Oleh ketua Umum PP Persis KH Aceng Zakaria
Kita ummat Islam dituntut untuk ta.at kepada Allah dan rasul-Nya, yaitu mengikuti sunnah Nabi saw, baik itu qauliyyah (ucapan nabi), fi’liyyah (perbuatan Nabi) atau taqririyyah (sikap Nabi). Sunnah dilihat dari sisi kandungan hukumnya terdapat beberapa fungsi, diantaranya:
Pertama, ta’kidan li ma fil-Quran; penguat hukum-hukum yang telah ada dalam Al Quran. Seperti perintah mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan yang lainnya. Hukum-hukum masalah tersebut telah ada didalam al-Quran dengan jelas dan tegas, tetapi didalam haditspun banyak yang menerangkan hukum masalah-masalah tersebut. Maka fungsi hadits ini ialah sebagai penguat apa yang ada didalam al-Quran. Berarti masalah-masalah tersebut memiliki dua dasar hukum, yaitu al-Quran sebagai penetap atau penentu hukum dan Sunnah sebagai penguat atau pendukungnya.
Kedua, bayanan li ma fil-Quran;penjelas apa-apa yang ada dalam al-Quran. Baik merupakan takhshish (pengecualian) terhadap ayat-ayat yang ‘am (umum) atau taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang muthlaq (pasti) atau bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat mujmal (umum). Ayat-ayat al-Quran yamg belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana dijelaskan dan dijabarkan dalam Sunnah, seperti perintah sholat yang terdapat dalam al-Quran, yaitu ayat aqimus-sholat; dirikanlah sholat. Dalam prakteknya dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi, baik caranya, bacaannya, tempat dan berbagai persyaratan yang lainnya. Diantara sabda Nabi saw shallu kama ra’aitumuni ushalli; shalatlah kalian seperti kalian melihat cara kami shalat. Demikian juga perintah hai yang terdapat didalam al-Quran; atimmul-hajja wal-‘umrata lil-‘Lah: sempurnakan haji dan umroh karena Allah. Dalam prakteknya pelakdanaan thawaf, sa,i, wuquf dan melontar jumroh dijelakan dalm hadits-hadits Nabi. Nabi saw memerintahkan; “Ambillah oleh kalian dariku tata cara manasik haji haji kalian” (H R al-Baihaqi)
Ketiga, tasyri’an mustqillan; syari’at yang berdiri sendiri. DAlam hal ini Sunnah berfunngsi untk menetapkan hukum atau syari’at yang tidaj disebutkan atau disinggung-singgung dalam al-Quran, seperti syari’at aqiqah, sunnat rawtib atau cara mengiurus jenazah. Semua itu terdapat dalam hadits-hadits Nabi yang shahih.Syari’st-syria’at tersebut diatas dapat dilaksanakan walau tidak terdapat dalam al-Quran karena pada dasarnya Nabi sendiri adalah shahibus syari’at (penetu syari’at). Seperti kenyataanya Nabi saw menikahi sembilan isteri padahal al-Quran hanya memerintahkan empat isteri dan jika nabi melanggar ketentuan Allah, pasti akan mendapat teguran dari Allah. Seperti halnya Nabi pernah mengharamkan madu demi isterinya kemudian Allah langsung menegurnya dengan firman-Nya: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah MAha Pengampun lagi Mha Penyayang.” (QS at Tahrim [66] ; 1). Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah mengharamkan atas dirnya minum madu untuk menyenangkan hati isteri-isterinya maka turunlah ayat ini sebagai teguran kepada nabi saw. Demikian menurut asbab nuzulnya. Pada dasarnya tidak mungkin al-Quran bertentagan denga al-Quran atau al-Quran bertentangan dengan hadits yang shahih atau hadits yang shahih bertentangan dengan hadits yag shahih lainnya. Karena pada hakikatnya al-Quran dan hadits yang sahahih adalah wahyu dari Allah.
Tetapi mungkin saja kita mendapatkan satu ayat al-Quran yang tampaknya bertentangan dengan ayat yang lain atau hadits yang shahih bertentangan dengan ayat al-Quran, seperti halnya;”Sesungguhnya mayyit akan disiksa dengan sebab tangisan keluarganya.” (HR Muslim). Hadits ini menunukan bahwa mayyit akan disiksa dengan sebab tangisan keluarganya. Dngan kata lain, yang mennagis keluarga mayyit yang disksa adalah mayyit. Hadits ini secara sanad shahih karena bersumber dari dua sahabat Nabi yaitu Umar dan Ibnu Umar dan diriwayatkan oleh Muslim. Dalam hal ini Aisyah menilai hadits ini bertentangan dengan al-Quran, kemudian Aisyah menyatakan; “Cukup bagi kamu al-Quran, yaitu seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.
