Logika Sesat Keberadaan BPIP; Alasan Kenapa Harus Dibubarkan

oleh Reporter

21 Agustus 2021 | 13:43

Penulis: MUHAMMAD YAMIN (DIREKTUR LBH PP PERSIS)

 

Bagian 1 : LOGIKA SESAT PEMBENTUKAN BPIP

Lomba penulisan artikel yang diselenggarakan  Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sempat menjadi kontroversi dan mendapatkan persepsi minor dari masyarakat. Tema yang diusung dalam lomba penulisan artikel tersebut yaitu, “Hormat Bendera Menurut Hukum Islam dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam”. Staf Khusus  Ketua Dewan Pengarah BPIP, Benny Susetyo, berdalih, bahwa tema itu diambil untuk pemaknaan nilai-nilai keagamaan dalam memperkuat kebangsaan.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila kemudiansecara resmi mengubah tema lomba, setelah sebelumnya mendapat kritik dari berbagai kalangan.

Tema yang diusung terasa aneh, mengada-ada dan menyesatkan, karena dengan tema tersebut seolah hendak dinyatakan, bahwa selama ini persoalan menghormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan menjadi masalah di kalangan umat Islam Indonesia.  Pemerintah dalam hal ini BPIP, sama saja dengan mengusik ketenangan umat islam dan membuktikan ketidak percayaan BPIP kepada umat Islam Indonesia. Padahal selama ini tidak pernah ada persoalan menyangkut kedua hal itu (menghormati bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan), berjalan baik-baik saja, dilakukan dari waktu ke waktu oleh semua umat islam Indonesia, sehingga sebenarnya sudah clear, tak ada persoalan.

Kontroversi seputar BPIP sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak awal pembentukannya. BPIP dibentuk pada Juni 2018 sebagai upaya merevitalisasi badan atau unit yang telah dibentuk sebelumnya, yaitu Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). UKP-PIP sendiri adalah Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila yang diumumkan Presiden pada 1 Juni 2017. UKP-PIP hanya berjalan efektif satu tahun, dan hampir tidak melakukan apapun dalam rangka pertumbuhan kemajuan bangsa, baik secara sosial-politik, maupaun pengembangan ketata negaraan.

UKP-PIP kemudian direvitalisasi menjadi BPIP, yang dilakukan karena pemerintah beranggapan peran, fungsi, dan kewenangan UKP-PIP yang masih sangat terbatas, cenderung menyulitkannya untuk bekerja dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya, termasuk lembaga setingkat kementerian.  Dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2018 disebutkan, “BPIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.” BPIP juga bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.

Apapun itu, UKP-PIP atau kemudian menjadi BPIP, mengingatkan kita pada BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di era Orde Baru. Dimana, lembaga itu juga bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, serta memiliki fungsi dan peran terhadap semua bentuk aktifitas dan program kenegaraan, dengan dalih atas nama pengendalian Ideologi Pancasila. 

Lebih dari itu, berbeda dengan BP7, peran dan kewenangan BPIP akan lebih diperkuat penguasa dengan sedang terus diupayakannya  pengesahan RUU HIP/BPIP. Dengan demikian, melampaui BP7 di era Orde baru, BPIP akan lebih memiliki legal standing yang kuat dengan menaikan status landasan yurisnya melalui UU HIP/BPIP.

Dalam rancangan UU nya sendiri, BPIP diantaranya akan memiliki kewenangan:  (1) mengevaluasi perwujudan dan penjabaran nilai-nilai Pancasila dan UU NRIT 1945 dalam undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, (2) mengajukan permohonan pengajuan undang-undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan pengajuan peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung (MA). Dengan begitu, BPIP akan menjadi lembaga super yang memiliki wewenang begitu besar dengn spektrum yang luas terhadap berbagai segi hidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, dengan alasan untuk menjaga ideologi Pancasila.

Bila RUU HIP/BPIP berhasil di sahkan, maka BPIP akan mewujud sebagai satu lembaga super yang memiliki peran, fungsi, dan wewenang seperti Partai Komunis Tiongkok (PKT) dalam ketatanegaraan Republik Rakyat Tiongkok. BPIP akan memiliki wewenang sebagai pengendali Ideologi Pancasila menurut tafsir dan interpretasi sepihak, serta berperan dalam setiap kebijakan dan program pembangunan dengan mengatas namakan Pancasila. BPIP juga akan memiliki kemampuan untuk melakukan tekanan politik kepada ORMAS, OKP, bahkan Parpol, dengan mengatas namakan penegakan ideologi.

