Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam
Rogifi Rogib Piddiin
Part IV
Hadis Sebagai Tasyrî‘ân Mustaqillân (Syariat yang berdiri sendiri)
Menetapkan sesuatu hukum dalam hadis yang secara jelas tidak ada dalam Alquran. Fungsi hadis dalam bentuk ini dikenal dengan istiah itsbât atau hadis sebagai tasyrî‘ân mustaqillân (hukum yang berdiri sendiri). Contohnya sebagai berikut:
1.Syariat memulasara jenazah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، جَمِيعًا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ - لَعَلَّهُ قَالَ - تُقَدِّمُونَهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ تَكُنْ غَيْرَ ذَلِكَ، فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ.
Abû Bakr ibn Abî Syaibah dan Zuhair ibn Harb telah menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibn ‘Uyainah, Abû Bakr berkata: Sufyân ibn ‘Uyainah telah menceritakan kepada kami dari al-Zuhriy, dari Sa‘îd, dari Abi Hurairah, dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam ia bersabda: segerakanlah dalam penguburan jenazah, jika keadaannya orang shalih, maka itu lebih baik, bisa jadi maksud dari ucapannya: segerakanlah mengantarkannya kepada kebaikan, dan jika tidak termasuk shalih, maka berarti kalian mempercepat meletakkan keburukan dari pundak-pundak kalian. (Muslim ibn al-Ḥajjāj, n.d.)
2.Mengucapkan Hamdalah saat mendapat musibah
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ، قَالَ: دَفَنْتُ ابْنِي سِنَانًا، وَأَبُو طَلْحَةَ الخَوْلاَنِيُّ جَالِسٌ عَلَى شَفِيرِ القَبْرِ، فَلَمَّا أَرَدْتُ الخُرُوجَ أَخَذَ بِيَدِي، فَقَالَ: أَلاَ أُبَشِّرُكَ يَا أَبَا سِنَانٍ؟ قُلْتُ: بَلَى، فَقَالَ: حَدَّثَنِي الضَّحَّاكُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَرْزَبٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلاَئِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ.
Suwaid ibn Nashr telah menceritakan kepada kami, ia berkata: ‘Abdullâh ibn al-Mubârak telah menceritakan kepada kami, dari Hammâd ibn Salamah, dari Abî Sinân, ia berkata: aku menguburkan anakku; Sinân, sedangkan Abû Thalhah duduk di dekat kuburannya tersebut, maka tatkala aku hendak naik, yaitu keluar dari liang kubur, ia menarik tanganku sambil mengucapkan: bolehkan aku memberikan kabar gembira kepadamu wahai Abî Sinân? Aku menjawab: ya. Maka Abu Thalhah berkata, al-Dhahhâk ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Arzab telah menceritakan kepadaku dari Abî Mûsâ al-‘Asy‘ariy: bahwasanya Rasulullâh Shallâhu ‘alahi wa sallam bersabda: Apabila seorang anak hamba meninggal, maka Allah menginterogasi kepada para malaikatnya: apakah engkau telah mencabut anak hambaku? Mereka mengatakan: Ya. Maka Allah kembali bertanya: Apakah benar engkau telah mencabut nyawa buah hatinya? Mereka mengatakan: Ya. Maka Allah bertanya kembali: Apa yang dikatakan oleh hambaku itu? Mereka para malaikat mengatakan: ia memunjimu (mengucapkan Alhamdulillah) dan istirja‘ (mengucapkan kalimat innâ lillâhi wa innâ ilahi râji‘ûn). Maka Allah berfirman: bangunkanlah bagi hambaku itu Istana di Surga dan berilah nama istana tersebut dengan Istana Al-Hamdu”. (Abū ‘Īsā al-Tirmiżī, 1998)
Pada prinsipnya hadis Nabi yang berfungsi sebagai penjelas (bayân) terhadap Alquran. Akan tetapi dalam melihat berbagai macam penjelasan Nabi dan berbagai ragam ketentuan yang dikandung oleh satu ayat, maka interpretasi tentang bayân tersebut oleh ulama yang satu berbeda dengan ulama lainnya. Sebagai contoh, Abû Hanîfah mengklasifikasikan bayan hadis tersebut menjadi: bayân taqrîr, bayân tafsîr dan bayân tafdhîl (nasakh); Imam Malik membagi menjadi: bayân taqrîr, bayân taudhîh (tafsir), bayân tafshîl, bayân basthi (ta’wîl) dan bayân tasyrî‘; Imam Syâfi‘iy mengkategorikannya menjadi: bayân tafshîl, bayân takhshîsh, bayân ta‘yîn, bayân tasyrî‘ dan bayân naskh. (Endang Soetari AD., 2000).
