RAGAM KETA’ATAN MANUSIA TERHADAP ALLAH

oleh Redaksi

20 Agustus 2025 | 08:12

RAGAM KETA’ATAN MANUSIA TERHADAP ALLAH

RAGAM KETA’ATAN MANUSIA TERHADAP ALLAH

Oleh: A. Zakaria


Setiap orang beriman seharusnya siap dan sadar untuk ta’at kepada Allah, dan tidak ada pilihan lain kecuali; sami’nâ wa atha’nâ. Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya;


وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلًۭا مُّبِينًۭا ٣٦


 “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. al-Ahzâb: 36)


Ayat ini berkaitan dengan kasus Zainab bin Jahsyi, dimana Rasulullah SAW meminang Zainab untuk Zaid bin Haritsah, mantan hamba sahaya Rasulullah, Zainab dan saudaranya yang bernama ‘Abdullah menolak pinangan tersebut, lalu turunlah ayat ini, kemudian mereka menerima untuk dinikahi oleh Zaid, dan Rasulullah pun langsung menikahkan mereka.


Ayat ini menegaskan bahwa tidak layak seorang mukmin atau mukminat untuk mencari pilihan lain di luar keputusan Allah dan Rasul-Nya. Dalam ayat lain Allah SWT menegaskan;


إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ٥١


 “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan; “Kami mendengar, dan Kami patuh”, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. al-Nûr: 51)


Ayat ini juga menegaskan bahwa sikap orang yang beriman hendaklah sami’nâ wa atha’nâ terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya dan mereka itulah orang yang beruntung.


Itulah seharusnya sikap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi kenyataannya, masih beragam keta’atan manusia terhadap Allah, di antaranya;


  1. Ta’at untuk melaksanakan shalat tetapi enggan mengeluarkan zakat karena dirasakan merugikan.
  2. Ta’at untuk melaksanakan shalat tetapi merasa berat untuk melaksanakan shaum Ramadhan.
  3. Ta’at untuk melaksanakan shalat dan shaum tetapi masih merasa berat untuk berjilbab atau menutup aurat.
  4. Ta’at untuk melaksanakan shalat dan shaum Ramadhan, tetapi dalam hal ‘aqidah masih percaya kepada dukun dan paranormal.
  5. Ta’at dalam melaksanakan ibadah ritual tetapi dalam hal ibadah sosial masih banyak pelanggaran, baik terhadap tetangga, orangtua, atau terhadap pembantu rumah tangga.
  6. Ta’at dalam melaksanakan shalat dan ibadah yang lainnya tetapi dalam hal berbisnis masih banyak terlibat dalam sistim riba dan sistim ekonomi yahudi.
  7. Menerima syari’at shalat, zakat, shaum dan haji tetapi menolak syari’at jinayat menurut hukum Islam, dianggapnya hukum Islam tidak pas dan tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Dianggap melanggar HAM, dan akan membuat disintegrasi bangsa, dan dianggap tidak berprikemanusiaan karena yang mencuri seperempat dinar saja atau kurang lebih satu juta rupiah sudah harus dipotong tangannya, dan yang berbuat zina harus dirajam sampai mati.


Itulah ragam keta’atan manusia terhadap aturan dan ketentuan Allah, padahal seharusnya ta’at kepada Allah itu hendaklah secara kaffah (menyeluruh) agar tidak termasuk kelompok orang yang;


نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ...


Beriman terhadap sebagian ayat dan kufur terhadap ayat yang lain…


Dan semua aturan dan ketentuan Allah itu pasti cocok dengan fitrah manusia, buktinya, selama 10 tahun Nabi menerapkan syari’at Islam di Madinah, tidak sampai 10 orang yang mencuri yang sampai dipotong tangan. Demikian juga tidak sampai 10 orang yang berbuat zina yang sampai dirajam.


Sementara di Indonesia mungkin jutaan orang yang mencuri dan yang melakukan prostitusi setiap harinya.


