عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir dipagi harinya. Dia menjual agamanya dengan kenikmatan dunia." (Imam Muslim, pada Shahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Hatstsi ‘ala al-Mubadarat bi al-A’mal Qabla Tazhahuri al-Fitani, no. 118)
Sungguh zaman ini telah jauh melewati masa kenabian, dan telah jauh meninggalkan masa ketika cahaya kerasulan masih terang benderang. Kini telah datang generasi pengganti yang menjadikan petunjuk bukan dengan petunjuk sang teladan umat (Muhammad Saw.), mereka mengikuti sunnah bukan dengan sunnahnya, dan menempuh jalan kehidupan bukan dengan jalannya.
Kemaksiatan-kemaksiatan dan nafsu angkara murka telah mengalahkan penghuni zaman ini, mereka hadir di tengah-tengah umat dengan membawa kebodohan akalnya serta kelemahan pola pikirnya, mereka telah keluar dari cahaya ketaatan menuju gelapnya kezhaliman.
Mereka terjebak di tengah-tengah malapetaka yang nyaris menimpanya. Penyakit akut TBC (takhayul, bid’ah, khurafat dan syirik) masih melekat kuat dan nyaris membinasakannya. Upaya Setan yang terus membisikan rayuan mautnya kepada, serta upaya penyesatan kaum dhol mudhil yang begitu memikat dan menarik hati mereka.
Mereka menebar fitnah di tengah-tengah umat, tidak takut dengan ancaman, abai terhadap nasehat dan peringatan. Kelalaian telah menutupi pendengaran dan penglihatan mereka, juga meliputi hati dan jiwa mereka. Itu merupakan akibat dari pelanggaran yang mereka lakukan terhadap kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Maka, seyogianya kita sebagai umat yang dilabeli khaira ummah (umat terbaik) mesti waspada terhadap fitnah yang mengancam keberlangsungan dakwah, dan mesti mendapat perhatian serius serta dengan segera memberi peringatan kepada umat agar dapat menghindari dan menyikapi fitnah tersebut sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Hadits shahih di atas merupakan salah satu petunjuk dari Rasulullah Saw. bagaimana menyikapi fitnah yang terjadi.
TAKHRIJ HADITS
Selain diriwayatkan Imam Muslim, hadits shahih tersebut diriwayatkan juga oleh:
- Imam Muslim, pada Shahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Hatstsi ‘ala al-Mubadarat bi al-Mubadarat bi al-A’mal Qabla Tazhahuri al-Fitani, no. 118 dengan lafadznya.
- Imam Ibnu Hibban, pada Shahih Ibnu Hibban, Kitab at-Tarikh, Bab Dzikru al-Ikhbari ‘an Wuqu’i al-Fitani Nas’alu al-Laha as-Salamata Minha, no. 6704.
- Imam at-Tirmidzi, pada Jami’ al-Kabir, Abwabu al-Fitani, Bab ma Ja’a Satakunu Fitanun Kaqitha’i al-Laili al-Muzhlimi, IV: 62, no. 2195.
- Imam Ahmad, pada Musnad Ahmad, Musnad Abi Hurairah, II: 304, no. 8017.
- Imam Abu Ya’la, pada Musnad Abu Ya’la, Musnad Abi Hurairah, XI: 396, no. 6515.
- Imam Ath-Thabrani, pada Mu’jam al-Ausath, Bab min Ismihi Ibrahim, III: 156, no. 2774.
TARJAMAH RAWI
Nama asli Abu Hurairah adalah Umair bin Amir bin Abd Dzi asy-Syara bin Tharif bin Attab Ibn Abi Sha’b bin Munabbih bin Sa’ad bin Tsa’labah bin Salim bin Fahm bin Ghanm bin Daus bin ‘Adtsan bin ‘Abdillah bin Zahran bin Ka’ab ad-Dausy. Abu Hurairah adalah kun-yah beliau, ia pernah berkata: “Namaku pada masa jahiliyah adalah Abdu asy-Syamsi bin Shakhr, lalu Rasulullah menamaiku dengan sebutan ‘Abdrurrahman. Dan Rasulullah Saw. memberiku kun-yah Abu Hurairah dikarenakan aku memiliki kucing yang sering aku bawa dalam bajuku.
