Islamabad - persis.or.id, Ramadhan menjadi sesuatu yang sangat dinanti umat Islam di seluruh dunia. Selain waktu untuk meningkatkan keimana dan ketakwaan kita, tapi Ramadhan juga sebagai momentum bagi umat Islam untuk saling berkumpul bersama keluarga. Setelah berbulan-bulan sibuk dengan rutinitas masing-masing, Ramadhan memang waktu yang tepat untuk pulang dan saling mengisi rindu bersama sanak keluarga. Seperti itulah yang masyhur dalam adat di Indonesia.
Tapi hal itu tidak bagi kami para penutut ilmu di Luar Negeri. Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan pertama kali Ali Muhtadin, alumni Pesantren Persis Bangil harus jauh dari keluarga dan teman-teman.
5 bulan lebih saya berada di Negeri Ali Jinnah, Pakistan, yang diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan Bachelor of Science (BS) Islamic Studies di International Islamic University Islamabad (IIUI), Pakistan. Ada banyak hal yang lumrah saya dapati di Indonesia tapi tidak saya temukan di sini.
Waktu Puasa yang Relatif Lama
Puasa di Pakistan memerlukan waktu yang lebih lama dari umumnya waktu di Indonesia. Saya yang terbiasa puasa dengan kisaran waktu 13 jam di Indonesia, harus dipaksa menahan 3 jam lebih dari itu. Hal itu dikarenakan bulan Ramadhan kali ini jatuh pada summer (musim panas). Pakistan memang salah satu negara di Asia yang dilalui oleh 4 musim sekaligus.
Hal tersebut menjadi tantangan baru bagi saya yang belum terbiasa dengan siklus yang seperti itu. Waktu Maghrib yang umumnya jatuh pada pukul 17:30 - 18:00 di WIB Indonesia, sedikit berbeda dengan Pakistan yang jatuh sekitar pukul 19:05 waktu Pakistan. Hal tersebut yang membuat durasi lebih lama.
Selain durasi, suhu yang mencapai 40 derajat Celcius juga menjadi tantangan besar bagi saya dan mahasiswa Indonesia di Pakistan. Bahkan, demi menjaga kesegaran tubuh kami biasa mandi sehari 4 kali. Panas yang menyengat ditambah hawa dan angin yang panas pula membuat Iman kita harus lebih dikuatkan.
Tetapi, hal tersebut tidak menjadi halangan kami para Maasiswa Indonesia di Pakistan untuk tidak meningkatkan amal Ibadah selama bukan Ramadhan. Apalagi, bukan Ramadhan kali ini jatuh pada Ujian Akhir Semater (Termin Exam) yang sedikit banyak menyita waktu dan pikiran untuk belajar.
Ta’jil Buka yang Dirindukan
Di Indonesia, menjelang berbuka puasa kita akan disuguhkan dengan pemandangan para pedagang ta’jil dadakan di sepanjang jalan. Mereka yang pada bulan biasa tidak pernah berdagang, seketika menjadi pedagang ta’jil selama bukan Ramadhan. Berburu aneka macam jajanan ta’jil menjadi cara tersendiri bagi masyarakat di Indonesia untuk menunggu waktu berbuka (ngabuburit).
Berbeda dengan Pakistan, aneka jajanan ta’jil yang bervariasi tidak kami dapatkan di sini. Adat dan kebiasaan Pakistan yang sangat jauh berbeda dengan Indonesia menjadi alasan jalanan Pakistan terlihat sepi. Mulut saya yang belum terbiasa dengan cita rasa makanan Pakistan menjadi penghias dan cerita tersendiri saat berbuka puasa.
Memang, di sekitar jalanan menuju Asrama saya yang terletak di Kuwait Hostel terdapat beberapa lapak yang menyediakan menu ta’jil yang terbatas. Namun, pada selain bulan Ramadhan pun mereka juga berdagang di tempat tersebut. Dan menunya pun tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Kentang goreng (mereka menyebutnya alu) menjadi menu andalan mahasiswa Indonesia maupun mahasiswa lokal. Sedikit variasi pemotongannya yang menjadikan alu tersebut menjadi beberapa varian.