Prioritaskan perintah Allah


Jika terjadi dua perintah yang bertentangan, katakanlah kedua orangtua memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, maka prioritaskanlah perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Alquran;


وَإِن جَـٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌۭ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًۭا ۖ وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ١٥


Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Luqmân: 15)


Ayat ini menegaskan bahwa jika kedua orangtua memaksamu untuk melakukan syirik kepada Allah, maka janganlah kamu menta’ati perintah kedua orangtua dan ta’atilah perintah Allah. Hal ini adalah wajar, karena Allah arham al-Râhimîn, dzat yang paling kasih sayang di antara mereka yang penuh kasih sayang, Allah menyayangi hamba-Nya melebihi kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Orangtua baru mencurahkan kasih sayangnya setelah anak itu lahir, itupun selama ibunya terjaga, belum tidur, sedangkan di saat ibunya tidur, anak sudah di luar pengawasan ibunya. Sedangkan Allah telah mencurahkan kasih sayangnya dari mulai anak masih dalam kandungan, siapa yang merawat bayi dalam kandungan? Memproses pertumbuhan janin sampai lahir ke dunia dalam keadaan sempurna?


Demikian juga Allah tidak hanya mengurus hamban-Nya sampai lahir, tetapi setelah dewasapun masih tetap dalam perawatannya. Oleh karena itu, wajarlah kalau harus memprioritaskan perintah Allah daripada perintah kedua orangtua.


Demikian juga jika seseorang memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, makan janganlah ia menta’ati perintahnya. Katakanlah, seorang atasan atau penguasa memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, maka janganlah manta’ati perintahnya, apapun resikonya, karena Allah adalah Maha Penguasa di atas semua para penguasa. Dalam suatu hadits dinyatakan sebagai berikut;


لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ.


Tidak ada keta’atan terhadap siapapun makhluk jika harus mendurhakai Allah sebagai khaliqnya.”


Dalam ayat lain Allah SWT menegaskan;


يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوٓا۟ ءَابَآءَكُمْ وَإِخْوَٰنَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ ٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْكُفْرَ عَلَى ٱلْإِيمَـٰنِ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ٢٣


 “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Q.S. al-Taubah: 23)


قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَـٰرَةٌۭ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَـٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍۢ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَـٰسِقِينَ

٢٤

 “Katakanlah: “Jika bapak-bapak , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S. al-Taubah: 24)


Kedua ayat tersebut menegaskan bahwa sikap seorang mukmin hendaklah lebih mencintai Allah dan rasul-Nya dan menta’at perintahnya daripada perintah selain Allah dan rasul-Nya, siapapun mereka dan jabatan apapun yang diraihnya.


Ta’at kepada Rasulullah


Kita ummat Islam dituntut untuk ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu mengikuti sunnah-nya, baik itu qauliyah (ucapan Nabi), fi’liyyah (perbuatan Nabi), atau taqrîriyyah (sikap Nabi). Tetapi sebelum menjelaskan sunnah Nabi, perlu dijelaskan dulu periodisasi Nabi, yaitu;


1.Dari usia 0 - 40 tahun adalah Muhammad bin ‘Abdullah belum menjadi nabi/calon nabi.

2.Dari usia 40 - 63 adalah Muhammad Rasulullah.

3.Usia 0 - 40 tahun, orang-orang Quraisy memberi gelar kepada nabi al-Amîn (orang yang sangat dipercaya). Sementara Allah menilai nabi;

 “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk (kepada Nabi).” (Q.S. al-Dhuhâ: 7)

4.Dari usia 40 - 63 Allah menilai Nabi Muhammad;


وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍۢ

٤

 “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (Q.S. al-Qalam: 4)


Sementara orang-orang Quraisy menilainya;


وَقَالُوا۟ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِى نُزِّلَ عَلَيْهِ ٱلذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌۭ ٦


…sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (Q.S. al-Hijr: 6)


Fungsi Alsunnah


Alsunnah dilihat dari sisi kandungan hukumnya terdapat beberapa fungsi, di antaranya:

  1. تَأْكِيْدًا لِمَا فِي الْقُرْآنِ (Penguat hukum-hukum yang telah ada dalam Alquran);

Seperti perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba, dan yang lainnya. Hukum-hukum masalah tersebut telah ada dalam Alquran dengan jelas dan tegas, tetapi dalam hadits pun banyak yang menerangkan hukum masalah-masalah tersebut.

Maka fungsi hadits ini ialah sebagai penguat apa yang ada dalam Alquran. Berarti masalah-masalah tersebut memiliki dua dasar hukum, yaitu Alquran sebagai penetap atau penentu hukum dan Alsunnah sebagai penguat atau pendukungnya.


2.بَيَانًا لِمَا فِي الْقُرْآنِ  (Penjelas terhadap apa-apa yang ada dalam Alquran);

Baik merupakan takhshîsh (pengecualian) terhadap ayat-ayat yang ‘âm (umum) atau taqyîd (pengikat) terhadap ayat-ayat yang muthlaq (pasti) atau bayân (penjelas) terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum). Ayat-ayat Alquran yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam Alsunnah.

