Jakarta - persis.or.id, Pimpinan Pusat Persis yang diwakili Dr. Jeje Zaenudin menyampaikan pandangan dan saran dalam pertemuan Majelis Ulama Indonesia dengan ormas-ormas Islam pada Jumat (13/10) di Hotel Menara Penisula Jakarta.
Wakil Ketua Umum PP Persis itu menyebutkan bahwa Pancasila itu satu kesatuan yang dimulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai nilai tertinggi dari lima dasar, sehingga tidak mungkin memahami sila yang kedua, ketiga, keempat dan kelima melainkan semuanya dalam konteks Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dewasa ini mulai dinilai ada kerisauan mengenai bagaimana penafsiran dari Pancasila itu sendiri. "Setiap pergantian rezim maka ia mempunyai kecendrung penafsiran Pancasila itu dengan visi misi dari pemimpin itu sendiri (pemerintah, red)", ujar Dr. Jeje
Ormas-ormas Islam sama sama komitmen sebagaimana dituangkan didalam Undang Undang Dasar itu sendiri bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum tetapi ketika berbicara negara hukum sumber hukum tertingginya adalah kembali pada Pancasila dan UUD 1945.
Dr. Jeje juga menuturkan, Pancasila dan UUD itu menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Jadi suatu lingkaran yang ujungnya tidak dimunculkan maka yang menjadi dasar dari seluruh nilai dasar hukum kita harus kembali kepada Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu agama, artinya agama harus mempunyai posisi yang tegas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara", paparnya.
Secara normatif memang agama diakui di Indonesia, sebagai dasar yang paling mendalam atau dasar yang paling tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi jika mengacu kepada yuridis konstitusional dinilai belum muncul.
"Kita bertanya, dimana dasar bahwa negara itu punya kedudukan yang tinggi didalam kehidupan berbangsa dan bernegara? faktor ini yang kita tidak temukan", ucapnya.
Oleh karena itu, Dr. Jeje menyarankan agar MUI merumuskan UU penegasan posisi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Dengan kewenangan MUI dan posisinya yang sangat strategis, kami berharap apakah tidak sepatutnya kita rumuskan, yaitu sebuah rancangan Undang-undang yang menegaskan posisi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, posisi agama sebagai segala sumber hukum di dalam kehidupan berbangsa bernegara ini", ungkapnya.
Lanjutnya, siapapun nanti yang menjadi pemimpin negeri ini tidak akan bisa menafsirkan negara bedasarkan hukum itu menurut visi dan misinya sendiri-sendiri.
"Kita khawatir kalau kemudian semakin jauh umat ini atau bangsa ini dari para pendirinya maka semakin jauh pula ikatan historis ideologis terhadap agama sebagi sumber dari negara ini yang pada akhirnya Pancasial difahami sebagai negara sekuler", imbuh Dr. Jeje
Kongkritnya apa yang dahulu pernah digagas Kementrian Agama mengenai Rancangan Undang-undang Perlindungan Agama dan Umat Beragama. Mengapa sekarang ini tidak ada lagi kelanjutannya padahal salah satu ide dasarnya adalah memposisikan secara tegas agama dan lembaga agama dalam sistem kenegaraan kita.
"Tanpa itu suatu saat MUI juga bisa dibubarkan, apa landasan konstitusinya, yuridisnya MUI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka jangankan ormas-ormas pada akhirnya MUI sendiri tidak bisa bertahan jika suatu saat ada rezim tidak lagi menginginkan adanya lembaga agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara", pungkasnya. (HL/TG)