Oleh: Ahmad Zuhdi (Bidang Politik Hukum PP Hima Persis)
***
Budaya literasi bangsa Indonesia sudah dilakukan oleh para Founding Fathers NKRI memasuki abad ke-19. Diantaranya Soekarno, H.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Yamin, M. Natsir dan lain sebagainya.
Selain dalam rangka mentransformasi gagasan ke dalam bentuk tulisan dan pencerdasan kepada masyarakat, pers acapkali digunakan untuk kritik sosial, kontrol pemerintah, membuat dan memengaruhi opini publik, bahkan alat penguasa untuk agitasi dan propaganda serta membungkam idealisme oposisi.
Pers mendapatkan angin segar 8 tahun awal Soeharto berkuasa pada masa orde baru, namun hawa sejuk ini tidak berlangsung lama setelah peristiwa Malari (15 Januari 1974), pers kembali menjadi corong yang harus mengakomodasi kepentingan penguasa, pemerintah dan negara.
Beberapa pers besar dan senior sempat ditutup seperti Tempo, Detik, Editor karena sering menyajikan laporan investigasi penyelewengan kekuasaan yang dilakukan aparatur negara. Pembredelan tersebut diumumkan oleh Harmoko yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan tanggal 21 Juni 1994.
Semakin ditekan, semakin kuat dan terkonsolidasi dengan berbagai strategi dan manuver. Baik dilakukan secara idealis-fundamentalis, kompromis-akomodatif dan radikalis-komprontatif. Itulah keadaan setelah Harmoko membredel media-media besar yang dijadikan masyarakat sebagai referensi dan barometer dalam melihat, mengukur dan mengkritik kinerja pemerintah.
Alhasil, pasca reformasi 1998 pers semakin subur dengan adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Tidak tanggung-tanggung, Dewan Pers menyebutkan ada 44.300 media online. 2000 media cetak, ditambah ratusan radio dan 700-an televisi lokal. Masyarakat menaruh kepercayaan besar kepada pers karena diharapkan mampu menjadi penyeimbang antara informasi dari elite yang diturunkan kepada khalayak luas. Integritas, kode etik, profesionalisme, independensi, objektifitas menjadi taruhan dan harga mati mwarwa insan pers dalam menjalankan tugasnya.
Sebagai pilar keempat demokrasi, pers diharapkan mampu menjadi pemersatu bangsa Indonesia, menjadi arus utama edukasi nilai-nilai luhur keilmuam, resolusi problematika akut yang berkembang di masyarakat, dan menjawab keadilan sosial serta kepastian hukum. Sangat mahal harga persatuan yang sudah dibangun dengan heterogenitas masyarakat dicederai dengan relasi patron politik.
Dalam adagium politik terkenal, tidak ada kawan dan musuh abadi dalam politik, yang ada kepentingan abadi. Pilkada DKI tahun 2017 yang berlangsung dua putaran menjadi sorotan semua pihak. Mulai dari pemerintah pusat, daerah, dan seluruh masyarakat Indonesia. Jakarta merupakan Ibu Kota Indonesia dan etalase pemerintah pusat yang akan dijadikan rujukan daerah-daerah lain baik dalam sektor pendidikan, ekonomi, politik, sosial, hukum, kebudayaan dan lan sebagainya.
Semua perusahaan media dan insan pers turut ambil bagian dari konstelasi ini. Tentu, dalam tensi politik yang meningkat, media seringkali melakukan penyimpangan-penyimpangan antara faktual dengan selera pemilik kepentingan di pers tersebut. Sektarian pers tidak bisa dihindarkan, termasuk negative dan black campaign dihalalkan untuk mengakomodasi dan merebut ambisinya.
Terjun bebas dari khittah kode etik jurnalistik dan profesionalisme wartawan seakan sudah biasa. Integritas, idealisme dan trust (kepercayaan) digadaikan demi memenuhi tuntutan hajat pemilik modal. Kompetensi dan sertifikasi yang sudah didapat hanyalah formalitas semata untuk bargaining position bila ada payung hukum yang dibutuhkan.
Masyarakat dibuat terkotak-kotak oleh pers yang sudah tidak netral lagi. Ujaran kebencian, fitnah, sumpah serapah sampai konflik fisik tidak dapat dihindarkan. Perlu upaya ekstra kembali untuk merekatkan persaudaraan yang sudah retak, siapakah yang akan bertanggung jawab semua ini.
Saatnya pers kembali ke khittah jurnalistik dan profesionalisme wartawan dalam memberikan berita dan informasi kepada masyarakat.
Tidak ada pihak yang diuntungkan ketika konflik horizontal terjadi karena pemberitaan yang tidak sesuai di lapangan. Serta tidak ada alasan asing masuk untuk humanitarian intervention ketika Indonesia diliputi konflik.
Akhirnya hanya kepada Allah kita memohon perlindungan dan hanya kepada-Nya kita mengembalikan segala urusan.