Seperti perintah shalat yang terdapat dalam Alquran, yaitu ayat; أَقِيْمُوْا الصَّلَوةَ (dirikanlah shalat). Dalam prakteknya dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi, baik caranya, bacaannya, tempat dan berbagai persyaratan yang lainnya.

Di antaranya sabda Nabi SAW; صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى (shalatlah kalian seperti kalian melihat cara kami shalat). Demikian juga perintah haji yang terdapat dalam Alquran; أَتِمُّوْا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ (sempurnakan haji dan ‘umrah karena Allah).

Dalam prakteknya, pelaksanaan thawaf, sa’i, wuquf dan melontar jumrah dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi. Nabi SAW memerintahkan;


خُذُوْا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ. -رواه البيهقى-


Ambillah oleh kalian dariku tata cara manasik haji kamu.” (H.R. al-Baihaqi)


3.تَشْرِيْعًا مُسْتَقِلاًّ  (Syari’at yang berdiri sendiri);

Dalam hal ini Alsunnah berfungsi untuk menetapkan hukum atau syari’at yang tidak disebutkan atau disinggung-singgung dalam Alquran, seperti syari’at ‘aqiqah, sunnat rawatib atau cara mengurus jenazah. Semua itu terdapat dalam hadits-hadits Nabi yang shahih.

Syari’at-syari’at tersebut di atas dapat dilaksanakan walau tidak terdapat dalam Alquran karena pada dasarnya Nabi sendiri adalah Shâhib al-Syarî’at (penentu syari’at) seperti kenyataannya Nabi menikahi sembilan istri padahal Alquran hanya memerintahkan empat istri dan jika Nabi melanggar ketentuan Allah, pasti akan mendapatkan teguran dari Allah, seperti halnya Nabi pernah mengharamkan madu demi istrinya kemudian Allah langsung menegurnya dengan firman-Nya;


يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِى مَرْضَاتَ أَزْوَٰجِكَ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ ١


 “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. at-Tahrîm: 1)


Imam al-Bukhâri dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah meng-haramkan atas dirinya minum madu untuk menyenangkan hati istri-istrinya, maka turunlah ayat ini sebagai teguran kepada Nabi. Demikianlah menurut asbab nuzulnya.


Andai Alsunnah bertentangan dengan Alquran


Pada dasarnya tidak mungkin Alquran bertentangan dengan Alquran atau Alquran berten-tangan dengan hadits yang shahih atau hadits shahih bertentangan dengan hadits shahih yang lainnya. Karena pada hakikatnya Alquran dan hadits yang shahih adalah wahyu dari Allah, tetapi mungkin saja kita mendapatkan satu ayat Alquran tampaknya bertentangan dengan ayat yang lain atau hadits yang shahih bertentangan dengan ayat Alquran, seperti halnya;


إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ. -رواه مسلم-


Sesungguhnya mayyit akan disiksa dengan sebab tangisan keluarganya.” (H.R. Muslim)


Hadits ini menunjukkan, bahwa mayyit akan disiksa dengan sebab ditangisi oleh keluarganya, dengan kata lain, yang menangis keluarga mayyit dan yang disiksa adalah mayyit. Hadits ini secara sanad shahih karena bersumber dari dua shahabat Nabi, yaitu ‘Umar dan Ibnu ‘Umar dan diriwayatkan oleh Muslim.  Dalam hal ini ‘Aisyah menilai hadits ini bertentangan dengan Alquran, kemudian ‘Aisyah menyatakan;


إِنَّكُمْ لَتُحَدِّثُوْنَنِى عَنْ غَيْرِ كَاذِبَيْنِ وَلاَ مُكَذَّبَيْنِ وَلَكِنَّ السَّمْعَ يُخْطِئُ. -رواه مسلم-


Sesungguhnya kalian menceritakan (hadits itu) kepadaku bukan dari dua orang yang suka dusta atau tertuduh dusta tetapi bisa saja pendengaran yang salah.” (H.R. Muslim)


Kemudian ‘Aisyah menyatakan;


حَسْبُكُمْ الْقُرْآنَ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى.


Cukup bagi kamu Alquran, yaitu seseorang tidak akan dapat memikul dosa orang yang lain.”


