Oleh: Dr. H. Jeje Zaenudin
Ahad, 3 April 2021, Disela-sela pelaksanaan Musykernas PP. PERSIS di Bandung, penulis diberi kesempatan menyampaikan sharing bagaimana pandangan dan kesan penulis atas peluncuran buku biografi Al-Ustadz Aceng, buah karya saudara Pepen Irfan Fauzi, kandidat Doktor pada Sekolah Pasca Sarjan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sharing yang disampaikan secara virtual melalui zoom meeting itu tentu sangatlah singkat dan terbatas. Sebab itu, penulis merasa perlu menuangkannya dalam tulisan yang sederhana ini sebagai apresiasi atas kerja keras Kang Pepen dan teman-teman, dan semoga dapat memberi informasi bagi yang tidak sempat bergabung dalam acara Launching yang dilakukan secara virtual itu.
Awal penulis mengenal Al Ustaz Aceng Zakaria (semoga Allah senantiasa menjaga beliau dan memberi manfaat kepada umat dengan ilmu-ilmunya) sekitar akhir tahun delapan puluhan ketika penulis nyantri di Pondok Pesantren Persatuan Islam No.67 Benda-Tasikmalaya antara tahun 1987 sampai 1991. Salah satu materi pelajaran yang diajarkan di pesantren adalah tentang masalah-masalah fikih yang diperselisihkan. Buku ajarnya adalah kitab berbahasa Arab yang masih berupa diktat karya Al Ustaz Aceng Zakaria dengan judul “Al Hidâyah fî masâil fiqhi mutaâridhah”. Dari karya itu penulis berkenalan dengan nama dan pemikiran beliau.
Karya beliau itu bagi penulis yang waktu itu masih santri pemula memberi kesan mendalam bahwa beliau adalah sosok ustadz yang alim dan terbuka dengan referensi bacaan yang cukup luas. Sebab dalam kitab tersebut kasus-kasus fikih yang menjadi amaliah keseharian dan memiliki varian praktik pengamalan di tengah umat Islam yang berbeda-beda dikemukakan satu persatu lengkap dengan dalil dan metode berargumen masing-masing mazhab yang dikutip dari kitab-kitab rujukannya kemudian beliau melakukan pentarjihan mana dalil dan pendapat yang lebih kuat untuk diambil dan diamalkan. Sebagai landasan penyatuan manhaj berfikirnya, pada mukaddimah kitabnya itu, Al Ustadz Aceng Zakaria memberi beberapa pasal pengantar seperti definisi Islam, Kaidah Bid’ah dan Maslahat Mursalah, Kewajiban Berpegang Teguh kepada Kitab dan Sunnah, tentang macam-macam hadits shahih-hasan-dhaif dan hukum pengamalannya, tentang ijtihad-ittiba’-dan taqlid, serta metode penyelesaian dalil-dalil yang bertentangan.
Interaksi penulis dengan Al Ustadz berikutnya adalah pada masa kuliah 1991-1995. Al Ustadz Aceng sering diundang dalam forum diskusi, dialog, maupun pengajian oleh Pemuda Persatuan Islam Jakarta di mana penulis sendiri menjadi salah seorang pimpinan dari mulai cabang, daerah, hingga pimpinan wilayah Pemuda Persis di DKI Jakarta. Demikian juga interaksi melalui forum-forum kepesantrenan antara tahun 1996 hingga 2005 dimana penulis menjadi salah seorang pimpinan di Pesantren Persatuan Islam 69 Jakarta Timur sedang Al Ustadz sebagai pimpinan di Majelis Tarbiyah PP. PERSIS yang membina pendidikan pesantren-pesantren yang di berada dalam Jam’iyah Persatuan Islam (PERSIS).