Hal tersebut yang membuat saya dan para mahasiswa Indonesia merindukan euforia Ramadhan di Indonesia. Bahkan, topik tersebut menjadi ulasan lawas yang seringkali dibicarakan ketika berkumpul bersama.
Namun, Mahasiswa Indonesia patut bersyukur. Karena seringnya undangan buka puasa bersama di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Pakistan menjadi satu-satunya momen mengobati rindu akan hal tersebut. Setiap hari Jum’at dan Sabtu kami selalu mendapatkan undangan tersebut, dan pastinya dengan menu buka puasa makanan khas Indonesia. Meski tidak setiap hari, hal tersebut menjadi momen yang paling dinanti mahasiswa Indonesia.
Tadarus Al-Qur’an
Di Indonesia, ada kebiasaan di bulan Ramadhan yang seakan menjadikan malam Ramadhan itu hidup. Tadarus Al-Qur’an yang keluar dari pengeras suara masjid-masjid seakan sebagai jalan dalam berlomba-lomba dalam kebaikan. Baik di kampung maupun kota, gema bacaan Al-Qur’an turut menjadi warna tersendiri dalam mengisi malam-malam bulan Ramadhan. Terlebih jika memasuki 10 terakhir bulan Ramadhan, bahkan kita dapati tadarus tersebut semalaman suntuk.
Berbeda dengan Pakistan, meskipun di malam-malam bulan Ramadhan tidak kita dapati kebiasaan semacam di Indonesia. Usai taraweh, masyarakat lebih memilih untuk pulang dan tadarus Al-Qur’an di rumahnya masing-masing. Hal tersebut yang menjadikan malam Ramadhan di Pakistan serasa sepi.
Begitu juga yang terjadi Dilingkungan Asrama, para mahasiswa lebih memilih menghabiskan bacaan Al-Qur’an di kamar masing-masing. Hal tersebut yang menjadikan kami merindukan malam-malam Ramadhan di Indonesia.
Warung Makan yang Sempurna Tutup
Pakistan merupakan negaa dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar kedua di bawah Indonesia. Oleh sebab itu, mayoritas penduduknya juga menjalankan ibadah puasa ketika bulan Ramadhan. Hal tersebut yang menjadikan warung-warung makan di Pakistan sempurna tutup ketika siang hari. Selain menghargai orang yang berpuasa, hal tersebut juga sebagai komitmen mereka dalam menjalankan ibadah puasa.
Sementara itu, sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, bahwa masih banyak warung-warung makan yang tetap beroperasi di siang hari bulan Ramadhan. Hanya bermodal tirai yang masih terlihat bawahnya mereka melayani bagi mereka yang dengan sengaja atau tidak membatalkan puasanya. Padahal Indonesia merupakan negara nomer 1 dengan penduduk mayoritas umat Islam.
Hal ini yang harus dicontoh umat Islam yang ada di Indonesia. Dengan dalih menghargai mereka yang tidak berpuasa seharusnya bukan menjadi alasan.
Tidak hanya itu, di Indonesia masih sering kita dapati umat Islam dengan tanpa rasa malu makan dan minum di tempat-tempat umum di Indonesia. Sementara di Pakistan, meski dengan durasi yang lebih lama dan suhu yang lebih panas dari Indonesia, saya hampir tidak mendapati orang yang dengan sengaja menampakkan dirinya dengan makan atau minum di tempat umum. Semoga point ini bisa menjadi cambukan dan nasehat bagi kita yang berada di Indonesia.
Nah, seperti itulah suka dan duka kami para pelajar Indonesia di Pakistan. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dan pelajaran untuk saling meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita. Sehingga ketika Ramadan berlalu kita semua bisa meraih gelar muttaqin. Amiiin.
Oleh: Ali Muhtadin, PCI Persis Islamabad Pakistan