Bandung - persis.or.id, Berkembangnya polemik rilis 200 mubaligh versi kemenag, Trans 7 menggelar acara dialog "Pilah Pilih Mubaligh" disiarkan secara langsung dan dihadiri oleh Mentri Agama, ketua MUI, para ketua ormas islam diantara Persis, Muhammadiyah dan NU, Rabu (30/05/2018)
Dr. KH. Jeje Zaenudin, mewakili PP Persis, menyampaikan di kesempatan itu bahwa secara teologis, baik Al-quran dan sunnah Nabi, sudah mengatur siapa yang berhak menjadai mubaligh atau da’i.
Jeje mengibaratkan ketika menjadi seorang imam dalam sholat saja Rasulullah SAW telah mengajarkan yang bisa menjadi imam itu diantara kriterianya adalah yang paling fasih bacaan quraannya, hafalannya paling banyak.
"Itu dalam skala keci, jadi bisa dibayangkan kalau ia menjadi pemimpin dalam skala yang besar atau menjadi mubaligh yang dibutuhkan oeh umat tanpa ada standar kompetensi sama sekali", ungkap Jeje.
Posisi Persatuan Islam (Persis) dalam menjadikan patokan atau ukuran mubaligh-mubaligh yang luar biasa banyaknya, disampaikan oleh Jeje sebagai berikut.
"Pada prinsipnya wacana yang berkembang, kontroversi di masyarakat berpusat antara 2 hal",
"Yang pertama secara subtantif, tidak akan ada pihak yang menolak bahwa seorang mubaligh harus mempunyai persyaratan tertentu, harus memiliki standarisasi tertentu dan itu harus", Jeje mengutarakan.
Karena hal itu, menurut Jeje, memang tuntutan dari pada al-quran itu sendiri, sunnah kemudian ijma para ulama.
Seorang imam dalam sholat saja ada kualifikasi tertentu apalagi seorang mubaligh yang nantinya akan mengajarkan kepada masyarakat atau mendoktrin tentang suatu pemahaman yang dampaknya sangat luas karena akan menjadi panutan.
"Saya kira persoalan kontroversinya terletak pada tataran prosedural formalnya", imbuh Jeje.
Presenter bertanya tentang siapa yang berhak membuat sertifikasi seperti itu dan berhak duduk di lembaga kode etik dari mubaligh itu.
Dijawab oleh wakil ketua umum PP Persis itu, bahwa persoalannya terletak pada lembaga yang membuat dan merilis sertifikasi.
"Untuk hemat kami, yang berkembang di majlis ormas, yang saya tangkap penolakanya bukan kepada subtansi adanya standarisasi bagi seorang mubaligh, tetapi kepada lembaga itu dan figur-figur yang duduk di dalamnya ", tutur Jeje.
Terkait legitimasi dan sertifikasi mubaligh itu, dinilai Jeje, harusnya datang dari MUI.
"MUI adalah lembaga representasi dari semua ormas Islam dan lembaga-lembaga dakwah di Indonesia", ungkapnya.
Problem muncul dan semakin mencuat ketika sertifikasi Muballigh dirilis dari kementrian Agama.
"Tahun ini kan, tahun politik. Kemudian ada kasus-kasus terosisme dan lain sebagainya", imbuhnya.
Terakhir, ditanya terkait MUI adalah lembaga yang akan bisa menginisiasi dan memulai proses klasifikadi dan standarisasi ini, Persis sangat setuju?
"Ya, saya sangat setuju", jelas Jeje.
Selepas acara dialog tersebut, di belakang layar Jeje sempat berbincang dan memberikan masukan kepada Kemenag dan MUI.
Poin masukan yang disampaikan itu berkaitan dengan adanya adab yang mesti dibangun.
Mulai dari kode etik, klasifikasi, standardisasi, sertifikasi atau apapun istilahnya, tidak boleh berdampak diskriminatif, memecah belah, apalagi mengkriminalkan mubaligh yang belum memiliki atau terdaftar di lembaga standardisasi.
"Sebaiknya dimaksudkan melindungi masyarakat dari paham sesat dan ekstrim, sekaligus meningkatkan kualitas dakwah agar lebih bermutu dan luas", ujar Jeje kepada Kemenag dan MUI. (HL/TG)