Merdeka dari Hawa Nafsu, Manfaatkan Waktu untuk Ketaatan kepada Allah

oleh Taufik Ginanjar

17 Agustus 2025 | 19:48

Ilustrasi Merdeka dari Hawa Nafsu

Setiap tanggal 17 Agustus, seluruh rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan dengan penuh suka cita. Namun, di tengah gegap gempita perayaan itu, sudah jujurkah kita menjawab pertanyaan: apakah kita sudah benar-benar merdeka? Sebab kemerdekaan bukan hanya berarti terbebas dari penjajahan fisik. Yang lebih berat dan sering tidak terasa adalah penjajahan yang datang dari dalam diri kita sendiri—yakni hawa nafsu.


Di zaman sekarang, banyak orang merasa dirinya bebas menentukan pilihan hidup. Tapi yang sering terjadi justru sebaliknya: kita diperbudak oleh keinginan-keinginan yang tidak ada ujungnya. Tanpa disadari, banyak waktu terbuang begitu saja hanya karena mengikuti hawa nafsu. Berjam-jam terkuras untuk bersenang-senang, menghabiskan waktu di dunia maya, mengisi hari dengan sesuatu yang tidak membawa manfaat apa pun.


Anehnya, semua itu dilakukan tanpa rasa bersalah. Seakan-akan waktu hanyalah ruang kosong yang boleh diisi dengan apa saja, selama membuat kita merasa nyaman.


Padahal Ibnu Qayyim rahimahullah mengingatkan dengan sangat keras:

“إضاعة الوقت أشد من الموت، لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها”

Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya daripada kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutusmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutus dirimu dari dunia dan penghuninya (lihat Al-Fawā’id).


Menyia-nyiakan waktu bukan perkara sepele. Ia adalah bentuk penyakit ruhani yang dapat memisahkan kita dari Allah bahkan ketika kita masih hidup. Dan inilah bentuk hawa nafsu yang paling halus: kesenangan untuk membuang waktu, merasa santai saat meninggalkan kebaikan, serta terlena dalam kenyamanan yang tidak memberi apa-apa di akhirat nanti.


Di sisi lain, Imam Asy-Syafi’i mendefinisikan apa itu hakikat kebebasan:

“العبد من عبد الهوى، والحر من تحرر منه”

Hamba adalah orang yang diperbudak hawa nafsunya, sedangkan orang merdeka adalah yang terbebas dari (hawa nafsu)nya.


Artinya, kemerdekaan sejati adalah saat seseorang mampu mengendalikan hawa nafsunya—termasuk keinginan untuk membuang waktu. Waktunya diatur, fokusnya diarahkan, dan langkahnya dituntun oleh kesadaran bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju Allah.


Dan di sinilah kaitannya dengan doa Nabi Ibrahim عليه السلام dalam QS. Ibrahim: 35,

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku serta anak cucuku dari menyembah berhala.”


Zaman boleh berubah, tapi “berhala” tetap ada. Ia tidak selalu berupa patung. Hari ini, berhala bisa berupa hawa nafsu yang diam-diam dituruti dan ditaati. Dan selama hawa nafsu masih menjadi “tuhan” dalam diri setiap individu, maka negeri ini akan terus rapuh meskipun tampak aman secara fisik. Karena itu Nabi Ibrahim tidak hanya berdoa agar negerinya aman, tetapi juga agar dirinya dan keturunannya selamat dari penyembahan terhadap berhala. Sebab peradaban yang aman tidak akan lahir dari hati-hati yang terikat pada hawa nafsu.


Kita tidak hanya mewarisi kemerdekaan dari para pejuang terdahulu, tetapi juga bertugas meneruskan perjuangan membangun peradaban. Dan perjuangan itu tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang waktunya habis untuk hal sia-sia. Tidak bisa dilanjutkan oleh generasi yang merasa bangga dengan kebebasan, tetapi masih terkurung di penjara hawa nafsunya sendiri.


Belajar menahan nafsu untuk bersantai terlalu lama. Berani meninggalkan aktivitas yang tidak memberi manfaat. Menghidupkan kembali niat dalam setiap aktivitas agar waktu yang kita lalui benar-benar bernilai. Dari sinilah sebuah peradaban bisa tumbuh—berawal dari satu hati yang merdeka, satu waktu yang dimanfaatkan, lalu berkembang menjadi gerakan besar di tengah masyarakat.


Kemerdekaan yang sesungguhnya bukan ketika bendera berkibar, tapi ketika hati berhenti tunduk pada hawa nafsu dan waktu tidak lagi dibiarkan hilang tanpa makna. []

BACA JUGA: PERSIS Berharap Besar ke Prabowo dan Menlu yang baru Tetap Konsisten Perjuangkan Kemerdekaan Palestina
Reporter: Taufik Ginanjar Editor: Taufik Ginanjar