang seperti ini tidak populer diajarkan di pesantren Persis., kecuali Tarîkh Tasyrî‘ yang belakangan diajarkan di sebagian pesantren Persis.
Pengajaran kitab Shahîh Al-Bukhârî memang tidak ada kaitan secara khusus dengan pengajaran fiqih. Kitab ini diajarkan sebagai disiplin ilmu hadis (tafsir hadis) sama seperti mengajarkan Al-Quran (tafsir Al-Quran). Bila pengajaran Al-Quran sumbernya bisa diakses dengan mudah hanya dari satu mushaf, yaitu Mushaf Utsmani, maka pengajaran hadis tidak semudah ini. Saya menduga pemilihan kitab Shahîh Al-Bukhârî oleh para founding father pesantren Persis karena mempertimbangkan kitab ini sebagai kitab hadis yang paling mu‘tabar (diakui) di antara kitab-kitab hadis lain.
Pertanyaan terkahir saya dalam bagian ini, apa yang salah dari pelajaran-pelajaran itu? Apakah hanya karena nama yang tidak langsung menyebut nama disiplin ilmunya, lantas tidak layak diajarkan? Secara konstruk keilmuan jelas bahwa pemilihan Bulûghul-Marâm, Hadyu Al-Rasûl, dan Al-Bukhari memiliki landasan pijakan yang kuat. Justru perubahan yang diedarkan ke pesantren-pesantren Persis awal tahun ajaran 2006 ini terlihat banyak memiliki kerancuan secara konstruk epistemologis dan malah mengaburkan karakter khas fiqih Persis seperti yang akan saya jelaskan berikut.
Konstruk Fiqih Persis
Dari nama-nama kitab yang dihapus dalam struktur pelajaran baru pesantren Persis di atas, terutama Hadyur-Rasûl, kita justru bisa melihat bagaimana konstruk dan kecenderungan mazhab dari fiqih Persis. Dan kalau ini dihapuskan tanpa pengganti yang memadai dan sepadan ke depan kita tidak akan lagi menemukan karakter khas fiqih Persis di pesantren-pesantren Persis. Sungguh ironis! Pada kenyataannya, ketika Hadyur-Rasul dan Bulughul Maram dihapuskan sama sekali tidak ada alternatif yang ditawarkan sebagai pengganti. Sangat naïf kalau sebuah tradisi luhur kemudian diganti hanya dengan buku-buku teks tidak bermutu yang dibuat untuk proyek-proyek pengadaan buku pelajaran di Departemen Agama.
Apa sesungguhnya yang disimpan Hadyur-Rasul hingga kitab ini mencerminkan konstruk dan kecenderungan mazhab fiqih Persis? Baiklah akan kita lihat secara saksama kitab tersebut. Harus diketahui bahwa kitab ini adalah ringkasan dari kitab yang sangat baik tulisan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Zâd Al-Ma‘âd fî Hadyi Khair Al-‘Imâd. Kitab ini dimaksudkan oleh Ibnu Qayyim, seperti tertulis dalam judulnya, sebagai kitab tentang petunjuk-petunjuk kehidupan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Bila digolongkan dalam disiplin ilmu, isinya sangat beragam. Ada pembahasan mengenai sirah Nabi, fiqih, sampai masalah pengobatan cara Nabi (al-tibb al-nabawi). Muhammad Abu Zaid meringkas kitab ini dan dipilih terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan fiqih.
Karakter pembasan fiqih dan tema lain yang dilakukan oleh Ibnu Qayyim selalu merujuk pada hadis-hadis Nabi secara ketat. Hadis-hadis yang dianggap lemah tidak digunakan sebagai hujjah. Cara ini pula yang digunakannya dalam menuliskan Zâd Al-Ma‘âd. Dalam kitab ringkasannya, Hadyu Al-Rasul, karakter itu pun terbawa. Bahkan terkesan sebagai kitab fiqih, kitab ini tidak mengikuti pakem kitab-kitab fiqih pada umumnya seperti Safînah Al-Najâh, Fath Al-Mu‘în, Kifâyat Al-Akhyâr,Bidâyah Al-Mujtahid, dan sebagainya. Dalam sistematika kitab-kitab fiqih pada umumnya, pembahasan dimulai dengan penjelasan mengenai kedudukan hukum, syarat dan rukun, serta kelengkapan-kelengakapan praktiknya yang lain, ditambah penjelasan tentang ikhtilaf ulama dalam masalah-masalah tersebut (bila diperlukan). Dalam Hadyu Al-Rasûl jangan berharap kita akan menemukan sistematika seperti itu. Pembahasannya seolah-olah ingin bercerita bagaimana suatu perbuatan dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw. Misalnya, bahasa yang digunakan untuk menjelaskan suatu amalan: “…Rasulullahmemberi petunjuk…dst.” Ungkapan seperti itu akan kita temukan sepanjang kitab. Sesuatu yang tidak biasa dalam sistematika kitab fiqih. Sekalipun demikian, penyimpulan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak menunjukkan telah dilakukan penyimpulan fiqih sebagaimana para ulama fiqih melakukannya.
