Pelaku LGBT Perlu Disembuhkan, Bukan Dibiarkan dan Lestarikan

oleh Reporter

31 Agustus 2016 | 15:04

Bandung - persis.or.id, "sudah lama kajian-kajian ilmiah  menyatakan homoseksual bukan kodrat manusia, namun merupakan peristiwa abnormal yang harus disembuhkan. Walaupun memerlukan proses panjang, namun dapat disembuhkan. LGBT merupakan penyimpangan atau kelainan orientasi seksual. Penyimpangan yang terjadi bukan dari gen, tapi akibat pengaruh lingkungan. Mari bantu mereka jangan biarkan terus dalam penyimpangan", ucap Taty Setiaty, Sekretaris Umum PP Persistri. Lebih lanjut beliau menerangkan bahwa menjadi penyuka sesama jenis atau berperilaku seksual menyimpang lainnya  terkadang membuat seseorang tersiksa. Rasa cinta memang tidak bisa ditolak, datangnya sering tidak memilih rumah, namun ini adalah cinta terlarang.  "Disebut menyimpang, karena walaupun manusia yang berperilaku ini selalu ada, namun semua agama, atau budaya manapun tidak dapat menerima keberadaan perilaku para penyuka sejenis ini", tutur Taty. Dalam Islam, disebutkan bahwa seseorang tidak bisa menjadi laki-laki dan perempuan secara bersamaan.  jika terdapat anomali alat kelaminnya,  termasuk memiliki dua alat kelamin,  atau tidak memiliki alat kelamin secara fisik,  maka penentuan jenis kelaminnya  dilihat dari tanda-tanda betuk fisiknya. Bila terlihat tanda-tanda betuk fisiknya sebagai laki-laki maka dirinya adalah laki-laki dan begitu sebaliknya.  Jika tidak jelas, maka dia ditanya pengakuannya. "Bila ia milih mengaku perempuan, maka ia hanya boleh menikah dengan laki-laki, begitu juga sebaliknya. Saat ini pengecekan jenis kelamin sesorang bisa dilakukan secara medis,  test psikologis dan religiusitasnya. Intinya dalam konsep islam seseorang harus mempertegas jenis kelaminnya apakah perempuan atau laki-laki karena berdampak terhadap banyak persoalan dalam melaksanakan dirinya sebagai hamba Allah", tambah Taty.  Menurutnya jika diperlukan tindakan operasi, tindakan ini pun dilakukan  untuk memudahkan orang tersebut menjalankan perannya, bukan karena menginginkan jenis kelamin yang lain seperti yang dilakukan kaum LGBT. Kaum LGBT walaupun telah jelas jenis kelaminnya, menginginkan operasi perubahan jenis kelamin atau transgender. Realita perbincangan saat ini bukan pada level mempertanyakan “siapa dan mengapa saya LGBT” bahkan bukan level sekedar menyatakan “Aku adalah LGBT”, namun pada level mengibarkan bendera pelangi untuk bergerak! "Mereka bergerak progresif dan kesetanan, tidak peduli gamblangnya  ilmu pengetahuan dan agama, atau keminoritasan eksistensi dan penolakan yang masih dominan di masyarakat. Mereka sudah tidak  malu malu  dan main main lagi", terang Taty. Walaupun tidak ada celah dalam agama dan medis untuk pelegalan homoseksualitas. Dalam perspektif agama disebut sebuah tindakan kriminil (jarimah) sedang dalam medis-psikologis merupakan kelainan. Tapi, LGBT menggiring masyarakat untuk tidak menilai sebagai kriminil atau kelainan.  Kaum LGBT telah bergerak massif membuat rencana membentuk kelompok masyarakat, meminta hak azasi manusia sebagai kelompok bahkan menguasai bisnis, politik dan ideologi. Pada tanggal 17 Mei mereka berhasil menghapus LGBT dari kelainan jiwa dalam daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM V) yang ada di Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tanggal tersebut dirayakan setiap tahun sebagai Hari Gay sedunia dan dikukuhkan sebagai Hari Internasional melawan Homofibia dan Transfobia (IDAHOT). Homofibia adalah ketakutan masyarakat umum terhadap kelompok homo dan Transfobia adalah ketakutan terhadap pilihan hidup  transgender. "Penyebaran faham LGBT merupakan persoalan sosial. Kaum LGBT memang kelompok yang perlu mendapat bantuan dan pembinaan.  