Sekilas permasalahan haji tahun 1445 H, kebijakan keamanan Saudi melarang kursi roda masuk ke jamarat. Jika benar-benar kursi roda tidak ada celah untuk masuk ke jamarat, maka perlu solusi hukum untuk jumrah bagi jama'ah-jama’ah udzur yang harus memakai kursi roda. Bagaimanakah solusi syar’inya?
Jawaban:
Ibadah haji seperti shalat merupakan ibadah badaniyah walaupun ada unsur maaliyah-nya. Dalam ibadah haji ada amalan yang hukumnya wajib seperti thawaf ifadah, dan adapula amalan yang hukumnya sunnat seperti membaca doa saat melihat Ka’bah.
Melontar jumrah tanggal 10, 11, dan 12 hukumnya wajib. Melontar jumrah terikat oleh waktu yaitu sejak terbit matahari sampai terbenam matahari, utamanya waktu Duha untuk tanggal 10 Dzul Hijjah, dan setelah tergelincir matahari sampai terbenam matahari untuk hari Tasyrik (11, 12 dan 13 Dzul Hijjah). dan tempat yaitu Jamarat Mina.
عَنْ جَابِرٍ ض أَنَّ رَسُولَ اللهِ ص رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى وَرَمَى فِي سَائِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ بَعْدَمَا زَالَتْ الشَّمْسُ.
Dari Jabir ra ia berkata: “ Rasulullaah saw melontar Jumrah Aqabah pada hari Nahar (tanggal 10 Dzul Hijjah) pada waktu Dluha, dan Ia melontar pada seluruh hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah) setelah tergelincir matahari. (Al-Bukhari, no: 1745, Muslim, no: 1299, Ahmad, no: 15291)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَمَيْتُمْ الْجَمْرَةَ فَقَدْ حَلَّ لَكُمْ كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا النِّسَاءَ فَقَالَ رَجُلٌ وَالطِّيبُ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَمَّا أَنَا فَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَمِّخُ رَأْسَهُ بِالْمِسْكِ أَفَطِيبٌ ذَاكَ أَمْ لَا
dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian telah melempar jumrah maka telah halal bagi kalian semuanya kecuali wanita." Seseorang bertanya; "Wewangian juga?" Ibnu 'Abbas berkata; "aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminyaki rambutnya dengan misik, tapi apakah itu termasuk wewangian atau tidak." (HR. Ahmad)
Saat melontar jumrah bagi jamaah yang udzur tidak terlarang sambil mengendarai kendaraan (kursi roda) atau digendong oleh jamaah lainnya. Sebagaimana Nabi saw yang berkendaraan saat melontar jumrah karena ada keperluan untuk ta’lim. Dan ada sahabat yang menggendong ibunya saat haji.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ض يَقُولُ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ص يَرْمِى عَلَى رَاحِلَتِهِ يَوْمَ النَّحْرِ، يَقُولُ: لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ.
Dari Jabir bin Abdullaah ra ia berkata: Aku melihat Rasulullaah saw melontar (Jumrah Aqabah) pada hari Nahar, Ia bersabda: “Hendaklah kalian mengambil (dariku) cara manasik kalian, karena aku tidak tahu, mungkin aku tidak berhaji lagi setelah tahun ini.” (HR. Muslim, no: 1296, Abu Dawud, no: 1972, Ahmad, no: 14419)
Bagi jama’ah yang udzur diperbolehkan melakukan jamak jumrah sebagaimana hadits berikut:
عَنْ عَاصِمِ بْنِ عَدِيٍّ ض أَنَّ رَسُولَ اللهِ ص رَخَّصَ لِرِعَاءِ الْإِبِلِ فِي الْبَيْتُوتَةِ عَنْ مِنًى يَرْمُونَ يَوْمَ النَّحْرِ ثُمَّ يَرْمُونَ الْغَدَ أَوْ مِنْ بَعْدِ الْغَدِ الْيَوْمَيْنِ ثُمَّ يَرْمُونَ يَوْمَ النَّفْرِ.
