Pada waktu itu, orang menamakan panggilan itu aneka warna. Ada yang mengatakan panggilan Ibu pertiwi dan sebagainya. Bagi umat Islam, panggilan itu sudah 13 abad, yaitu “wa jahidu fi sabilillah”, dengan taat tunduk menyerahkan diri kepada Allah Swt. - Mohammad Natsir-
Dalam membaca sejarah, kita akan dihadapkan dengan dua kemungkinan; realita atau distorsi. Tidak dapat dimungkiri, bahwa Sejarah yang ditulis sangat tergantung pada interpretasi sejarawan. Interpretasi inilah yang akan menghasilkan produk sejarah yang jujur maupun yang manipulatif. Sejarawan, Prof.Ahmad Mansur Suryanegara mengungkap banyak sekali distorsi Sejarah yang diajarkan pada pelajar Indonesia. Di antaranya adalah kiprah umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia yang “ditiadakan”. Temuan tersebut diamini Sejarawan UI, Dr.Tiar Anwar Bachtiar dengan menulis buku “Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru”, Beliau memunculkan fakta yang sebelumnya – sengaja - “disembunyikan”. Semisal tokoh-tokoh Muslim, eksistensi Kejaraan Islam, dan kiprah organisasi Islam dalam meraih kemerdekaan.
Dalam Tafsir al-Azhar, Prof.Hamka membuat uraian khusus tentang rangkuman strategi misionaris Kristen dan Orientalis dalam menyerang Islam. Antara lain, Hamka mencatat: “Diajarkan secara halus apa yang dinamai nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah. Orang Mesir lebih memuja Fir’aun daripada mengagungkan sejarah Islam...” (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar, hal 300). Pernyataan Hamka benar adanya, sejarah Indonesia yang dikenalkan sejak dini adalah sejarah simbol-simbol Hindu dan Budha. Wajar, jika kemudian negara ini lebih dikenal dengan Candi ketimbang masjid atau pesantren.
Distorsi atas sejarah eksistensi umat Islam dalam memerjuangkan kemedekaan Indonesia menjadi satu babak yang menarik untuk dikaji. Polanya sama; meniadakan yang ada, mengadakan yang tidak ada. Eksistensi Islam ditiadakan, mitos-mitos Hindu-Budha disemarakan. Ini sengaja dilakukan oleh Kolonialis-Orientalis. Mereka menjajah dengan cara cerdas. Bukan hanya fisik yang dicabik-cabik, tapi juga pengetahuan yang diputarbalik. Gagal menguasai “fisik” bangsa Indonesia, mereka berhasil menjajah pengetahuan anak bangsa. Pengaburan sejarah diantaranya.
Pengaburan sejarah kemerdekaan menjadi sangat penting dalam perspektif politik. Politik kolonial dalam pendidikan sejarah Indonesia berhasil membuat bangsa lupa akan latar belakang berdirinya bangsa ini; dasar perjuangan para pahlawan merebut kemerdekaan. Maka tulisan ini berusaha menghadirkan kiprah para pahlawan (baca: umat Islam) yang selama ini banyak disembunyikan.
K.H.Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama lainnya menyatakan bahwa awalnya Soekarno tidak mau memproklamirkan Kemerdekaan Republik Indonesia karena dihalangi Inggris dan diancam akan dibuat seperti Hiroshima dan Nagasaki. Namun atas dorongan dan desakan para Ulama, akhirnya Soekarno mau. Para Ulama pada saat itu berpendapat jika tidak segera Memproklamirkan Kemerdekaan, maka Indonesia harus menunggu kemerdekaan selama 300 tahun mendatang.
Desakan para Ulama akan proklamasi adalah satu dari banyak kiprah Umat Islam dalam mempersembahkan kemerdekaan. Perlawanan terhadap Kolonial selalu dimotori para Ulama. Pekik Takbir yang menjadi simbol Jihad fi Sabilillah menjadi dasar para pejuang dalam mengusir penjajah. Nahdlatul Ulama tentu tidak akan melupakan “Resolusi Jihad” yang dicetuskan gurunya, Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad itu di antaranya berisi seruan untuk berjihad melawan penjajahan. Dan Resolusi itulah yang kemudian membakar dada Bung Tomo untuk menggemakan takbir di langit Surabaya. Berikut petikan pidato Bung Tomo:
Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita.Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!
Bermodalkan semangat Tauhid, KH.Hasyim Asy’ari dan santrinya tak gentar melawan kecanggihan senjata musuh. Mereka bahkan membentuk kesatuan militer yang dinamai dengan Hizbullah dan Sabilillah. Fatwa Hasyim Asy’ari tentang hukum membela agama dan tanah air mengilhami umat Islam Indonesia untuk terus melawan. Dan itu memperkuat kesimpulan Belanda bahwa Pesantren adalah tempat yang berbahaya bagi penjajah. Karena dari Pesantren-lah perlawanan itu meletus.
Jauh sebelum Resolusi Jihad difatwakan, Indonesia telah banjir dengan darah para Syuhada. Pangeran Dipenogoro, Pangeran Antasari, Fatahillah, Syarif Hidayatullah, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Hasanuddin Imam Bonjol, Sultan Mahmud Syah adalah sebagian kecil pejuang yang menumpahkan darahnya demi bangsa Indonesia, di atas dasar Jihad fi Sabilillah. Semangat fi sabilillah ini tampak salah satunya dalam Perang Aceh. Perang ini berlangsung cukup lama (1873 - 1910) antara Kesultanan Aceh dan Belanda. Dan Perang ini oleh Belanda dianggap perang yang menyulitkan. Indikasinya adalah lamanya Belanda dalam menaklukan Aceh. Semangat Jihad Aceh tak mampu dibendung oleh Belanda. Pada Perang Aceh I misalkan (1873-1874), 3000 serdadu Belanda yang dipimpin Rudolf Kohler dapat ditaklukan. Dan Kohler sendiri tewas pada 14 April 1873 pada saat perebutan Masjid Raya Baiturrahman. Perang yang berlangsung puluhan tahun tersebut menjadi sejarah perjuangan Umat Islam Indonesia, khususnya Aceh.