Namun tatkala perilaku ini dikampanyekan dan disosialisasikan serta memaksakan pemakluman untuk diterima sebagai perilaku yang umum, atas nama hak azasi dan cinta, maka pemerintah harus memberikan tindakan penanganan yang sama seperti problem atau penyakit sosial lainnya", tegas Taty. Taty menilai hingga saat ini pemerintah justru tidak menangani gerakan LGBT ini seperti pada penyakit sosial lainnya seperti  pelacuran, judi, narkoba, alkohol atau pelacuran on line yang juga marak baru-baru ini.  Padahal LGBT lebih parah karena mereka melakukan marketing terbuka, merekrut anggota secara terang terangan dari semua lini. Penyakit sosial lainnya cenderung sembunyi-sembunyi mendagangkan jualan/ideologinya, kalau tidak disebut malah dikejar-kejar aparat. Propaganda LGBT dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui media sosial, media cetak, menyelusup ke buku pelajaran tingkat SD, berbungkus entertainmen, gaming dan seni, tawaran service pendampingan kakak pengasuh, atau diskusi dan kajian ilmiah serta pendirian institut bidang penelitian dan pendidikan isue seksualitas,   loby-loby politik di parlemen dan mahkamah konstitusi.  Dari website Gaya Nusantara bisa ditemukan modul bagaimana menjadi Gay Keren atau ungkapan pengalaman LGBT lainnya dalam pelatihan penanganan HIV/AIDS. "Penyakit sosial lainnya tidak menjajakan dagangan ideologinya kepada bocah dan pemerintah memang memagari dengan hukum undang undang perlindungan anak, namun penyakit LGBT secara terang terangan masuk ke kelompok usia dini. Para LGBT jemput bola menongkrongi anak SD ke tempat tongkrongan remaja,  menularkan freseex dari cara halus dengan mengajak bermain, sampai ajakan vulgar baik secara verbal, visual maupun praktek", papar Tety. Menurutnya gerakan LGBT bak seperti narkoba. Target diiming-iming dulu, kemudian mereka diajak  berkumpul dengan forum LGBT bahkan sampai LGBT Internasional di luar negeri, sehingga timbul kesan ketagihan karena syaraf otak menjadi terganggu dan semakin memantapkan langkah mereka menentukan orientasi sexualnya. Gerakannya ditujukan untuk melakukan perubahan tatanan sosial, yakni : 1. Menuntut tatanan keadilan dengan kesempatan melaporkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan menyelesaikannya secara hukum. 2. Memobilisasi masyarakat dengan memberikan advokasi kebijakan yang efektif pada perubahan hukum dan kebijakan. 3. Memobilisasi keterlibatan masyarakat dalam dialog dengan  aparat hukum, pemerintah daerah, lembaga peradilan, organisasi keagamaan, sektor swasta,  lembaga pendidikan untuk menghadapi perlakuan diskriminasi terhadap individu LGBT "Pemerintah semestinya menindak tegas dan segera menetapkan laskar pelangi, lembaga bantuan konseling SGCR, perempuan pelangi, atau koloni sejenisnya sebagai organisasi terlarang, sebagaimana pemerintah demikian sigap memberi label OPM, GAM, Gapatar dllnya sebagai organisasi terlarang, atau warga yang dengan mudah diciduk dan dibinasakan, diberi label sebagai anggota teroris, hanya karena mereka memakai cadar, berpakaian gamis, berjanggut atau sekolah di pesantren yang membaca buku tentang jihad", komentar Taty. Bahkan Taty menambahkan bahwa tindakan tegas pemerintah pun seharusnya menutup semua website koloni LGBT berikut blog tulisan yang bersembunyi dibalik jargon kesetaraan gender, persamaan HAK, kebebasan, indahnya perbedaaan multikultur, dan tulisan sejenisnya, layaknya pemerintah memberangus website organisasi islam. "Tidak hanya yang terang-terangan menyuarakan LGBT, masyarakat perlu mewaspadai media yang enggan terang terangan menolak LGBT, lebih memilih diam atau hanya memposisikan netral terhadap isu penolakan LGBT. Karena LGBT semakin terbuka menunjukkan identitasnya di ruang publik dan menuntut pengakuan atas dasar hak asasi manusia (HAM) serta sangat intensif memanfaatkan media informasi, memberi pengaruh yang tidak baik terhadap mental serta moral generasi bangsa, maka LGBT menjadi gerakan yang harus ditertibkan sesuai hukum dan konstitusi untuk penanganan problem sosial", pungkas Taty. (HL & TG)
Reporter: Reporter Editor: admin