Demikain juga hadits dibawah ini; “Barang siapa yang emninggakl dan punya utang shaum, maka shaumkanlah oleh walinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukan bahwa wali (keluarga) mayyit mempuasakan atau mengqadha utang shaum mayyit. Hadits ini shahih karena diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari dan muslim tetapinkalau memperhatikan ayat-ayat al-Quran, ternyata banyak ayat-ayat al-Quran yang menyatakan bahwa, seseorang tidak akan mendapatkan balasan dari amal orang lain, atau seseorang tidak akan dapat memikul atau membebaskan dosa orang lain, seperti ayat dibawah ini:”Tidak ada balasan bagi seseorang kecuali apa yang ia usahakan.” (QS an-Najm [53] : 39).
Al-Quran menjelaskan bahwa barang siapa yang mengharapkan ridha Allah, yakin akan hari akhir dan ingin berdzikir kepada Allah dengan banyak, maka jadikanlah Rasul sebagai uswah, baik dalam urusan ibadah, mu’amalah, munakah ataupun jiyanat: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dandia banyak menyebut Alla.” (QS al-Ahzab [33] ; 21).
Rasul adalah sosok yang paling takut kepada Allah, paling bertaqwa kepada-Nya. Pernah ada seorang sahabat Nabi merencanakan untuk tahajjud setiap malam dengan tidak tidur, mau shaum sunnah setiap hari dan tidak akan batal dan ada yang merencakana untuk tidak menikah karena mau focus ibadah kepada Allah, ternyata NAbi menegur dengan sabdanya: “Aku yang paling gakut krpada Allah, paling taqwa kepada-Nya, Akupun suka tidur, suka sholat, suka shaukm, suka batal dan akupun beristri.”DEngan kata lain tidk usah mencari cara lain dilusr yang telah dicontohkan oleh Nabi. Jangan berusaha untuk megamalkan yang tidak diperintahkan oleh Nabi atau meninggalkan yng tidsk dilarang oleh-Nya.
Al-Quran dan Sunnah hendaklah dijadikan pedoman oleh seluruh umat Islam dalam seluruh aspek kehidupan baik yang menyangkut ritual atau sosial. Al-Quran dan Sunnah hendaklah kedua-duanya dipegang teguh, jangan dipilah-pilah. Kemudian berdalil dengan Sunnah pun hendaknyalah berdasrakan hadits-hadits yang shahih sesuai standar ilmu musthalah hadits. Tetapi dalamhal ini, ternyata masih terdapat kekliruan dikalangan umat Islam, diantaranya:
Pertama, ada yang hanya berpegang teguh kepada al-Quran saja dan tidak kepada Sunnah Nabi, seperti aliran Inkar Sunnah, atau pembaharu Isa Bugis atau yang menamakan dirinya Golongan Qurani. Akibatnya, dikalangan mereka tidak ada syari’at aqiqah, shalat sunnah rawatib, ‘Idul Fithri atau’Idul Adha, karena semua itu tidak ada rujukannya didalam al-Quran dan hanya berdsrkan hadits saja.
Kedua, ada yang berpedoman pada al-Qurn dan hadits, tetapi tidak selektif, apakah hadits shahih atau dha’if. Akibatnya kadang hadits dha’if diamalkan bahkan hadits maudhu’ sekalipun.
Ketiga, ada yang berpedoman kepada al-Quran dan hadits dengan selektif tetapi menurut guru atau amirnya, seperti yang menerapkan metode manqul, yaitu apa yang diterangkan lewat gurunya itu pasti shahih dan yang belum lewat gurunya ditolak walau itu hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu mereka menutupi diri dan tidak mau meneriman kritik dari yang lain.
Dalam hal ini, seharusnya kita umat Islam berpedoman kepada al-Quran dan hadits dengan selektif, sesuai dengan standar ilmu Musthalah Hadits.
FIKRAH.
RISALAH NO. 7 TH 54 .
OKTOBER 2016.