Beliau berasal dari Yaman, datang ke Madinah pada saat Rasulullah Saw. sedang di Khaibar pada tahun ke 7 Hijriah. Ia melakukan perjalanan ke sana, lalu bertemu dengan Nabi Saw., kemudian kembali bersama ke Madinah, dan terus bersam-sama dengan Nabi sampai ia wafat. Sebagian riwayat menyebut bahwa Abu Hurairah lahir 19 tahun sebelum hijrah Nabi SAW. Namun baru masuk Islam kurang lebih pada tahun ke-7 hijriyah, setelah perang Khaibar. Masa beliau hidup bersama Rasulullah Saaw. praktis kurang lebih hanya sekitar 2-3 tahun saja.
Meski terbilang singkat bersama Rasulullah SAW , ternyata Abu Hurairah termasuk orang yang paling banyak meriwayatkan hadis. Bahkan tidak ada seorang shahabat pun yang paling banyak meriwayatkan hadits kecuali Abu Hurairah. Imam asy-Syafi’i berkata, “Abu Hurairah adalah seorang hafidz dalam meriwayatkan hadits pada zamannya.” Tercatat dalam tarikh bahwa Abu Hurairah telah meriwayatkan sebanyak 5734 hadits.
Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadits dari Abu Bakar, Umar, Fadl bin Al-‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, Aisyah, Bashrah al-Ghaffari, dan Ka’ab al-Akhbar. Telah meriwayatkan darinya Al-Muharrah (Anaknya), dari kalangan shahabat yaitu Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Anas, Watsilah bin al-Asqa’. Dari Kibar Tabi’in yaitu Marwan bin Hakam, Qabishah bin Dzu’aib, ‘Abdullah bin Tsa’labah, Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin Zubair, Salman al-Aghar, Al-Aghar Abu al-Muslim, Syuraih bin Hana’i, Khabbab, Abu Sa’id al-Maqburi, Sulaiman bin Yasar, Sinan bin Abu Sinan, serta yang lainnya yang tidak bisa disebutkan semuanya. Karena tercatat lebih dari 800 orang perawi yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah.
Pada riwayat al-Bukhari kitab Shahihnya melalui sanad Sa'id al-Maqburi dari Abu Hurairah ra., bahwa dia berkata: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa'atmu pada hari kiamat?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini, karena aku lihat betapa perhatian dirimu terhadap hadits. Dalam riwayat Ahmad dari shahabat Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan bahwa Abu Hurairah termasuk orang yang berani bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang sesuatu yang tidak ada seorang pun yang menanyakannya selain dia.