Dari ‘Ashim bin ‘Adi ra ia berkata: Rasulullaah saw memberi rukhsah (kelonggaran) bagi penggembala unta untuk tidak mabit di Mina, mereka melontar pada hari Nahar (tanggal 10 Dzul Hijjah), lalu melempar untuk esoknya (11 Dzul Hijjah) dan untuk setelah esok / lusa (12 Dzul Hijjah) dua hari (langsung), lalu melempar untuk hari Nafar (13 Dzul Hijjah). “ (HR. Ahmad, no: 23775, Abu Dawud, no: 1977)
Bagi jama’ah yang sakit atau udzur dan sudah berusaha semaksimal mungkin namun tetap tidak dapat ke Jamarat untuk melontar jumrah, maka hajinya sah. Berdasarkan hadis berikut:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ مُضَرِّسِ بْنِ أَوْسِ بْنِ حَارِثَةَ بْنِ لَامٍ الطَّائِيِّ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُزْدَلِفَةِ حِينَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي جِئْتُ مِنْ جَبَلَيْ طَيِّئٍ أَكْلَلْتُ رَاحِلَتِي وَ أَتْعَبْتُ نَفْسِي وَ اللَّهِ مَا تَرَكْتُ مِنْ حَبْلٍ إِلَّا وَ قَفْتُ عَلَيْهِ فَهَلْ لِي مِنْ حَجٍّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَهِدَ صَلَاتَنَا هَذِهِ وَ وَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَ قَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَقَدْ أَتَمَّ حَجَّهُ وَ قَضَى تَفَثَهُ
Dari Urwah bin Mudlarris bin Aus bin Haritsah bin Laam Al Thai Ra, ia berkata; "Aku menemui Rasulullah Saw di Muzdalifah ketika beliau hendak shalat(Shubuh). Aku berkata; 'Wahai Rasulullah, saya datang dari dua gunung Thayyi`. Hewan tungganganku lemah dan diriku merasa letih. Demi Allah, tidak ada gunung pasir kecuali aku berhenti di sana. Apakah hajiku sah? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab; 'Barangsiapa yang shalat (Shubuh) bersama kami, dan berhenti bersama kami (mabit di Muzdalifah) hingga selesai dan sebelum itu dia wuquf di Arafah baik malam maupun siang maka hajinya telah sempurna serta telah melaksanakan seluruh manasik'." (HR. At-Tirmidzi)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَسَأَلُوهُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى: الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ. أَيَّامُ مِنًى ثَلاَثَةٌ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِى يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ.
Dari Abdurrahman bin Ya’mar Addayli Ra, bahwa orang-orang dari penduduk Najd mendatangi Rasulullah Saw. Saat itu beliau di Arafah, lalu mereka bertanya kepada beliau, lalu beliau menyuruh penyeru agar berseru (mengumumkan), “Haji itu adalah Arafah; Siapa yang datang pada malam Jam’in (malam kesepuluh Dzulhijjah di Muzdalifah) sebelum terbit fajar, maka sungguh ia telah mendapatkan haji. Hari-hari Mina itu tiga hari; siapa yang meninggalkan Mina setelah dua hari (tanggal 12 Dzulhijjah), maka tidak ada dosa baginya. Siapa yang mengakhirkan (berdiam lagi di Mina sampai tanggal 13 Dzulhijjah) maka tidak ada dosa baginya. (HR. At-Tirmidzi)
Kesimpulan:
- Di antara pekerjaan haji tanggal 10 Dzul hijjah; jumrah ‘aqabah, tahallul, hadyu, dan thawaf ifadhah boleh mendahulukan yang mana saja sesuai dengan kemudahannya;
- Melontar Jumrah tanggal 10, 11, 12 hukumnya wajib dan tidak dibenarkan untuk ditinggalkan tanpa alasan syar’i;
- Bila tidak dapat melaksanakan jumrah pada tanggal 10, 11, dan 12, boleh dijama pada tanggal 13 Dzul Hijjah;
- Bagi yang tidak dapat melakukan melontar Jumrah karena alasan sakit atau uzur tidak dapat dibadalkan (diwakilkan) dan tidak ada kifarat apapun;
- Bagi yang sakit atau uzur setelah diikhtiarkan secara optimal dan maksimal dengan menggunakan kursi roda lalu dihalangi dan tidak dapat masuk Jamarat maka hajinya tetap sah.
BACA JUGA: Info Haji 2024: Cita Rasa Nusantara Akan Menjadi Menu Makanan Setiap Hari Jemaah Haji Indonesia