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ternyata belum membuat Belanda berhenti melancarkan misinya. Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Belanda berusaha kembali menjajah. Agresi Militer Belanda I (1947) dan Agresi Militer II (1949) menjadi buktinya. Selain itu, melalui diplomasi licik yang dilancarkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) Belanda berhasil membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). KMB yang berlangsung di Kota Den Haag, Belanda tersebut menjadikan Indonesia terbagi ke dalam 15 bagian negara (Federal). RIS oleh sebagian besar rakyat Indonesia dinilai sebagai taktik Belanda untuk memecah belah bangsa. Selain itu, negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Melihat kenyataan seperti itu, Mohammad Natsir, yang saat itu menjadi anggota DPR-RIS sekaligus menjadi Ketua Fraksi Masyumi, melakukan upaya penyatuan kembali negara. Natsir melakukan lobi-lobi politik yang alot dan menyita waktu dengan kepala-kepala negara bagian dan ketua fraksi lainnya di parlemen untuk memusyawarahkan gagasan pemulihan Negara Kesatuan RI. Perjuangan Natsir cukup melelahkan. Natsir mengaku, “Dua setengah bulan saya melakukan lobi, terutama dengan negara-negara bagian di luar Jawa.” Di Parlemen RIS, Natsir tidak hanya melobi politisi Islam, tetapi juga berbicara dengan I.J. Kasimo dari Partai Katholik, A.M. Tambunan dari Partai Kristen, dan Sukirman dari PKI. Natsir menemui Pejabat Presiden RI di Yogya, dan pergi ke daerah-daerah lain untuk melakukan pendekatan dan mengetahui pendapat mereka.
Alhasil, setelah mendapat keyakinan bahwa usulannya tidak akan ada yang menolak, Natsir segera menyampaikan pidato dalam Sidang Parlemen RIS. Pada akhir pidatonya, Natsir menyampaikan mosi yang berbunyi:
Menganjurkan kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat, yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu yang akhir-akhir ini, dengan cara integral dan program yang tertentu.
Mosi yang kemudian dikenal dengan nama “Mosi Integral Natsir” menghasilkan satu putusan penting dalam sejarah Indonesia. Dari Mosi itulah, bangsa Indonesia yang hendak dipecah-belah oleh Belanda berhasil digagalkan. Tepat pada 17 Agustus 1950 RIS secara resmi dibubarkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamasikan kembali. Mohammad Natsir, Ulama Persatuan Islam (Persis) adalah aktor di baliknya.
Mensyukuri Kemerdekaan
Indonesia telah merdeka, umat Islam telah merasakan kebebasan. Tidak ada lagi larangan menerjemah al-Qur’an seperti di zaman Belanda. Tidak ada larangan berjilbab, anak-anak pergi mengaji, atau larangan pergi menunaikan ibadah Haji. Semuanya bisa dilakukan. Merdeka, tanpa intervensi kaum penjajah. Jasa para Pejuang ada di balik ketercapaian tersebut. Dengan gigih dan gagahnya, mereka berhasil melepaskan belenggu yang diderita negara ini selama ratusan tahun. Keberanian yang didasari keimanan adalah alasan pejuang untuk terus bertahan, walau nyawa harus dikorbankan. Dan itu semua tidak terjadi kecuali atas kehendak Allah Swt.
Mohammad Natsir dalam pidatonya mengatakan, “Kalau kita mau jujur melihat Sejarah, mau jujur mengambil pelajaran dari keadaan itu, sehingga dapat bertahan sampai ratusan tahun lamanya di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa kita. Tidak lain saudara-saudara, ini disebabkan oleh pelajaran Islam, dan berkat tauhid yang dapat menghilangkan sifat takutnya, keragu-raguannya, dan kekhawatirannya karena menyerahkan dirinya kepada Allah Swt. Setiap muslimin dengan tabah dapat menunaikan kewajibannya.”
Pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia diraih atas izin Allah Ta’ala, termaktub dalam pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur...”. Kemerdekaan adalah limpahan nikmat yang Allah anugerahkan untuk mereka yang berjuang lillah. Maka betapa angkuhnya manusia Indonesia yang menafikan nikmat kemerdekaan; nikmat yang sesungguhnya masih menjadi mimpi bagi negara sahabat, Palestina. Nikmat yang sudah semestinya disyukuri dengan ragam pengabdian. Dan ingat, Indonesia bahkan dikaruniai kekayaan sumber daya manusia (SDA) yang tidak dimilki bangsa lain. Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?
Kini Indonesia telah merdeka. Berkarya adalah wujud syukur yang nyata. Saat malas, ingatlah sebab kemerdekaan bangsa ini diraih. Saat melihat pemimpin khianat, ingatkan pada mereka latar belakang kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan. Ingatlah, tanpa tauhid yang menjadi dasar perjuangan, Indonesia barangkali akan tetap menjadi negeri jajahan, atau bahkan hilang dari peradaban. Wallahu A’lamHilman Indrawan, Kader Pemuda Persis Pameungpeuk – Bandung Bandung, 20 Agustus 2016