Dakwah Kita, Antara Cita dan Realita.

oleh Reporter

28 Mei 2020 | 14:38

DAKWAH KITA, ANTARA CITA DAN REALITA

Dr. KH. Jeje Zaenudin - Wakil Ketua Umum PP Persis

Pembuka

            Tidak ada misi yang lebih suci dan tinggi dalam pandangan Islam selain misi dakwah, dan tidak ada perkataan yang paling mulia melainkan perkataan yang diserukan para juru dakwah ilallah. Misi inilah yang Allah amanahkan kepada umat nabi Muhamamd. Dan spirit keyakinan inilah yang mengilhami banyaknya lembaga dakwah di tengah umat. Karena hanya dengan dakwah yang benar itulah Allah janjikan umat ini akan mencapai kejayaan dan kemuliaannya di dunia dan akhirat.

            Sudah lebih dari seribu empat ratus tahun lamanya perjalanan dakwah yang diemban umat ini. Kejayaan dan keruntuhan pun telah berulangkali timbul tenggelam di pentas sejarah planet bumi ini. Kita sekarang berada di abad ke lima belas hijriah yang sudah dicanangkan sebagai abad kebangkitan kembali kejayaan Islam.

            Sudah banyak kemajuan yang dialami umat Islam di banding abad-abad sebelumnya. Namun masih banyak juga ketertinggalan dari kemajuan umat dan bangsa lain yang terkadang memusuhi Islam. Menurut lembaga penelitian populasi agama di dunia, Pew Research Center yang bermarkas di Amerika,  secara kuantitatif jumlah umat Islam di dunia masih jauh dibanding dengan Kristen dan bahkan di banding penganut ateis. Dari jumlah penduduk bumi yang diprediksi lebih dari tujuh miliar, pemeluk Islam diperkirakan baru sekitar satu koma tujuh miliar.

Sementara secara kualitatif kemajuan kehidupun, mayoritas negeri muslim masih banyak yang miskin dan merupakan negara berkembang yang secara ekonomi mapun ilmu pengetahuan menjadi pasar terbesar bagi produk industri sain dan teknologi negara-negara non muslim. Apalagi di bidang ideologi dan kekuatan militer senantiasa menjadi pengekor kekuatan blok kapitalis dan sosialis-komunis.

Di dalam negeri kita sendiri, Negara Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar penduduknya, yang diharapkan menjadi salah satu negara lokomotif kebangkitan kejayaan umat Islam masa depan, fenomena dan realitas dakwah kita seperti membahagiakan tetapi dalam saat yang bersamaan sangat memprihatinkan. Dakwah kita menampakkan suatu fenomena yang menggambarkan masih terjadinya kontradiski-kontradiksi, ironi-ironi, dan paradoks-paradoks antara cita-cita, idealita, dan norma-norma dakwah yang agung dengan fakta-fakta realita kehidupan umat di segala bidang.

Sebagai gambaran sederhana untuk menjadi bahan renungan, introspeksi dan evaluasi dakwah kita serta menjadi referensi untuk merumuskan langkah-langkah strategis dakwah kita ke depan, saya ingin mencontohkan beberapa fenomena yang lahir dari situasi kontradiksi dan paradoks maupun ironi-ironi pada lapangan dakwah kita itu.     

Pertama. Klaim kesempurnaan dan fakta kekurangan.

Dalil yang paling populer di mulut kita sebagai para pendakwah dan yang paling laku di tengah para pengikut dakwah pastilah ayat Quran yang menerangkan kesempurnaan Islam. “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Aku tamatkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah rido Islam sebagai Agama kalian..” (Al Maidah: 3)

Seringkali kita menegaskan bahwa kesempurnaan ajaran Islam itu meliputi aspek aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Muamalah dan akhlak itu mencakup bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, individu, keluarga, masyarakat, berbangsa, bernegara, berdunia dan bahkan cara beralam semesta. Itu semua adalah klaim kesempurnaan dan memang sudah pasti benarnya. Namun yang sering kita lupakan adalah dalam tataran pembuktian dan faktanya. Apa fakta dari pengakuan kesempurnaan Islam itu dalam wujud nyata kehidupan masyarakat kita sebagai muslim? Karena Al-Quran sendiri tidak hanya memerintahkan kita untuk mendakwahkan kesempurnaan Islam, tetapi juga memerintahkan kita untuk menyatakan, “… Saksikanlah bahwa kami ini adalah kaum muslimin!”

Fatktanya, dakwah kita sebagian besarnya masih berputar-putar di wilayah aqidah ke ibadah ritual. Kemudian sibuk dengan perdebatan tentang aspek cabang teologis dan cabang -cabang fikih Islam, yang ironisnya sering berakhir dengan pernyataan fonis dan menghukumi kepada sesama muslim yang berbeda pemahaman.