Pertemuan semakin sering ketika Penulis dimanahi menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda PERSIS tahun 2005-2010 dan Al Ustadz sebagai salah seorang Tasykil Pimpinan Pusat PERSIS. Demikian pula pada periode 2010-2015 Al Ustaz menjadi Ketua Bidang Tarbiyah PP. PERSIS dan penulis sebagai Ketua Bidang Garapan Pengembangan Dakwah dan Kajian Pemikiran. Kemudian ketika Muktamar PERSIS ke XV Tahun 2015 Al Ustadz diamanahi menakhodai Bahtera Jamiyah PERSIS sebagai Ketua Umum, kemudian beliau meminta penulis untuk mendampingi kepemimpinan beliau, sungguh suatu yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Perasaan yang berat berkecamuk dalam hati penulis karena kekhawatiran tidak mampu memenuhi ekspektasi beliau dalam menjalankan amanah yang besar ini, tetapi sekaligus juga suatu kegembiraan karena suatu kehormatan untuk berkhidmat kepada guru dan dapat bermulazamah secara lebih insten lagi dalam meneladani ketawadhuan dan keilmuan beliau.
Dari sekian banyak petuah yang mengesankan penulis adalah bahwa dalam nasihat beliau sering mengingatkan tentang peran ulama di tengah kehidupan umat dan bangsanya. Dengan menyitir bait sajak Imam Sufyan Tsauri yang diriwayatkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin,
يا معشر العلماء يا ملح البلد ما يصلح الملح إذا الملح فسد؟
“Wahai segenap para ulama, wahai garamnya negara! Apa yang bisa memperbaiki garam jika garamnya itu sendiri yang rusak”.
Al Ustaz Aceng menjelaskan peran penting dari garam yang sering disepelekan dan dikesampingkan dengan gaya sederhana dan humoris. “Garam itu”, kata beliau, “barang yang amat murah dan mudah didapat. Tidak ada orang mengukur kekayaan dengan garam. Bahkan jika seorang ibu rumah tangga kehabisan garam di rumahnya pada saat sedang masak atau membuat sambal, tidak akan malu meminta garam kepada tetangga sebelahnya. Tetapi dalam saat bersamaan orang tidak dapat mengingkari arti penting garam sebagai penyedap rasa yang paling utama”. “Di tengah masyarakat, peran penting ulama sering diperlakukan seperti garam yang murah dan mudah di dapat. Seakan ulama dicari dan dibutuhkan hanya ketika ada orang lahiran, akikahan, khitanan, pernikahan, atau kematian, untuk memberi ceramah, nasihat, hingga memimpin doa”.
Filosofi “garam” sebagai personifikasi ulama dalam menjalankan peran dan tanggungjawabnya di tengah-tengah kehidupan umat manusia memang sangat mendalam. Garam itu sendiri diproduksi oleh alam dari dasar lautan. Namun untuk mendapatkan garam, seseorang tidak mesti harus menyelam ke dasar lautan. Kedalaman lautan sering digambarkan sebagai kedalaman ilmu. Ilmu para ulama dengan mudah dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Para ulama itu memang harus menjadi “garam” kehidupan umat dan negara. Garam itu dibutuhkan “rasa” nya bukan warna bentuk dan penampilannya. Keberhasilan, kemuliaan, dan keagungan ulama adalah seberapa besar ia memberi rasa kepada kehidupan masyarakat dan negara dengan ilmu dan akhlaknya, bukan dengan penampilan dan kesohorannya. Keulamaan tidak diukur dengan sederet gelar akademik, tidak juga dengan jabatan dan kedudukan serta karir atau status sosial yang disandangnya. Melainkan dengan keberhasilan membangun cita-rasa kehidupan umat dengan keberkahan ilmunya.
Kelezatan garam adalah soal rasa, bukan soal rupa atau warna. Bahkan untuk menyempurnakan rasa, garam itu siap melebur dan meniadakan bentuk maupun rupa dirinya. Kesadaran tentang rasa itu sangatlah penting. Seorang ulama bukanlah orang yang “merasa pandai”, “merasa pintar”, atau “merasa berjasa”. Melainkan seorang yang “pandai merasa” apa yang dirasakan umatnya, dan umat merasakan manfaat dari kepandaian ilmu para ulamanya.
Dalam filosofi ini, Al Ustaz Aceng telah memosisikan dan memerankan pribadi beliau benar-benar laksana garam. Beliau telah memberi rasa kepada umat pengikutnya dengan banyak karya ilmu dan amal salehnya dengan tanpa harus menjadi orang yang tersohor. Beliau ulama yang tidak pernah merasa pandai dan pintar, melainkan ulama yang pandai merasa apa yang dibutuhkan umat dan jamaahnya.