Sahabat yang mulia ini diberikan umur yang panjang oleh Allah ta’ala di riwayatkan bahwa beliau wafat di umur 78 tahun. Pada tahun 678 M atau tahun 59 H, Abu Hurairah jatuh sakit, dan meninggal di Madinah, lalu dimakamkan di Baqi. (Lihat al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, XIII: 29-59, Usd al-Ghabah, 1411-1412, Taqrib at-Tahdzib: 810, Hayat ash-Shahabah, I: 378-381, Dasar-Dasar Penelitian Hadits: 69)
SYARAH HADITS
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan penjelasan terkait hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Saw. bersabda, بَادِرُوا yakni: Bersegera untuk melakukannya. Sedangkan yang dimaksud بِالْأَعْمَالِ yakni: Amal shalih yang dibangun di atas dua perkara; 1) Al-Ikhlas (karena Allah), 2) Mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasulullah Saw.). Dan ini merupakan realisasi dari persaksian bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan bahwa sesungguhnya Muhammad itu ustusan Allah. Maka amal orang yang tidak ikhlas, tidak dapat dikatakan amal shalih. Meskipun ia shalat, akan tetapi jika ia melakukannya karena ingin dilihat oleh orang lain (riya), maka sungguh amalnya tidak akan diterima. Demikian juga, jika ada orang yang ikhlas dalam amalnya, akan tetapi ia mengamalkan sesuatu yang bid’ah terhadap apa yang disyari’atkan kepada Rasulullah Saw., maka amalnya itu tidak akan diterima, meskipun ia melakukannya dengan penuh keikhlasan. (Syarah Riyadh ash-Shalihin, II: 16-17)
Ibnu Hubairah memberikan penjelasan, bahwa hadits di atas merupakan anjuran agar segera beramal shaleh sebelum merajalelanya fitnah. Karena sesungguhnya dampak dari fitnah tersebut dapat memalingkan hati, sehingga seseorang yang dalam keadaan beriman pada pagi harinya, dapat berbalik menjadi kafir pada sore harinya disebabkan fitnah tersebut, atau sebaliknya. Pada saat itu, seseorang merasa takut untuk beramal, atau ia beramal dalam keraguan dan kebimbangan sehingga amalnya tidak akan bermanfaat. (Lihat al-Ifshah fi Ma’ani ash-Shahah, juz VIII: 164)
فِتَنًا: jama’ dari فِتْنَةٌ yaitu ujian dan cobaan berupa musibah-musibah. kadang-kadang terjadi dalam hal keburukan dan kadang-kadang dalam hal kebaikan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’la: Dan Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). (QS. Al-‘Anbiya [21]: 35), dan Allah subhanahu wata’la berfirman: “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). (QS. Al-A’raf [7]: 168). Dan yang berlaku dalam adat kebiasaan, bahwa penggunaan kata fitnah pada tataran realita berlaku dalam hal keburukan. (Fath al-Bari li Ibni Rajab, IV: 201-202)
Menurut Imam Ibnu Rajab, fitnah itu ada dua macam; Pertama: Ada yang khusus, menimpa pada diri seseorang. Kedua: Ada yang umum, menimpa kepada semua manusia secara umum.
- Fitnah Secara Khusus
Fitnah secara khusus adalah ujian yang menimpa pada diri seseorang, yang berkaitan dengan keluarganya, hartanya, anaknya, dan tetangganya. Allah subhanahu wata’la berfirman:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun [64]: 15) Karena sesungguhnya fitnah tersebut sudah biasa menjadi penyebab seseorang melalaikan akhirat dan lupa mempersiapkan bekal untuk kehidupan di sana.
"Ketika Rasulullah berada di atas mimbar, tiba-tiba muncul Al-Hasan dan Al-Husain sambil belarian dan menarik perhatian dengan mengenakan baju bewarna merah." Perawi berkata: Kemudian Rasulullah turun lalu menggendong keduanya, lantas beliau berkata, "Maha Benar Allah, 'Hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan. (QS. At-Taghabun [64]: 15). Aku melihat dua anak ini sedang berjalan dan menarik perhatian hingga aku tidak dapat menahan diri sampai-sampai aku turun kemudian menggendong keduanya." (Shahih Ibnu Khuzaimah 1454)
Dan sungguh Allah Swt. mengecam orang-orang yang melalaikan-Nya, disebabkan harta dan anak-anaknya dari mengingat-Nya. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 9)
Maka tampak jelas dengan hadits ini, bahwa sesungguhnya manusia diuji dengan hartanya, anak-anaknya, keluarganya, dan tetangga yang berdekatan dengannya, lalu muncullah fitnah disebabkan hal tersebut. Kadang-kadang manusia lalai kepada Allah, karena disibukkan dengan hal-hal tersebut dari sesuatu yang sebenarnya akan memberi manfaat kepadanya di akhirat. Ada juga, kecintaan manusia kepada harta dan keluarganya membawa dia untuk beramal hanya karena hal-hal tersebut, sebagian bukan karena kecintaannya kepada Allah Swt. Ada juga orang yang sampai berani mengurangi hak Allah yang diwajibkan kepadanya. Dan terkadang ada orang yang berbuat dzalim kepada Allah, serta melakukan perbuatan yang tidak disukai-Nya, baik dari segi ucapan maupun perbuatan.