Fakta kehidupan muslim saat ini lebih banyak bertolak belakangnya dengan klaim dan keyakinan yang benar tentang kesempurnaan ajaran Islam yang kita anut. Dari demikian luasnya aspek kehidupan kita yang dicakup ajaran Islam nyatanya kita masih sangat minim -untuk tidak dikatakan hampir tidak ada- konsep yang jelas apalagi teori dan karya nyata tentang kesempurnaan dan keunggulan Islam di bidang yang lainnya semisal pendidikan, ekonomi, politik, hukum, apalagi bidang sain dan teknologi yang berdasarkan Al-Quran dan Hadits.

Tata kelola dunia pendidikan, teori dan penerapan sain-teknologi, sistem ekonomi, apalagi tatakelola negara, hukum dan politik dunia Islam kita, semuanya atau sebagian besarnya hanyalah menjiplak atau paling baik memodifikasi dari hasil dan karya ilmuan-ilmuan kafir barat maupun timur. Sementara dalam dakwah kita terus menerus dalam tataran slogan, klaim, dan retorika kesempurnaan Islam sambil mengabaikan kontradiksi dengan kanyataan di lapangannya yang penuh “kecacatan”, kekurangan, dan kelemahan.

Kita menyadari bahwa dakwah kita nyatanya banyak sekali dipenuhi kekurang mampuan dalam mambangun kehidupan individu yang unggul, kelemahan dalam membangun keluarganya, kelemahan dalam membangun sistem sosial kemasyarakatannya, lemah dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegaranya, demikian juga kekurang mampuan dalam membangun keseimbangan universal dengan alam semesta sebagaimana yang dipesankan oleh Islam.

Kekurangan dan kelemahan semua itu tentu saja bukan karena klaim kesempurnaan Islamnya yang tidak benar, sekali lagi bukan terletak pada Islamnya, melainkan karena kekurangan dan kelemahan dakwah kita yang justru bertolak belakang dengan klaim kita sendiri. Tidak ada yang mengingkari tentang pentingnya aspek Aqidah dan Fikih Ibadah dalam Islam, tetapi bukan untuk menjastifikasi atau mendalili diri sendiri apalagi untuk menutupi kecacatan dan kelemahan ilmu kita, bahwa memang baru sampai disitulah ilmu pengetahuan dan kemampuan wawasan kita dalam menangkap dan menguasai keluasan ajaran Islam. Atau mungkin kita belum mau atau belum mampu bergeser dari zona nyaman dakwah slogan, normatif, dan parsial menuju tataran dakwah ilmiah, aplikatif, produktif, dan komprehensif.  

Kedua. Semarak dakwah dan menurunnya kualitas-kuantitas umat?

Sejak akhir tahun 80 an, gerakan dakwah di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat diawali dengan kegairahan umat Islam untuk memajukan lembaga pendidikan pesantren dan sekolah umum terpadu. Selepas gerakan reformasi gerakan dakwah menemukan momentumnya. Dibukanya kran kebebasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memberi angin segar bagi menjamurnya dakwah bahkan muncul ribuan yayasan dakwah yang baru dengan berbagai varian aliran pemikiran dan mazhabnya.

Saat ini kita menyaksikan dahsatnya semarak dakwah Islam di berbagai lini dan segmen masyarakat. Ditunjang dengan berbagai media massa yang mendukungnya, dari mulai radio, tv, hingga media sosial. Seiring dengan melimpahnya para sarjana Islam alumni perguruan tinggi dan universitas Islam dalam dan luar negeri yang mengesankan di mata orang luar seolah-olah para ustaz itu berebut panggung dakwah dan popularitas di tengah-tengah masyarakatnya.

Kesadaran umat Islam untuk mengamalkan aspek-aspek syariat tertentu terutama yang bersifat ritual dan formal seperti shalat, zakat, puasa, haji, berpakaian muslim, dan mengaji Al-Quran juga nampak sangat meningkat. Namun ironinya, semarak dakwah di permukaan itu paradoks dengan fakta-fakta kehidupan pada aspek yang lain. Seperti semakin meningkatnya perilaku sosial yang tidak bermoral, perilaku korupsi dan kolusi yang menggurita, rendahnya etos kerja dan etika sosial mayoritas masyarakat muslim, hingga merosotnya kekuatan partai politik umat dan tertinggalnya ekonomi syariah. 

