Ngeri, LGBT Berkembang karena Dipolitisasi

oleh Reporter

26 Januari 2017 | 06:23

Persidangan lanjutan JR KUHP 284, 285 dan 292 di Mahkamah Kostitusi pada waktu lalu, kembali menghadirkan saksi ahli pihak terkait yaitu ibu Aliah B. Purwakania mewakili Persistri dan Ahmad Sofian dari YLBHI. Dilakukan kurang lebih selama satu jam, diisi dengan sampaian keterangan terkait ketiga pasal tersebut dan tanya jawab. Berangkat pada teori fitrah, Ibu Aliah sebagai ahli pihak terkait, yang mewakili Persistri memaparkan bahwa manusia memiliki fitrah yang dikaruniakan Tuhan, dan harus mereka jaga. Namun tentu pada perjalanannya mereka akan mendapat  “godaan” hingga bisa jadi dia akan keluar dari fitrahnya, yaitu menjadi seseorang yang abnormal. Secara emprik, masalah LGBT adalah kontrofersi sejak lama di American Psychological Association (APA), tapi pada tahun 2016 APA memberikan penghargaan terhadap penelitian yang dilakukan National Associationn for Research Therapy on Homosexuality (NARTH). Penelitian ilmiah mengenai twin studies yang menunjukan pengaruh lingkungan terhadap kondisi seorang. Nicholas Cunningham (mantan presiden APA) pernah menyatakan bahwa gerakan LGBT memiliki muatan politik. Selain itu, Dosen Fakultas Psikologi dan Pendidikan Universitas Al-Azhar Indonesia tersebut menyatakan bahwa LGBT bukan merupakan faktor Gen, tapi peristiwa setelah kelahiran dan pengaruh lingkungan sosial. Selain itu terdapat penelitian lain yang menyebutkan bahwa lingkungan yang permisif atau lingkungan yang mentolelir akan meningkatkan perilaku LGBT. Sehingga bisa dikatakan bahwa faktor lingkungan lebih banyak mempengaruhi kondisi seseorang menjadi “LGBT” ketimbang gen, namun ada pihak yang mempolitisasi hal tersebut, sehingga mencuatlah bahwa LGBT merupakan faktor Gen yang harus di “maklumi” masyarakat. (/IH)
Reporter: Reporter Editor: admin