Fungsi dan peran besar BPIP yang sesungguhnya adalah mentransmisikan Pancasila beserta nilai-nilai yang dikandungnya Ke dalam semua segi kehidupan sosial-kemasyarakatan dan ketatanegaraan Indonesia. Karena memang secara resmi dan terbuka, keberadaan BPIP ditujukan pemerintah Jokowi sebagai lembaga untuk melakukan fungsi dan peran itu. Dalam konsep pemikiran ideologi Louis Althauser mengistilahkan dengan Ideological State aparatus, BPIP bisa disebut sebagai repressive state apparatus yang berfungsi sebagai lembaga resmi yang berhubungan dengan negara, seperti tentara, polisi, dan pengadilan, yang digunakan untuk menegakkan ideologi.

Di era Orde Baru, repressive state apparatus sering di lakukan Soeharto dengan menggunakan lembaga-lembaga mulai dari TNI, Pemda, hingga Litsus untuk mentransmisikan Pancasila secara langsung. Dalam konteks BPIP,  hingga saat ini, BPIP baru mulai terlihat dengan fakta statement Kepala BPIP Yudian Wahyudi dan Lomba Penulisan Artikel ala BPIP. Saat ini mungkin, BPIP belum memiliki “alat pemaksa” secara langsung, tapi memiliki kemampuan politik untuk memaksa alat kelengkapan negara lainnya dengan melakukan penetrasi langsung, mengingat Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP memiliki pengaruh politik kuat dalam kapasitas Ketua UMUM PDIP yang menaungi Presiden Jokowi.

Padahal seharusnya, transmisi internalisasi ideologi berjalan secara alamiah, tanpa melalui proses pemaksaan oleh sebuah lembaga yang mendominasi mulai dari penafsiran, refleksi hingga penyebar luasan secara memaksa (terlepas apapun yang dijadikan alat pemaksa). Apa yang sudah berjalan dengan menginternalisasi Pancasila sebagai ideologi melalui pendidikan karakter di sekolah-sekolah dalam mata pelajaran PPKN misalnya, apabila dimaksimalkan akan jauh lebih efektif, karena tidak terkesan memaksa dan berjalan secara alamiah dalam bentuk pendidikan karakter.

Strategi menjadikan BPIP sebagai pusat transmisi internalisasi ideologi Pancasila adalah kesesatan logika berpikir, dan berpotensi menjadi alat kekuasaan dan politik seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru. Sebab, dengan strategi ini secara resmi dan terbuka, akan membuat siapapun pengendali BPIP menyalah gunakan wewenang dan menstigma suatu kelompok sebagai tidak pancasilais. Dengan lembaga resmi seperti BPIP, apa yang dilakukan akan seperti sebuah pemaksaan, doktrinasi, yang sebenarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri. Sebagai sebuah ide dasar, Pancasila seharusnya ditransmisikan melalui cara-cara dialektis dengan penuh kesadaran dan Alamiah, tanpa pemaksaan.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan, bahwa dengan keberagaman yang ada di Indonesia, baik dari segi kultur, sosial, norma maupun cara pandang, keberadaan Pancasila memang penting. Pancasila bisa dijadikan sebagai pemersatu bangsa di tengah keberagaman itu. Mengingat keberagaman itu juga, tidak salah juga bila Pancasila dijadikan satu-satu nya sumber hukum dalam praktek ke tata negaraan serta kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Namun mengupayakan internalisasi transmisi Pancasila melalui suatu lembaga khusus, atau bahkan unit kerja khusus, seperti BPIP misalnya, adalah logika pemikiran yang menyesatkan. Sebab akan berarti menciptakan lembaga yang surplus power, karena segala tindakan nya akan mengatas namakan ideologi (pancasila).  Dan kebih jauh, berpotensi terjadinya penyalah gunaan ideologi (pancasila) demi keuntungan kelompok, atau bahkan alat politik untuk menyingkirkan kelompok lain.

 

Bagian 2 :  SESAT NALAR BPIP MENGHADAPKAN ISLAM DENGAN PANCASILA

Masih terekam kuat dalam ingataan umat islam Indonesia, kegaduhan yang diakibatkan oleh statement Kepala BPIP, Prof. Yudian Wahyudi. Pada Februari 2020 lalu, kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi, atas nama BPIP membuat statemen kontroversial dengan menyebut “agama sebagai musuh terbesar Pancasila (m.detik.com/news/berita/d-4895595/kepala-bpip-sebut-agama-jadi-musuh-terbesar-pancasila).”

