Oleh: Yusup Tajri
(Pengasuh PPI 183 Al-Manar dan Ketua Prodi PGMI STAIPI Garut)
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh ibadah pada bulan Romadhon. Terutama di akhir Romadhon beliau melaksanakan i’tikaf. Ibadah I’tikaf tercantum dalam AlQuran sepaket dengan ayat Shaum. Allah berfirman:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam mesjid. (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Awal ayat 187 ini menjelaskan bolehnya berhubungan suami istri di malam hari Romadhon bagi yang shaum di siang harinya. Tidak bolehnya itu seperti makan dan minum di siang hari. Akan tetapi bagi yang I’tikaf berhubungan suami istri ini tetap tidak boleh. Hal ini merupakan diantara keistimewaan dan ketentuan bagi yang I’tikaf.
Larangan berhubungan suami istri bagi yang I’tikaf tidak hanya sekedar ketentuan, melainkan mengandung kemuliaan. Sebagaimana diketahui bahwa dalam kehidupan di dunia ini memiliki sesuatu yang istimewa penuh dengan persyaratan. Tidak mudah begitu saja. Batu kerikil sangat gampang kita temukan, berbeda dengan batu permata. Maka harganya pun berbeda sekali. I’tikaf tentu kedudukannya lebih dari itu.
I’tikaf secara bahasa berarti seorang manusia menetapi suatu keadaan, apakah baik atau buruk. Dalam Alquran difirmankan:
إِذْ قَالَ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
(Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” (QS. Al-Anbiya [21]: 52)
I’tikaf menurut syariat, sebagaimana disampaikan syeikh al-Barusawi, ialah menetapi dan tinggal di mesjid untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. I’tikaf dilakukan dengan diam di mesjid. Duduknya tersebut bukan sembarangan duduk, akan tetapi untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Caranya ialah dengan melakukan berbagai macam ketaatan.
Sacara hukum para ulama sepakat bahwa I’tikaf tidak wajib. Hukumnya Sunnah Muakkad. Ini merupakan diantara jalan mendekatkan diri diantara berbagai cara yang ada. Akan tetapi bila melihat keistimewaannya maka sangat disayangkan bila ditinggalkan.
Paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan I’tikaf harus diperhatikan. Pertama, Dalam hadits disampaikan bahwa Lailat al-Qadar harus dicari dengan sungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir. Kedua, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan I’tikaf. Malah, pada tahun yang beliau meninggal dunia, I’tikafnya selama dua puluh hari. Ketiga, I’tikaf memiliki keistimewaan yang banyak sekali.
Tempat I’tikaf adalah di mesjid jami. Dengan di mesjid jami menjadi mudah untuk salat lima waktu dan salat Jum’at. Sebagaimana diketahui bahwa mesjid merupakan tempat yang sangat mulia. Diantara tujuh golongan yang akan mendapat naungan pada hari tiada naungan selain naungan Allah diantaranya ialah orang yang hatinya terkait dengan mesjid. “Dari mesjid inilah dimulai seruan langit yang tinggi serta bersih ‘Allahu Akbar.’ Panggilan ini yang menyebabkan anggota badan orang mu`min menjawab. Maka bergetar setiap hati yang khusyu di setiap salat,” kata al-‘Affani.
“I’tikaf di mesjid membantu untuk sungguh-sungguh beribadah sepanjang siang dan malam. Yang I’tikaf berpaling dari syahwat istri dan berbagai bagian kehidupan dunia. Hal ini dilakukan untuk membersihkan diri, hati, dan pikiran dari kesibukan, mabuk juga syahwat dunia; begitupula untuk mengikat diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta mencari kebahagiaan akhirat,” seperti itu perkataan al-Maidani.
“Yang I’tikaf diharamkan istrinya selama I’tikaf di mesjid. Bila pulang ke rumah untuk keperluan yang sangat penting sekali maka tidak diperbolehkan diam kecuali seukuran untuk membereskannya. Hal ini seperti buang air atau untuk makan. Ia tidak dibenarkan mencium, memeluk, dan perkara lainnya yang menyibukkan selain dari I’tikaf,” pendapat Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Yang I’tikaf memutuskan hubungan yang biasa dengan sesama manusia. Memutuskannya tiada lain untuk kebaikan. “Ketika menyendiri dan memutuskan komunikasi dengan yang lain mengandung faidah yang berlimpah. Ia menyelamatkan diri dari manusia, dan yang lain pun selamat dari dirinya,” demikian penjelasan al-Barusawi.
Untuk meraih I’tikaf yang baik menurut syekih al-Hamd ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, hadirkan niat untuk melakukan amal saléh, dan mengharap pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla; kedua, hadirkan rasa hikmah dari i’tikaf, yaitu memutuskan diri untuk ibadah, dan mengumpulkan hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla; ketiga, tidak keluar dari mesjid kecuali untuk keperluan yang sangat penting sekali; keempat, menjaga amal siang dan malam hari dengan sunnah dan dzikir; kelima, semangat untuk bangun tidur sebelum waktu salat; keenam, membanyakkan nafilah, dengan variasi melaksanakannya; ketujuh, ditemani sebagian kitab ilmu, khususnya tafsir, untuk membantu tadabbur Alquran; kedelapan, menyedikitkan makan, bicara, dan tidur. Hal ini untuk mengantarkan lembutnya hati, khusunya jiwa, menjaga waktu serta menjauhi dosa; kesembilan, menjaga kebersihan selama waktu i’tikaf; dan kesepuluh, bagus sekali bila sesama yang i’tikaf saling berwasiat dalam kebenaran, sabar, nasihat, memperingati, dan saling bantu dalam kebaikan dan takwa.
Imam ‘Atho berkata: “Gambaran yang I’tikaf seperti perjalanan orang ke seorang tokoh yang agung. Orang tersebut duduk di hadapan pintu tokoh tadi sambil berkata: ‘Saya tidak akan meninggalkan tempat ini sehingga bérés urusan saya.’ Yang I’tikaf pun seperti itu pula. Ia duduk di rumah Allah dan berkata: ‘Saya tidak akan meninggalkan sebelum Ia memberi ampunan.” Semoga kita semua dapat melakukan i’tikaf dan mendapatkan keutamannya. Amin ya Rabbal’alamin.