Bahkan yang paling ironis adalah fakta prosentase umat Islam semakin lama di Indonesai ini semakin menurun. Sebagaimana ditunjukkan oleh data beberapa survey dan penelitian tentang perkembangan penduduk muslim di Indonesia. Lebih menyedihkan lagi karena kita sebagai umat Islam di Indonesia –sependek yang saya tahu--  tidak mempunyai lembaga pusat statistik sendiri yang independen untuk memantau pertumbuhan umat Islam di negeri sendiri.

Pada tahun 2014, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, pernah membeberkan sebagian data statistik umat Islam Indonesia yang didapat MUI. Dimana  disebutkan bahwa pada sensus penduduk 1990 jumlah umat Islam cuma mencapai 87,6 persen. Angka ini kemudian meningkat menjadi 88,2 persen pada sensus penduduk 2000. Pertumbuhan tahunan umat Islam hanya 1,2 persen. Sementara Kristen dua kali lipatnya, yakni 2,4 persen per tahun. Bila diturunkan lagi ke tingkat provinsi, akan lebih memprihatinkan lagi. Mengutip data seorang penulis Leo Suryadinata yang menyebutkan angka pertumbuhan Kristen terbesar adalah di Provinsi Kepulauan Riau yang mencapai delapan persen per tahun. Di bawahnya, ada tiga provinsi yang angka pertumbuhan Kristen mencapai tujuh persen. Ketiganya adalah Sumatera Barat, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Pada tahun 80-an penduduk Muslim di Indonesia masih lebih dari 90 persen, maka pada tahun 2000 populasi muslim turun ke angka 88,2 persen dan tahun 2010 turun lagi menjadi 85,1 persen. Di Indonesia pertumbuhan agama Islam justru menurun drastis, seperti data di bawah ini:

  1. Berdasarkan hasil riset Yayasan Al Atsar Al-Islam (Magelang) dan dalam rangkaian investigasi diperoleh data bahwa mulai tahun 1999-2000 Kristen dan Katolik di Jateng telah meningkat dari 1-5 persen diawal tahun 1990, kini naik drastis 20-25 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
  2. Dari laporan Riset Dep. Dokumentasi dan Penerangan Majelis Agama Wali Gereja Indonesia, sejak tahun 1980-an setiap tahunnya laju pertumbuhan umat Katolik: 4,6 persen, Protestan 4,5 persen, Hindu 3,3 persen, Budha 3,1 persen dan Islam hanya 2,75 persen.
  3. Dalam buku Gereja dan Reformasi penerbit Yakoma PGI (1999) oleh Pendeta Yewanggoe, dijelaskan jumlah umat Kristiani di Indonesia (dari Riset) telah berjumlah lebih 20 persen. Sedangkan menurut data Global Evangelization Movement telah mencatat pertumbuhan umat Kristen di Indonesia telah mencapai lebih 40. 000. 000 orang (19 persen dari total 210 jumlah penduduk Indonesia).
  4. BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia melaporkan penurunan jumlah umat Islam di Indonesia. Contohnya di Sulawesi Tenggara turun menjadi 1,88 persen (dalam kurun waktu 10 tahun). Demikian pula di Jawa Tengah, NTT dan wilayah Indonesia lainnya.
  5. Dalam Kiblat Garut 26 Juni 2012, Menteri Agama RI saat itu, Suryadharma Ali mengatakan, dari tahun ke tahun jumlah umat Islam di Indonesia terus mengalami penurunan. Padahal di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia terus bertambah. Semula, jumlah umat Islam di Indonesia mencapi 95 persen dari seluruh jumlah rakyat Indonesia. Secara perlahan terus berkurang menjadi 92 persen, turun lagi 90 persen, kemudian menjadi 87 persen, dan kini anjlok menjadi 85 persen.
  6. Menurut data Mercy Mission, sebanyak 2 juta Muslim Indonesia murtad dan memeluk agama Kristen setiap tahun. Jika ini berlanjut, diperkirakan pada tahun 2035, jumlah umat Kristen Indonesia sama dengan jumlah umat Muslim. Pada tahun itu, Indonesia tidak akan lagi disebut sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim.[1]

Semua yang dipaparkan di atas menunjukan bahwa memang ada paradoks antara kesemarakan dakwah di permukaan media massa dan di medsos dengan fakta-fakta pertumbuhan umat Islam secara kualitatif maupun kuantitatif. Akankah kita umat Islam akan berdiam diri membiarkan populasi muslim tergerus oleh waktu karena ulah umat Islam sendiri. Masihkah kita merasa asyik dengan pola fikir dan metode sendiri dalam menjalankan dakwah tanpa melihat fakta-fakta di lapangan kemudian merumuskannya secara lebih strategis.? 

Bersambun......!

 

Reporter: Reporter Editor: admin