Selain menyesatkan, statement ini secara tidak langsung telah menempatkan agama (Islam) sebagai musuh bangsa dan sumber kekacauan di dalam negara. Mempertentangkan agama (Islam) dengan Pancasila memunculkan keterbelahan bangsa,  statemen itu juga mengingatkan kita pada pernyataan kalangan sosialis-komunis dan ateis, yang menganggap agama sebagai candu.

Fakta-fakta itu, memperkuat adanya kesalahan narasi berpikir yang akut dari pemerintah mengenai islam. Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Muhammad Said Didu, mempertanyakan lewat akun Twitter @msaid_didu (12/8/2021), “Mengapa selalu Islam yang seakan menjadi masalah?” Hal senada disampaikan politisi Partai Umat, Mustofa Nahrawardaya, ia menuliskan, “Lagi-lagi Islam, move on, dong!” melalui akun @TofaTofa_id (12/8/2021).

Upaya menghadapkan-hadapkan Islam dengan pancasila atau bahkan menegasikan Islam di bawah Pancasila merupakan kesalahan logika berpikir yang amat fatal. Bahkan bisa dianggap melecehkan Islam, dan justru bisa kian memperkuat anggapan bahwa rezim ini adalah rezim anti-Islam.

Padahal sejatinya, Islam adalah agama politik spiritual. Yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam. Mengajarkan konsep-konsep keimanan, sekaligus menuntun manusia dalam menjalani kehidupan sesuai fitrah penciptaan.

Karenanya, Islam tak bisa ditempatkan vis a vis dengan Pancasila sebagai sebuah falsafah yang mengajarkan nilai-nilai moral. Atau ditempatkan di bawah pancasila. Apalagi disingkirkan hanya demi atas nama pembumian nilai-nilai Pancasila. Islam dan Pancasila faktanya memang beda. Islam ada sebelum Pancasila. Bahkan ada sebelum negara Indonesia ini lahir.

Akan tetapi, harus difahami bersama, Islam dan Pancasila bukanlah dua ideologi (kalaupun Pancasila dianggap sebuah ideologi) yang saling berbenturan. Islam adalah sebuah ajaran yang utuh, yang mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan sekaligus kemanusiaan dan kemasyarakatan. Khazanah Islam telah diletakkan sebagai fondasi dalam ideologi Pancasila. Islam bukanlah Pancasila, akan tetapi nilai-nilai Islam telah masuk ke dalam Pancasila yang hingga kini digunakan sebagai ideologi negara.

Perdebatan antara golongan Islam dan golongan Nasionalis harus menyadari bahwasanya Islam dan Pancasila mampu menciptakan proses dialogis, sehingga tak perlu lagi dibenturkan dalam dua ideologi yang saling bertolak belakang sekaligus berhadap-hadapan. Kemampuan para Bapak Bangsa dalam meletakkan fondasi ideologi bangsa yaitu Pancasila yang di mulai dengan fondasi tauhid (sila ke satu) sebagai sokoguru utama Pancasila yang mewarnai sila-sila dalam Pancasila seharusnya mengakhiri benturan tersebut.

Jadi, tidak apa persoalan antara islam sebagai agama mayoritas dengan pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan para founding fathers pun sejak awal kemerdekaan telah mamahami dan menyadari itu. Bahwa kemudian terlihat ada persoalan antar rezim ini dengan Islam,  bisa dijelaskan melalui uraian sebagai berikut:

Pertama. Islamofobia telah menjalar masuk dalam rezim pemerintahan Jokowi. Menarik untuk disimak laporan dari Pusat Kajian Ras dan Gender Universitas California, Berkeley. Dalam laporannya, disebutkan adanya sejumlah sikap yang lahir dari serangkaian pandangan terhadap Islam. Islam dianggap sebagai agama monopolitik (tunggal, kaku, tanpa variasi) dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan berbagai realitas baru. Dalam kaca mata barat (kapitalis) Islam juga dianggap sebagai agama inferior.

Islam pun dianggap tidak memiliki nilai-nilai yang sama sebagaimana ajaran agama-agama besar lainnya; merupakan agama yang kuno, biadab, dan tidak rasional. Bahkan, Islam dituduh sebagai agama kekerasan dan mendukung terorisme, hingga mereka menyebut Islam adalah ideologi politik yang buas.

