Bonus Demografi dan Janji Kemerdekaan yang Belum Selesai

oleh -

20 Agustus 2025 | 17:27

Zaeni Abdul Rahim

Ketika Gagal Dipanen


Bonus demografi bukan sekadar peluang statistik. Ia adalah ujian sejarah, apakah suatu bangsa mampu membuktikan dirinya layak untuk maju, atau justru tergelincir jebakan stagnasi.


Sejarah dunia telah mencatat bahwa tidak semua negara yang diberi peluang emas ini berhasil memanfaatkannya. Bahkan, sebagian besar justru tersandung oleh kegagalan mempersiapkan fondasi manusianya.


Ambil contoh Venezuela, yang pada dekade 1980-an memasuki fase bonus demografi dengan populasi usia muda yang dominan. Alih-alih tumbuh menjadi kekuatan ekonomi, negara itu terjerumus dalam krisis multidimensi karena politik populis, korupsi sistemik, dan pengabaian pembangunan sumber daya manusia.


Begitu pula dengan Nigeria, negara berpenduduk besar yang kini menghadapi ledakan pengangguran muda, urbanisasi tanpa arah, serta meningkatnya ekstremisme akibat frustrasi sosial. Mesir, meskipun memiliki bonus demografi besar, kini menghadapi lonjakan pengangguran sarjana karena sistem pendidikan yang tidak relevan dengan dunia kerja.


Semua kegagalan itu mengandung satu benang merah: ketika bonus demografi dibiarkan menjadi angka statistik tanpa strategi nasional yang terukur, ia akan berbalik menjadi beban sejarah.


Indonesia kini berada di persimpangan serupa. Di atas kertas, kita memiliki lebih dari 196 juta penduduk usia produktif. Namun, tanda-tanda bahaya mulai terlihat jelas. Data BPS (2024) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka tertinggi justru terjadi di kelompok usia 15–24 tahun, dengan persentase yang dua kali lipat dari angka nasional. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, ini adalah potret kegagalan sistem pendidikan dan ketenagakerjaan kita dalam menyiapkan generasi yang siap berkontribusi.


Tingkat korupsi yang masih tinggi di Indonesia, menjadi sumber penghambat. Praktik korupsi semakin menjadi diberbagai sektor kehidupan, dari pendidikan, kesehatan, hingga bantuan sosial.


Nilainya pun bukan lagi miliaran, tetapi telah menyentuh angka ratusan triliun rupiah. Ironisnya selama satu dekade terakhir, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan kemacetan yang mengkhawatirkan.


Skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) stagnan di kisaran 32–34, menandakan minimnya perbaikan dalam tata kelola publik. Kesenjangan ini beresiko tergerusnya bonus demografi Indonesia. Energi produktif anak muda tak akan maksimal jika dana pendidikan bocor, peluang kerja tak adil, dan institusi tak dipercaya.


Di sisi lain, mayoritas pemuda bekerja di sektor informal, yang artinya tak ada jaminan kesejahteraan, kepastian penghasilan, dan minim perlindungan sosial.


Mereka sering kali bukan tak ingin berkontribusi, melainkan tak diberi kesempatan. Pendidikan yang mereka tempuh tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, Skills mismatch dan ruang tumbuh bagi mereka pun terbatas.


Kondisi ini bisa menimbulkan frustrasi massal yang diam-diam menggerogoti stabilitas sosial. Ketika anak muda kehilangan arah dan merasa ditinggalkan, potensi menyimpang dari arus utama pembangunan menjadi lebih besar.


Mereka bisa tergoda pada tindakan ekstrem yang merugikan banyak unsur. Risiko gagal mengelola bonus demografi, bisa berbalik menjadi sumber keresahan, ketimpangan dan keterpurukan.

BACA JUGA:

Makna Kemerdekaan Indonesia di Usia 80 Tahun dan Refleksi Usia Emas Lembaga Pendidikan

Reporter: - Editor: Fia Afifah Rahmah