Demikian juga hadits di bawah ini;


مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ. -متفق عليه-


Barangsiapa yang meninggal dan punya hutang shaum, maka shaumkanlah oleh walinya.” (H.R. al-Bukhâri dan Muslim)


Hadits ini menunjukkan bahwa wali (keluarga) mayyit hendaklah mempuasakan atau meng-qadha hutang shaum mayyit. Hadits ini shahih karena diriwayatkan oleh imam al-Bukhâri dan Muslim tetapi kalau memperhatikan ayat-ayat Alquran, ternyata banyak ayat-ayat Alquran yang menyatakan, bahwa seseorang tidak akan mendapatkan balasan dari amal orang lain, atau seseorang tidak akan dapat memikul atau membebaskan dosa orang lain, seperti ayat di bawah ini;


وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ٣٩


Tidak ada balasan bagi seseorang kecuali dari apa yang ia usahakan.” (Q.S. an-Najm : 39)


Jadikanlah Rasul sebagai uswah hasanah


لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌۭ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْـَٔاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًۭا ٢١


Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. al-Ahzâb: 21)


Ayat tersebut menjelaskan, bahwa barangsiapa yang mengharapkan ridha Allah, yakin akan hari akhir dan ingin berdzikir kepada Allah dengan banyak, maka jadikanlah Rasul sebagai uswah, baik dalam urusan ibadah, mu’amalah, munakahah, ataupun jinayat.


Rasul adalah sosok yang paling takut kepada Allah, paling taqwa kepada-Nya. Pernah ada seorang shahabat Nabi yang merencanakan untuk tahajjud setiap malam dengan tidak tidur, mau shaum sunnah setiap hari dan tidak akan batal, dan ada yang merencanakan untuk tidak menikah karena mau fokus ibadah kepada Allah, ternyata Nabi menegurnya dengan sabdanya: “Aku yang paling takut kepada Allah, paling taqwa kepada-Nya. Akupun suka tidur, suka shalat, suka shaum, suka batal, dan akupun beristri.” Dengan kata lain, tidak usah mencari cara-cara lain di luar yang telah dicontohkan oleh Nabi. Jangan berusaha untuk mengamalkan yang tidak diperintahkan oleh Nabi atau meninggalkan yang tidak dilarang oleh-Nya.


Ragam manusia dalam mengikuti Alsunnah


Alquran dan Alsunnah hendaklah dijadikan pedoman oleh seluruh ummat Islam dalam seluruh aspek kehidupan baik yang menyangkut ibadah ritual atau sosial. Alquran dan Alsunnah hendaklah kedua-duanya dipegang teguh, jangan dipilah-pilah. Kemudian berdalil dengan Alsunnah pun hendaklah selektif jangan asal hadits, tetapi hendaklah berdasarkan hadits-hadits yang shahih sesuai standar ilmu Musthalah Hadits. Tetapi dalam hal ini, ternyata masih terdapat kekeliruan di kalangan umat Islam, di antaranya;

  1. Ada yang hanya berpegang teguh kepada Alquran saja, dan tidak kepada sunnah Nabi, seperti aliran Inkar Sunnah, atau Pembaharu Isa Bugis atau yang menamakan dirinya Golongan Qurani. Akibatnya, di kalangan mereka tidak ada syari’at ‘aqiqah, shalat sunat rawatib, ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adha, karena semua itu tidak ada rujukannya dalam Alquran dan hanya berdasarkan hadits saja.
  2. Ada yang bepedoman kepada Alquran dan hadits, tetapi tidak selektif, apakah itu hadits shahih atau dha’if. Akibatnya, kadang hadits dha’if diamalkan bahkan hadits maudhu’ sekalipun.
  3. Ada yang bepedoman kepada Alquran dan hadits dengan selektif, tetapi menurut guru atau amirnya, seperti yang menerapkan metode manqûl, yaitu apa yang diterangkan lewat gurunya itu pasti shahih dan yang belum lewat gurunya ditolak walau itu hadits riwayat al-Bukhâri dan Muslim.

Oleh karena itu, mereka menutup diri dan tidak mau menerima kritik dari yang lain. Dalam hal ini, seharusnya kita umat Islam berpedoman kepada Alquran dan hadits dengan selektif, sesuai dengan standar ilmu Musthalah Hadits.



BACA JUGA:

Merdeka dari Hawa Nafsu, Manfaatkan Waktu untuk Ketaatan kepada Allah

Reporter: Redaksi Editor: Gicky Tamimi