Gaung aksi-aksi umat Islam sejak Aksi Bela Islam 1, 2 sampai Aksi Bela Islam 3 masih terasa sampai sekarang. Euforia yang sangat indah, membuat hati ini sedikit berbangga, bahwa ternyata umat Islam masih memiliki kekuatan, meski hanya terlihat dalam moment-moment seperti itu saja.
Lewat sebulan kemudian bahkan dua bulan, kegempitaannya mulai terasa memudar seiring perjalanan waktu yang membuat kita tenggelam dalam rutinitas yang membuat kita terbelenggu.
Mungkin sempat terlintas pertanyaan dalam benak kita, setelah aks-aksi itu lalu apa ? Atau “ngapain”? Apalagi bagi sebagian peserta aksi yang tidak terlibat langsung dengan GNPF, pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap kali terlintas karena tidak tahu gerakan-gerakan yang kemudian dilakukan oleh GNPF.
Sebagian masyarakat ada yang kemudian terlibat dalam komunitas-komunitas turunan dari Aksi Bela Islam seperti Koperasi Syari’ah yang merupakan gerakan lanjutan dari GNPF, namun mayoritas masyarakat masih ada dalam lingkup ‘kegalauan’ yang sama dengan pertanyaan besar…What next?
Adalah sesuatu hal yang sangat disayangkan kalau kemudian kita membiarkan semangat Aksi-Aksi Bela Islam itu memudar seiring waktu.
Padahal, musuh-musuh Islam di depan kita semakin menggurita, dengan berbagai kekuatannya, trik-triknya yang menghalalkan segala cara, diantaranya adalah kekuatan mereka dalam menguasai perekonomian nusantara. Mereka ibarat naga yang kehausan memeras pundi-pundi umat Islam.
Tidak bisa dipungkiri sejak kita bangun tidur di pagi hari sampai kita menutup mata di malam hari, kita tidak berlepas dari produk-produk mereka, produk yang dihasilkan para gurita ekonomi yang setiap hari justru kitalah yang membuat mereka kaya.
Bagaimana tidak bangun tidur gosok gigi menggunakan pasta gigi produk mereka, mandi pagi menggunakan sabun dan shampoo produk mereka. Selesai mandi, kita sarapan nasi goreng dengan kecap produk mereka, belum lagi camilan favorit kita seperti “pizza” sunda alias bala-bala pasti menggunakan tepung terigu produk mereka, dan….masih banyak lagi produk-produk mereka yang membuktikan bahwa kitalah yang telah membuat mereka kaya.
Gemes, marah dan kesal, perasaan seperti itu yang pasti berkecamuk dalam benak kita. Bagaimana tidak kesal jumlah mereka yang sedikit, tapi justru mereka memiliki persentasi asset kekayaan yang berlipat-lipat dalam skala nasional. Alangkah timpangnya tingkat kemakmuran di negara kita.
Menurut World Bank, selama 15 tahun Indonesia memiliki tingkat kemajuan ekonomi yang pesat, akan tetapi kemajuan perekonomian tersebut hanya dirasakan oleh penduduk Indonesia yang kaya raya sekitar 20 %, sedangkan 80 % sisanya tidak merasakan kemajuan perekonomian tersebut, dengan kata lain tetap miskin dengan tingkat perekonomian jalan di tempat.
Bicara tentang perekonomian Negara memang membuat pusing pikiran kita, hanya kemarahan dan kedongkolan tanpa ada solusi atau jalan keluar yang bisa kita lakukan. Lalu, apa yang harus kita lakukan agar kita berubah, agar kita tidak menjadi golongan miskin dengan jumlah yang besar yang justru malah membuat kaya para gurita.
Para gurita yang selalu haus “fulus”, tak berhenti memeras rakyat kecil dengan balutan kamuflase gaya hidup hedonisme. Sehingga mau tidak mau merubah gaya hidup mayoritas masyarakat digiring menjadi konsumerisme.
Itulah fakta yang ada di hadapan kita selama ini. Apakah ada tindakan nyata atau “real action” yang bisa kita lakukan? Jawabannya…ada. Inilah yang dinamakan Militansi Ekonomi. Seperti apakah kongkritnya Militansi Ekonomi?
Militansi Ekonomi, ternyata sudah dilakukan oleh para ulama-ulama kita terdahulu. Konon, ulama dahulu enggan menggunakan terompah atau sandal buatan India, karena mayoritas di India beragama Hindu, jelas produk non muslim.
Inilah esensi dari Militansi Ekonomi, yaitu kita harus memprioritaskan segala macam kegiatan perekonomian yang kita lakukan dengan sesama muslim. Artinya, kalau selama kita merasa lebih gaya berbelanja ke mall-mall atau swalayan, sekarang saatnya kita mengubah paradigm tersebut menjadi moto baru bahwa lebih baik belanja kepada tetangga kita yang muslim.
Kalau selama ini kita menggunakan produk-produk yang dibuat oleh mereka yang non muslim, sedikit banyak mulai sekarang kita hentikan penggunaannya. Kalaupun tidak bisa berhenti karena tidak ada alternatif pengganti untuk produk tersebut, minimal kita kurangi.