Dengan adanya hadis, hukum Islam menjadi sempurna dan syumûl (menyeluruh), karena Alquran akan lebih jelas dan gamblang dalam pengamalannya, sehingga dapat diaplikasikan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dari aspek ibadah ritual atau pun sosialnya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemaparan di atas, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwasanya hadis itu memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap agama Islam, khususnya masalah hukum (fiqh). Mulai dari menjelaskan dan menegaskan segala syariat yang ada dalam Alquran hingga syariat yang hanya terdapat dalam hadis saja (tasyrî‘ân mustaqillân). Alquran akan selalu membutuhkan intervensi hadis dalam menyimpulkan suau ketetapan syariat dari Allah Subhânahu wa ta'âla, khususnya terkait dengan masalah hukum (fiqh). Maka dengan adanya hadis, Islam menjadi sempurna, karena Alquran wahyu Allah yang dibacakan secara langsung kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam melalui malaikat Jibril akan mampu untuk diaplikasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan, khususnya dalam masalah ibadah dan muamalah umat muslim sehari-hari.
Daftar Pustaka
A. Zakaria. (2011). Makna Kembali Kepada Alquran & AsSunnah (1st ed.). IBN Azka Press.
‘Abd al-Wahhāb Khallāf. (1942). ‘Ilm Uṣūl Fiqh. Maktabah al-Da‘wah al-Islāmiyyah.
Abū ‘Abdillāh al-Ḥākim. (1990). al-Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥain (Vol. 1). Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Abū al-Fidā Ismā‘īl ibn Kaṡīr. (1999). Tafsīr al-Qur`ān al-‘Aẓīm. Dār al-Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tauzī‘.
Abū Dāwud Sulaimān al-Sijistānī. (n.d.). Sunan Abū Dāwud. Maktabah al-‘Aṣriyyah.
Abū ‘Īsā al-Tirmiżī. (1998). Sunan al-Tirmiżī . Dār al-Ġurb.
Abū Muḥammad ‘Abdullāh ibn ‘Abd al-Raḥman al-Dārimī. (2000). Sunan al-Dārimī (1st ed., Vol. 1). al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘ūdiyyah.
Abu Yasid. (2011). Hubungan Simbiotik Alquran Dan al-Hadits Dalam Membentuk Diktum-Diktum Hukum. Jurnal Tsaqafah , 7(1).
Endang Soetari AD. (2000). Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah (1st ed.). Amal Bakti.
Ḥasan al-Zuhairī al-Miṣrī. (n.d.). Daurah Tadrībiyyah fī Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ (3rd ed., Vol. 3). Durūs Ṣūṭiyyah al-Shabkah al-Islāmiyyah.
Idri dkk. (2021). Studi Hadis (1st ed.). UIN Sunan Ampel.
Mālik ibn Anas. (1985). Muwaṭṭa` al-Imām Mālik (Vol. 2). Dār Iḥyā` al-Turāṡ.
Muḥammad ‘Ajjāj al-Khaṭīb. (1427). Uṣūl al-Ḥadīṡ ‘Ulūmuhu wa Muṣtalāḥuhu. Dār al-Fikr.
Muhammad Ali dan Didik Himmawan. (2019). Peran Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama, Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits Dan Fungsi Hadits Terhadap Alquran. Risâlah: Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, 5(1).
Muḥammad al-Ṣabbaġ. (1981). al-Ḥadīṡ al-Nabawī. al-Maktabah al-Islāmiyyah.
Muḥammad al-Sakhāwī. (2003). Fatḥ al-Muġīṡ bi Sharḥ Alfiyyah al-Ḥadīṡ al-‘Irāqī (Vol. 1). Maktabah al-Sunnah.
Muḥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abdillāh al-Bukhāriy al-Ju‘fiy. (1422). Ṣaḥīḥ al-Bukhāriy (Vol. 6). Dār al-Ṭūq al-Najāḥ.
Muḥammad Maḥfūẓ al-Tarmasī. (1435). Manhaj Żawī al-Naẓār fī Sharḥ Manẓūmah ‘Ilm al-Aṡar (1st ed.). Dār Ibn Kaṡīr.
Muslim ibn al-Ḥajjāj. (n.d.). Ṣaḥīḥ Muslim. Dār al-Turāṡ al-‘Arabiy.
Muṣṭafā al-Marāġī. (1946). Tafsīr al-Marāġī (1st ed., Vol. 14). Maktabah Muṣṭafā al-Bābī.
BACA JUGA:Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam (PART 03)