Konstruk fiqih seperti inilah yang juga hidup di lingkungan Persis. Bagi para ulama Persis sejak zaman A. Hassan, pembahasan fiqih lebih senang dilakukan dengan cara menampakkan langsung ayat atau hadis yang menjelaskannya. Kesimpulan fiqih seolah-olah sengaja dikubur dalam hadis-hadis yang dikemukakan. Berbeda dengan kebiasaan pembahasan fiqih para ulama sebelumnya yang lebih dulu mengajarkan kesimpulan fiqih dan mengebelakangkan pembahasan dalil-dalilnya hingga masyarakat atau santri yang baru belajar tidak akan langsung mendapatkan dalil-dalil tentang suatu kesimpulan fiqih tertentu. Ini bukan masalah mana yang lebih benar, melainkan masalah pilihan-pilihan sistematika penyajian. Tokh pada ujungnya, baik yang mendahulukan dalil atau yang mendahulukan kesimpulan, secara utuh pasti akan memuat kedua-keduanya (dalil dan kesimpulan).
Kecenderungan Mazhab
Kenyataan bahwa telah berkembang mazhab-mazhab, baik dalam fiqih, kalam, maupun tasawuf, adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak lagi dalam khazanah peradaban Islam. Oleh sebab itu, setiap generasi pasca-munculnya mazhab-mazhab tersebut pasti akan memiliki kecenderungan kepada salah satunya. Sekalipun mungkin muncul mazhab baru, pasti akar-akarnya akan ditemukan paa salah satu mazhab yang sudah berkembang mapan. Tidak ada satu mazhab baru yang benar-benar baru segala-galanya.
Sekalipun Persis muncul ingin menghapuskan fanatisme bermazhab, tetap tidak bisa disembunyikan kecenderungannya terhadap salah satu mazhab tertentu dalam Islam. Dari mana kita bisa menemukannya? Tentu dari warisan-warisan tradisinya. Dalam fiqih, kita bisa melihat ke mana sebenarnya kecenderungan mazhab fiqih Persis dari kitab Hadyur-Rasul yang diajarkan sudah sejak lama itu. Kitab yang memang dimaksudkan sebagai pengajaran fiqih ini tidak mungkin diajarkan kalau isi di dalamnya tidak benar-benar disepakati dan dianut oleh Persis. Apalagi diajarkan pada pranata pendidikan yang akan mewariskan pengetahuan pada generasi berikutnya.
Mempertimbangkan Hadyur-Rasul, terlihat jelas bahwa fiqih Persis lebih cenderung pada fiqih Mazhab Imam Ahmad ibn Hambal (Hambali). Hadyur-Rasul adalah ringkasan dari Zâd Al-Ma‘âd karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Ibnu Qayyim adalah penganut mazhab hambali yang sangat kental. Tidak hanya sekedar menganut, melalui kitab I‘lâm Al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb Al-‘Âlamîn Ibnu Qayyim sengaja merumuskan kaidah-kaidah fiqih mazhab Imam Ahmad Ibn Hambal. Siapa pun yang ingin mendalami fiqih Imam Ahmad ibn Hambal harus terlebih dahulu membaca karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini.
KhatimahHadyur-Rasul, Bulûghul-Marâm, Al-Bukhârî adalah di antara kitab-kitab turâts yang telah diwariskan dari generasi ke generasi sejak zaman para founding father Persis. Sekalipun ada keinginan untuk terus memperbaharui warisan tradisi itu agar lebih bisa menjawab tantangan zaman, namun bila dilakukan secara serampangan tanpa mempertimbangan faktor tradisi secara kritis, saya yakin hasilnya bukan malah lebih baik. Tradisi adalah fondasi. Membongkar fondasi secara tidak hati-hati justru akan meruntuhkan bangunan di atasnya. Apalagi, fondasi yang dibongkar tidak disiapkan penggantinya yang lebih mantap, lebih kokoh, dan lebih tahan uji. Semoga kita tidak bermain-main dengan sejarah seenaknya agar tidak dilindas oleh sejarah itu sendiri. Wallâhu A‘lam.