Secara kasat mata, cara pandang dunia barat dan kapitalisme yang demikian telah merasuki cara pandang sebagian elit politik di Indonesia saat ini, terutama mereka yang saat ini tengah menjadi penguasa . Ekspresi dari bentuk ketakutan mereka terhadap nilai-nilai dan hukum Islam begitu terlihat nyata, hingga sempat terpikir membuat kompetisi penulisan artikel dengan tema yang bernada tendensius terhadap islam. Bahkan sempat terlontar ungkapan kalau agama (Islam) sebagai musuh.

Aroma Islamofobia pun bisa terlihat dari proses TWK-KPK (Tes Wawasan Kebangsaan-Komisi Pemberantasan Korupsi), hingga program penguatan moderasi beragama 2020-2024 pemerintah. Ketakutan akan “hantu” ideologi islam juga terlihat dari jargon-jargon, “bahaya radikalisme”, “bahaya fundamentalisme”, bahkan secara terbuka terlihat dari tuduhan “taliban” dalam proses TWK-KPK.

Dalam kerangka itulah, pembentukan BPIP dilakukan, yang dianggap akan mampu menjadi penjaga gawang dari ideologi-ideologi islam yang tidak sesuai dengan pancasila. Tidak ada bedanya dengan semangat pembentukan BP7 dan pemberlakuan asas tunggal di era Orde baru.

Kedua. BPIP sebagai alat memperkuat kekuasan oligarki. Pemerintah berdalih tidak bermaksud membenturkan Islam dan aturan hukum positif di negeri demokrasi, melainkan untuk melihat pentingnya nilai-nilai keagamaan dalam menyikapi kecintaan terhadap tanah air.

Jika memang itu yang menjadi maksud dan tujuan nya secara tulus, maka seharunya tidak ada lagi bentuk narasi apapun yang mendiskreditkan atau mencoba mempertentangkan pancasila dengan Islam. Bahkan lembaga-lembaga seperti BPIP atau BP7 di era orde baru sama sekali tidak perlu ada. Tidak diperlukan satu program apapun untuk mentransmisikan pancasila. Karena sejatinya, Nilai dan ajaran islam memberi jiwa secara keseluruhan dari nilai, filosofi, dan sila-sila dalam pancasila.

Bila pancasila dianggap sebagai gronslag (norma dasar secara filosofis) kehidupan sosial –budaya yang juga sekaligus sebagai Grundnorm (norma hukum, sumber hukum) kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, maka semestinya tidak ada kecurigaan atau keraguan sedikitpun terhadap Islam. Sebab ajaran dan nilai Islam lah yang justru dijadikan sebagai pondasi perumusan Pancasila sebelum disahkan pada 18 Agustus 1945.

Pembukan UUD 1945 menjiwai keseluruhan pasal-pasal dan ayat-ayat yang ada didalamnya, sementara pondasi Pancasila adalah ketuhanan Yang Maha Esa sebagai fundamen utama dari keseluruhan sila. Sila ke-I Ketuhanan Yang Maha Esa lah yang melandasi, menjiwai dan mengkualifikasi sila – sila berikutnya. Terlebih susunan sila –sila dalam Pancasila tersebut bersifat khiearkhis dan berbentuk piramidal. Arinya tidak dapat dibolak – balik seperti Sila I menjadi Sila Ke-III, atau sila Ke-III menjadi Sila I. Tersusun sedemikian rupa dengan kesepakatan, dan dirumuskan secara matang melalui perdebatan panjang oleh bapak pendiri bangsa.

Maka mempertentangkan Islam dengan Pancasila apalagi menyebut agama (Islam) sebagai musuh utama Pancasila sejatinya merupakan penghianatan sekaligus penistaan terhadap nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Bila pada kenyataannya selalu ada saja pihak-pihak yang berusaha menyingkirkan dan mendiskreditkan kelompok-kelompok umat islam dengan dalih untuk menjaga kewibawaan pancasila, itu sebenarnya hanya dalih untuk menyingkirkan umat islam dari peran dalam negara. Nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan dalam Islam lah yang sebenarnya dikhawatirkan Kepentingan oligarki dan kaum kapitalis. Sebab, Islam tidak akan pernah mentolerir ketidak adilan, menentang kesewenang-wenangan, mencela serta mengharamkan tindakan koruptif dan penghisapan manusia oleh manusia.

Sekelompok elit penguasa memiliki kepentingan untuk mempertahankan oligarki serta operasi kapitalis di Indonesia. Mereka menyadari, bahwa untuk menjaga kepentingan itu, islam yang harus terlebih dahulu dilemahkan dan di singkirkan, sebab kebathilan dan kejahatan yang dikandung dalam sistim oligarki dan kapitalisme akan selalu mendapat tantangan dari nilai dan ajaran islam.