Ada sebuah cerita tentang orang Yahudi yang masuk ke hotel mewah, ketika dia check out dia meminta untuk dipesankan taxi kepada pegawai hotel. Tidak lama berselang, datanglah taxi yang dipesan tersebut. Setelah berbincang-bincang sebentar antara sopir taxi dan orang Yahudi yang memesan taxi, ternyata dia tidak mau menggunakan taxi tersebut, bahkan orang Yahudi itu meminta untuk dipesankan kembali taxi baru.
Meskipun kesal, mau tidak mau pegawai hotel memesankan kembali taxi baru dengan harapan taxi berikutnya sesuai dengan keinginan Yahudi. Namun kejadian yag sama ternyata kembali terulang, setelah berbincang-bincang antara sopir taxi dan Yahudi, taxi kedua pun ditolaknyai. Kejadian itu terus berlanjut, sampai taxi kellima Saking kesalnya pegawai hotel tersebut menggerutu kepada Yahudi.
“Bapak ini sebenarnya cari apa sih? Cari taxi atau cari apa?”
Ditanya seperti itu Yahudi malah balik membentak,”Nggak usah tanya-tanya pesankan lagi saja, kalau tidak mau nanti saya laporkan kepada atasan kamu bahwa kamu tidak mau melayani customer.”
Meski dongkol, pegawai hotel itu memesankan kembali taxi, dan ternyata masih ditolak oleh Yahudi itu berkali-kali. Sampai pada pesanan taxi ke-10, setelah berbincang-bincang antara Yahudi dan sopir taxi, akhirnya Yahudi itu menggunakan taxi tersebut.
Penasaran dengan kejadian itu, pegawai hotel bertanya kepada Yahudi tentang perbedaan antara taxi ke-10 dengan taxi-taxi sebelumnya. Orang Yahudi itu menjawab bahwa dari sekian banyak taxi yang telah dipesan, hanya taxi ke-10 lah yang sama-sama orang Yahudi.
Ini sekedar ilustrasi bahwa mereka Yahudi memiliki loyalitas yang tinggi terhadap sesamanya. Bayangkan, dia rela menunggu sampai taxi ke-10 untuk menunjukkan loyalitasnya sebagai seorang Yahudi. Hal-hal seperti inilah yang mungkin membuat mereka mampu menguasai dunia.
Lalu bagaimana dengan kita? Perilaku Yahudi tentunya tak perlu kita tiru seperti itu, akan tetapi jiwa militansi yang lebih memprioritaskan muslim dibanding yang lainnya perlu ditumbuhkan dengan niat ingin mensejahterakan kehidupan sesama muslim dan menguatkan perekonomian muslim.
Ketika perekonomian muslim maju secara mikro diharapkan pula akan tumbuh menjadi kekuatan perekonomian secara makro. Karena itulah, sudah waktunya kita tumbuhkan jiwa militansi kita dalam perekonomian.
Kita mulai memilah dan memilih warung mana yang akan kita beli, produk mana yang akan kita gunakan, jasa siapa yang akan kita pakai. Sepertinya hal ini sepele, tapi jika dilakukan oleh semua muslim, pasti akan terasa dampaknya. Tidak akan ada lagi warung-warung kecil yang bangkrut karena kalah bersaing dengan minimart-minimart yang menjamur sampai ke pelosok.
Selain itu pula akan menumbuhkan jiwa-jiwa kreatif yang mampu menciptakan produk-produk muslim sebagai alternatif pengganti produk-produk non muslim yang kita tinggalkan.
Lambat-laun, perekonomian muslim akan maju dengan sendirinya, karena saling mendukung, saling memajukan, saling membantu dan saling mensejahterakan. Bukankah itu salah satu makna dari silaturahmi?
Memperlakukan medan perjuangan ekonomi Islam layaknya medan jihad menjadi cukup beralasan saat ini. Dengan segala bentuk variasi dan intensitas tantangannya, perjuangan menghidupkan ekonomi Islam adalah sebuah keniscayaan untuk kondisi umat Islam di Indonesia saat ini.
Musuh utama dalam militansi ekonomi ini tentu saja adalah nafsu berupa keserakahan dan kekikiran. Sementara ajaran materialistik, individualistik dan konsumeristik harus dihapus dari paradigma berpikir semua pejuang ekonomi Islam. Karena ajaran itu menjadi simbol-simbol keserakahan dan kekikiran ekonomi. Butuh kesungguhan, tekad, motivasi dan usaha yang keras untuk dapat mengikis keserakahan dan kekikiran dalam prilaku.
Militansi Ekonomi melalui disiplin perilaku ekonomi yang Islami ini akan berujung pada kesantunan dan kesahajaan ekonomi. Keluhuran budi akan menjadi nilai yang diusung oleh ekonomi, inilah yang merupakan esensi dari perjuangan ekonomi Islam.
Kita harus yakin bahwa kita akan sanggup mewujudkan ekonomi seperti ini. Untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan pejuang-pejuang yang bersedia mengorbankan kenikmatan-kenikmatan dunianya, untuk kemudian fokus terhadap pembangunan sistem perekonomian umat, Mari kita sama-sama bersiap untuk membangun Militansi Ekonomi dalam setiap pribadi, sebagai perjuangan yang tidak akan pernah berhenti.
***
Oleh : Yeni Hendriyani, SP., MEP, Anggota Persistri PC. Bandung Kidul – Kota Bandung
(Penulis adalah pemenang 1 Lomba Menulis Artikel PW. Persistri Jawa Barat)