Maka jika sesuatu terjadi kepada manusia sebagai akibat dari fitnah-fitnah yang khusus tadi, lalu ia melaksanakan shalat, shaum, bersedekah, serta melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka amalan-amalan itu akan menjadi kafarah (pengahpus dosa) baginya. Dan jika seseorang gelisah karena dosa yang telah diperbuatnya dan kemudian melakukan amal sholih untuk menghapusnya, maka itu merupakan bukti atas keimanannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai iman, lalu beliau menjawab:
أَتُحِبُّ أَنْ أُخْبِرَكَ مَا صَرِيحُ الْإِيمَانِ؟ قَالَ: ذَلِكَ أَرَدْتُ قَالَ: إِنَّ صَرِيحَ الْإِيمَانِ إِذَا أَسَأْتَ أَوْ ظَلَمْتَ أَحَدًا عَبْدَكَ أَوْ أَمَتَكَ أَوْ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ تَصَدَّقْتَ وَصُمْتَ وَإِذَا أَحْسَنْتَ اسْتَبْشَرْتَ.
“Apakah engkau mau aku khabarkan apa kemurnian iman itu? Kata si penanya, “Tentang itu yang aku inginkan.” Rasul bersabda, “Sesungguhnya kemurnian iman itu jika engkau berbuat salah atau mendzalimi seseorang, budak laki-lakimu, atau budak wanitamu, atau salah seorang dari manusia, lalu engkau bersedekah atau engkau shaum, dan jika engkau berbuat baik, engkau senang.” (Hr. al-Harits, Musnad al-Harits, Kitab al-Iman, Bab fi Hishal al-Iman wa al-Islam, I: 154, no. 10)
Dalam ta’liq kitab Baghiyat al-Bahits ‘an Zawaid Musnad al-Harits, di sana dijelaskan bahwa rawi-rawi dalam sanad hadits tersebut semuanya tsiqah, kecuali Ibnu Abi Rafi’ tidak dijelaskan. Dalam kitab al-Ittihaf, imam al-Bushiri menjelaskan bahwa pada sanad hadits tersebut masih ada rawi yang diperbincangkan, dia adalah Ibnu Abi Rafi’. Jika dia adalah Abdurrahman bin Abi Rafi’ ia meriwayatkan dari bibinya Salma dan Abdullah bin Ja’far, dan telah meriwayatkan darinya Hamad bin Salamah, maka sungguh Ibnu Ma’in pernah mengatakan, “Dia rawi yang shalih”. (Lihat Ta’liq Baghiyat al-Bahits, I: 154, al-Ittihaf, I: 77, Taqrib at-Tahdzib, I: 377)
- Fitnah Secara Umum
Adapun fitnah secara umum, yaitu fitnah yang datang bergelombang bagaikan ombak di lautan, membuat kekacauan, dating silih berganti, bagaikan gelombang ombak di lautan. Dan awal mula fitnah terjadi ketika terbunuhnya Khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu. Lalu setelah itu muncullah berbagai fitnah, mulai dari terpecahnya hati kaum muslimin, berbeda-beda keinginan, satu sama lain saling mengkafirkan, dan saling menumpahkan darah.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa yang menjadi pintu penjaga antara manusia dan fitnah itu adalah Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu. Dan tatkala ‘Umar terbunuh, maka rusaklah pintu penjaga tersebut, oleh karena itu, pintu penjaga itu tidak pernah terkunci lagi setelahnya dan selamanya.
كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
Ini merupakan tasybih (penyerupaan) antara fitnah (musyabbah) dengan sebagian malam (musyabbah bih), فِيْ سَوَادِهَا وَظُلْمَتِهَا dalam hitam dan gelapnya (wajh asy-syibh). Karena sifat malam dengan kegelapannya sebagai penegasan begitu sangat gelapnya. Dan hal ini memberikan gambaran betapa sangat berat dan sangat menakutkannya fitnah tersebut, serta betapa lemahnya segala perantaraan untuk tegaknya kebenaran pada saat itu, juga dengan maraknya berbagai kebatilan. Maka dalam hal inilah, tujuan adanya tasybih, sebagaimana Allah Swt. Telah berfirman, “… seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita.” (QS. Yunus [10]: 27)
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا
Ibrahim al-Qurthubi berpendapat mengenai lafadz di atas bahwa, “Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya.” Hal tersebut bukan perkara yang mustahil terjadi secara makna zhahir-nya (murtad). Karena sesungguhnya ujian dan cobaan yang sangat besar dan berat ini jika terjadi secara bertubi-tubi menimpa hati, akan dapat merusak dan mengalahkannya, serta akan memberikan dampak mengerasnya hati. Lebih lanjut beliau menegaskan, bahwa maksud hadits ini adalah mendorong kita untuk menggunakan kesempatan sebaik mungkin, dan mencurahkan segenap kemampuan dalam mengamalkan segala jenis kebaikan yang dimungkinkan untuk dilakukan, sebelum terjadinya serangan fitnah yang akan menghalangi kita untuk berbuat amal shaleh. (Lihat al-Mufhim lima Asyakala fi Talkhish Kitab Muslim, I: 326)
يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Ar-Raghib al-Ashfahani memberikan penjelasan terkait dengan ka ‘aradha, yaitu bagi sesuatu yang tidak tetap. Ada yang berpendapat bahwa dunia itu merupakan “‘aradhun hadhirun” beruapa harta atau keuntungan yang berlaku sekarang. Dan hal tersebut merupakan peringatan bahwa harta dan keuntungan tersebut tidaklah tetap. Allah Swt. telah berfirman: “Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu).” (QS. Al-Anfal [8]: 67) (Lihat Mufradat Alfazh al-Qur’an: 342)
Ibrahim al-Qurthubi memberikan penjelasan terkait dengan lafadz di atas, bahwa hadits ini merupakan perintah untuk berpegang teguh pada agama, bertindak tegas ketika terjadi fitnah, berhati-hati dari fitnah, dan berhati-hati dalam menghadapi dunia dan ketamakan atasnya. (Lihat al-Mufhim lima Asyakala fi Talkhish Kitab Muslim, I: 326)
FAWAID HADITS
- Hadits ini mendorong untuk segera beramal shaleh sebelum didahului oleh fitnah yang akan mengalangi dari beramal. Karena sesunguhnya fitnah ketika sudah terjadi, maka dia akan menjadi penghalang antara manusia dengan amal shaleh. Tapi jika bersegera beramal sebelum fitnah dating menghalanginya dan menghadap sepenuhnya kepada Allah, maka amal shaleh tersebut akan menjadi penjaga dari serangan fitnah tersebut.
- Hadits ini menjadi dalil bahwa sesungguhnya amalan-amalan yang shaleh menjadi sebab selamatnya manusia dari bahaya fitnah.
- Hadits ini mencela keidupan dunia yang fana dari kesenangan yang ada padanya. Serta memberi peringatan kepada manusia yang lebih mengedepankannya dari pada akhirat yang kekal. Tapi justru mesti bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam beragama dan berhati-hati terhadap kesenangan dunia. Karena sesungguhnya dunia dapat membalikan agama seorang hamba, juga dapat memalingkan kepada selainnya, dan kepada selain beribadah kepada Tuhannya. Oleh karena itu, masuk dan terjebak dalam kubangan fitnah akan melemakan amal shaleh. Wallahu a’lam
***
Penulis: Cepi Hamdan Rafiq