Dalam kerangka itulah sebenarnya BPIP yang sebelumnya UKP-PIP, seperti halnya BP7 di era Orde Baru dahulu, dibentuk. BPIP adalah alat untuk mengeliminir dan menjauhkan umat dari nilai dan ajaran islam yang kaffah. Bila umat Islam jauh dari nilai-nilai dan praktek ajaran islam, maka umat islam yang mayoritas akan lemah, dan oligarki kekuasaan serta kaum kapitalis akan mudah menjalankan strategi kebathilan dan praktek-praktek jahatnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa menghadap-hadapkan islam dengan pancasila merupakan sesat nalar akut yang memang sengaja di produksi untuk mendegradasikan dan menjauhkan umat islam Indonesia dari nilai-nilai dan ajaran islam yang kaffah. Sebaliknya, Islam justru memberikan pondasi utama bagi pancasila. 

Misi tersembunyi pembetukan BPIP adalah untuk dijadikan alat untuk melemahkan islam dan mengeliminasi umat islam dari perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sehingga, kalau sering terdapat fakta BPIP bersikap dan bertindak tendensius terhadap Islam, itu sesuatu yang lumrah, karena memang untuk itulah sejatinya BPIP di bentuk. Karena pada dasarnya pembentukan BPIP didasari kekhawatiran penguasa bersama kelompok oligarki dan kapitalis terhadap Islam, yang merasa kepentingan mereka tidak akan pernah bisa berjalan mulus bila Islam dijalankan secara kaffah oleh umat Islam Indonesia.

Bila BPIP menganggap agama (Islam) sebagai musuh pancasila serta melemahkan nilai ajaran Islam sesungguhnya bukan hanya melecehkan Islam, tetapi juga sebuah bentuk penghianatan terhadap Pancasila itu sendiri. Bahkan pembentukan dan upaya penguatan BPIP sejatinya adalah bentuk pelecehan terhadap Pancasila itu sendiri.

 

Bagian 3: LOGIKA SESAT BPIP SEBAGAI PENJAGA IDEOLOGI PANCASILA: ALASAN KENAPA BPIP HARUS DIBUBARKAN   

Dalih pemerintah merevitalisasi UKP-PIP dengan membentuk BPIP adalah membentuk melbaga yang akan berfungsi sebagai penjaga ideologi pancasila. Tetapi, benarkah Pancasila itu sebuah ideologi?

Bila Pancasila dijadikan pedoman oleh masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, itu sesuatu yang tak terbantahkan dan disepakati oleh semua kalangan. Nilai-nilai yang terkandung dalam kelima asas Pancasila menjadi landasan masyarakat dalam bersosialisasi, kehidupan beragama, hak asasi manusia, dan bekerja sama.

Hanya saja, sebuah ideologi seharusnya bersifat final dan tertutup, sementara Pancasila bagaimanapun tak akan pernah bisa bersifat tertutup. Keragaman budaya Indonesia beserta nilai-nilai dan norma yang ada didalamnya, membuat Pancasila tak akan pernah bisa membuat Pancasila bersifat final dan tertutup. Bila Pancasila ingin disebut sebagai sebuah ideologi, maka dia harus final dan tertutup, akan tetapi secara epistimologis, Pancasila tidak final dan tertutup. Sebab, bila Pancasila bersifat final dan tertutup, maka akan berartti menafikan keberagaman yang ada di Indonesia.

Seluruh basis legitimasi BPIP adalah premis bahwa Pancasila merupakan ideologi. Namun, Pancasila bukan ideologi. Dengan satu premis dasar itu, seluruh basis legitimasi BPIP menjadi runtuh. Dengan logika sederhana ini, lembaga seperti BPIP sudah seharusnya tidak diakui keberadaanya, baik secara ketata negaraan maupun secara epistimologis.  Kalaupun terlanjur ada, sudah menjadi keniscayaan kalau lembaga itu dibubarkan. Karena dalih pembinaan ideologi tak bisa dipaksakan, bila sebenarnya ideologinya sendiri tidak ada.

Berpangkal dari uraian diatas, sesungguhnya basis legitimasi keberadaan BPIP dengan mengatas namakan ideologi, merupakan sebuah keslahan logika berpikir yang akut. Kalaupun ada, basis legitimasi BPIP “hanyalah” positivisme hukum, karena di Indonesia, apa yang terjadi adalah premis seperti yang dinyatakan Thomas Hobes, “bukan kebenaran, tapi kekuasaanlah yang membuat hukum.”

