Jakarta - persis.or.id, PP Persistri dalam memperjuangkan pelurusan makna zina demi terwujudnya ketahanan keluarga, sejauh ini sudah menghadirkan 6 orang ahli yang terdiri dari ahli Psikologi, Hukum Tata Negara dan ahli Hukum Pidana dalam sidang judical review pasal kesusilaan di Mahkamah Konstitusi.
"Kami memandang cukup, semua sudah saling melengkapi tidak ada pengulangan ahli, tidak tumpang tindih, semua yang kami usahakan ada dalam petunjuk Allah, sekarang kami tinggal berdoa agar Allah membantu kami dalam usaha menegakkan hukum-hukum yang diridhoi-Nya", ungkap Hj. Titin Suprihatin, M.H, rabu (01/01
Hj. Titin mewakili PP Persistri menyebutkan bahwa pihak yang tak setuju dengan revisi makna zina dalam KUHP itu selalu mengatakan penambahan penambahan delik kkriminalisassi.
"Menurut pandangan kami, hal tersebut bukan penambahan tetapi ini pelurusan yang disebut zina itu bukan hanya yang sudah sudah menikah, melainkan yang disebut zina itu pun hubungan kelamin yang dilakukan kepada yang tidak menikah, jadi pelurusan bukan penambahan tetapi mereka selalu memblow up segala urusan akan diserahkan kepada Negara", ungkap Hj. Titin
Beliau melanjutkan, kalau masalah demikian diserahkan kepada 'seseorang' nanti akan terjadi hukum rimba, siapapun tidak berhak menghukum kepada yang berzina.
"Dalam hukum Islam, ini menjadi ranah hak Allah, ranah hak Allah itu yang harus menegakkan adalah Negara, tidak diserahkan kepada pribadi. Yang diserahkan secara pribadi dalam hukum Islam adalah hak adami yaitu hubungan kebendaan seperti jual beli dan utang piutang, sedangkan zina sama seperti pencurian, itu harus Negara yang menanganinya", papar Hj. Titin.
Langkah Persistri di Mahkamah Konstitusi ini sudah sejalan dengan visi ketahanan keluarga yang diusung sebagaimana amanah Muktamar. Persistri dalam memberikan pendidikan ketahanan keluarga sudah dinilai sangat luar biasa, di Persis mendidik mulai dari pendidikan dasar sampi ke perguruan tinggi.
Fenomena saat ini pasangan yang bukan suami istri (tidak halal), lantas berhubungan suami istri sudah mulai dianggap biasa. "Kondisi seperti ini sudah tidak bisa lagi ditangani oleh pendidikan di masyarakat, disini peran dan kehadiran Negara inidibutuhkan", ujar Hj. Titin.
Beliau mempertanyakan, masalah suka sama suka itu bukan ranah kriminaslasi? Pihak kontra pelurusan zina selalu berbicara masalah HAM. Pantaslah hakim bertanya HAM versi yang mana? sebab di Indonesia, dalam UUD 1945 HAM itu harus sesuai dengan hukum agama dan bagi umat Islam yang disebut HAM itu adalah yang diberikan oleh Allah bukan yang diciptakan oleh manusia. "Allah tidak memberikan hak melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan", imbuhnya.
Dalam Islam melakukan hubungan kelamin tanpa nikah adalah haram. Seringkali pihak kontra pelurusan makna zina, bersembunyi dalam tameng HAM, sedangkan HAM yang dianutnya bukan HAM seperti yang dihayati oleh UUD 1945. "Mereka menganut HAM Amerika dan negara-negara barat. Mereka menamakan ini kebebasan kehendak", ujar Hj. Titin. (HL/TG)