BPIP dianggap legitimate hanya karena kekuasaan rezim administrasi Jokowi membuatnya menjadi legitimate. Legitimitasi BPIP diciptakan melalui berbagai produk aturan hukum seperti Perpres dan sekarang RUU. Tidak beda dengan produk-produk hukum lain, semisal UU Cipta Kerja atau UU Minerba.

Meski, mengacu filosofi dalam Pancasila sendiri, Hukum tak pernah boleh dirumuskan secara semena-mena oleh kekuasaan. Jika kekuasaan secara semena-mena membuat hukum, maka keadilan sosial akan menjadi tumbalnya. Sebab pada hakekatnya, yang seharusnya menjadi basis legitimasi moral utama dari eksistensi negara adalah keadilan. Tanpa keadilan, negara beserta pemerintahannya tak ubahnya seperti organisasi perampok.

Seperti halnya BP7, kehadiran BPIP adalah konsekuensi logis dari aturan hukum yang didasarkan pada kekuasaan, yang diperuntukan juga untuk melanggengkan kekuasaan. Logika kekuasaan ini kemudian seolah-olah melegitimasi perlunya BPIP. Dengan terlebih dahulu menciptakan narasi-narasi tentang bahaya radikalisme dan/atau bahaya ideologi transnasional.

Sebelumnya, kekuasaan sudah terlebih dahulu bekerja sama dengan intelektual, media massa, dan para buzzer istana untuk menghegemonisasi dan memanipulasi kesadaran massa rakyat tentang bahaya radikalisme di Indonesia. Ketakutan akan bahaya radikalisme dan ideologi transnasional sengaja disebarkan secara sistematis agar pikiran rakyat mengamini segala kebijakan Negara melalui aparaturnya untuk menanggulangi “ketakutan” itu.

Kekuasaan bekerja pertama-tama dengan mereproduksi terus menerus narasi tentang bahaya radikalisme, lalu kemudian menciptakan aturan hukum sebagai basis legitimasi legal untuk menyelesaikan bahaya radikalisme itu. Pendirian BPIP kemudian seolah-olah legitimate karena dinarasikan sebagai lembaga yang berfungsi menyelamatkan bangsa dari ideologi lain selain Pancasila. Padahal sejatinya, BPIP tak lebih dari upaya penciptaaan suatu aparatur kelembagaan yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan oligarki.

Menilik anggaran yang disiapkan untuk BPIP, alokasi gaji dan tunjangan masing-masing pengurus adalah, Ketua Dewan Pengarah (Rp112,5 Juta), Anggota Dewan Pengarah (Rp100,8 Juta), Kepala (Rp76,5 Juta), Wakil Kepala (Rp63,7 Juta), Deputi (Rp51 Juta), dan Staf Khusus (Rp36,5 Juta). Dalam APBN 2020 saja, total anggaran BPIP mencapai Rp217 Miliar, dan diperkirakan meningkat di tahun anggaran tahun 2021 ini.

Pembuangan anggaran negara melalui BPIP ironisnya dilakukan ditengah keterpurukan bangsa akibat ketimpangan ekonomi dan ketidak adilan sosial akut yang melanda negeri ini. Kehidupan ekonomi yang semakin timpang dari tahun ke tahun memperlihatkan kegagalan Negara dalam mengadministrasikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Negara yang gagal mewujudkan keadilan sosial akan cenderung memainkan narasi politik identitas – seperti radikalisme – sebagai gimik untuk menutupi kegagalannya.

Pembentukan dan penguatan BPIP melalui RUU yang disiapkan pemerintah, dengan segala perangkat dan anggaran yang disiapkan sangat bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Narasi yang dibangun melalui ilusi ideologi pun hanya semata didasarkan pada argumen legal kekuasaan. Sementara itu, upaya menegasikan agama (Islam) di bawah Pancasila, sebenarnya tak lebih dari penghianatan terhadap nilai moral Pancasila itu sendiri. Menilai tidak adanya manfaat, selain menjadi sumber kegaduhan, maka penolakan terhada BPIP menjadi sebuah keniscayaan dan secara faktual sudah semestinya BPIP di bubarkan.

Wallahu’alam. Allohu ya'khudzu biaidina ila maa fihi khoirun lil Islami wal Muslimin.

Reporter: Reporter Editor: admin