Banten - persis.or.id, Muhammad Abduh baru beberapa hari bertugas di SMPN I Lebakgedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, setelah dimutasikan dari SMPN I Sobang, akhir tahun 2019. Belum sempat mengajar, karena masa transisi dan masih menguruskan administrasi mutasi. Lulusan Muallimin Pesantren Persatuan Islam Bentar 19, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, tahun 1998 itu, memang belum sempat masuk kelas.
Gedung SMPN I yang tak jauh dari Sungai Ciberang, ternyata kemudian habis disapu bersih banjir, persis pada hari Rabu, hari pertama tahun baru 2020. “Saya belum sempat mengajar di sini,” kata Abduh, guru bahasa Inggris, yang juga lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung ini, kepada Risalah, Selasa lalu.
Kini, Abduh dan para guru lainnya mengajar dalam tenda putih, bantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gedung SMPN I Lebakgedong yang dibangun 1,5 tahun lalu itu, kini sudah rata dengan tanah, menyatu dengan Sungai Ciberang, dan gedung SMPN I tak mungkin dibangun lagi di sini.
Di seberang gedung SMPN I, ada jembatan gantung yang berantakan, tak mungkin dilewati kendaraan, juga pejalan kaki. Air warna coklat tanah, yang bercampur dengan bebatuan, menghancurkan semuanya, hanya dalam hitungan menit.
Sekolah yang rusak se-Kabupaten Lebak akibat musibah banjir ini sebanyak 19 buah, termasuk SMPN I Lebakgedong yang memang paling parah. Jumlah jembatan yang rusak se-Kabupaten Lebak, seluruhnya 30 buah, termasuk jembatan gantung itu.
Dari 28 kecamatan se-Kabupaten Lebak, enam kecamatan di antaranya terkena musibah banjir Sungai Ciberang itu. Dari enam kecamatan, Lebakgedong memang paling parah. Ada korban harta, korban nyawa yang terbawa arus banjir, juga korban terkubur hidup-hidup akibat tertimbun tanah longsor.
Di daerah yang sama, ada seorang anak usia SD terbawa hanyut air banjir. Ibunya, di tengah derasnya air banjir, sempat memegang tangan sang anak, sekaligus mempertahankan ibunya yang memang sedang merangkul cucunya ini. Air terlalu deras, nenek dan cucunya terbawa arus air banjir. Dia gagal mempertahankan ibunya dan anaknya ini, dan tubuhnya berdarah-darah karena harus pula melawan kerikil dan tangkai pepohonan yang runtuh dalam derasnya air banjir.
Siang hari, dia bertemu dengan Bupati Lebak Hj. Iti 0ctavia Jayabaya, S,E., M.M. dengan tubuh yang lelah, lusuh, dan luka-luka. “Ibu, abdi mah henteu nyeri! Wios teu kedah dilandongan. Indung abdi jeung anak abdi wae hayang kapanggih”. (Bu, saya tak perlu berobat, karena tak merasa sakit. Ibu saya dan anak saya saja yang harus dicari). Bupati Lebak hanya bisa menenangkannya, dan air matanya menetes dari balik kacamatan minusnya.
Oleh Karena Kerusakan TNHGS?
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas 113.367 hektare, meliputi Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Lebak. Kawasan TNGHS di Kabupaten Lebak tercatat 42.925.15 hektare. Secara geografis, luas Kabupaten Lebak sendiri 304.472 hektare dalam 28 kecamatan dan 340 desa serta 5 kelurahan (http://www.tanahkita.id).
Dalam perut bumi TNHGS itu, banyak mengandung emas, di antaranya di wilayah yang kini jadi areal musibah longsor dan banjir. Pegunungan setempat digali, dilobangi (konon, ada 40 lubang penggalian) untuk pencarian bongkahan emas, yang kemudian diolah sendiri secara tradisional. Penambangan emas secara tradisional ini disebut gurandil. Nama resminya, penambangan emas tanpa izin (PETI). Inilah memang tempat mata pencaharian rakyat yang menjanjikan, sekaligus penuh tantangan, dengan pertaruhan nyawa.
Di kawasan TNGHS pula terjadi penumbangan pohon secara liar (illegal loging) sehingga hutan jadi rusak, dan air hujan tak lagi punya tempat penyangga setelah terserap tanah. Setiap akar pohon, menurut para ahli, adalah pertahanan banjir. Ketika akar pohon itu tak ada, maka tak ada pula tempat penyangga air hujan yang terserap tanah, lalu air hujan terus meresap, mengalir secara liar dan dahsyat. Musibah banjir pun akhirnya tak terelakkan.
Meski begitu, benarkah musibah banjir itu akibat penambangan emas dan penumbangan pohon di kawasan TNGHS? Cabang Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Cabang Kabupaten Lebak – Tangerang, seperti diakui Fiva Zabreno,pihaknya baru memotrettitik-titik lokasi musibah dari udara sebagai bahan Penelitian penyebab musibah banjir. (https://www.bantennews.co.id, 26/01/29, 18.06 WIB),“Kita sudah potret titik-titik musibah di kawasan TNGHS, di enam kecamatan,” kata Zabreno, sang kepala. Hasil Penelitian pula nantinya akan digunakan untuk penghijauan di lereng-lereng gunung yang rawan longsor.
Ketua DPRD Provinsi Banten, Andra Soni, seperti dilaporkan https//:kabar6.com (25/01/20), mendorong Pemerintah Provinsi Banten segera melakukan penelitian penyebab musibah banjir dan longsor. “Saat ini, yang beredar di kalangan masyarakat, penyebab banjir adalah penambangan emas secara liar dan penebangan pohon,” kata Andra.
Keterangan Kabid Humas Polda Banten, Kombes Pol. Edy Sumardy, seperti dilaporkan liputan6.com (22/01/2020, 06 : 24 WIB), penyebab utama musibah banjir di Kabupaten Lebak bukan karena penambangan emas tanpa izin (PETI), melainkan karena meluapnya Sungai Ciberang di wilayah Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan Kabupaten Lebak.
Tapi, penyebabnya yang pasti, diakui Kombes Edy, masih dalam penyelidikan dan penyidikan. Tim Satgas bentukan Polda Banten, misalnya, sudah meminta keterangan dari pelaku PETI dan saksi ahli. “Ada proses, prosedur, dan tahapan yang harus ditempuh, sehingga nanti hasil penyelidikan dan penyidikan bisa dipertanggungjawabkan,” kata Kombes Edy. Dalam penyelidikan dan penyidikan penyebab musibah banjir ini, Polda Banten dibantu Bareskrim Polri.
Presiden Joko Widodo, ketika berkunjung ke daerah musibah, menginstruksikan agar PETI ditutup karena diduga menjadi pemacu dan pemicu musibah banjir dan tanah longsor di enam kecamatan se-Kabupaten Lebak. Gubernur Banten, H. Wahidin Halim, kemudian menindaklanjuti instruksi Presiden itu dengan menggelar rapat koordinasi Forum Komunikasi Pimpinan Daewrah (Forkominda) tingkat Provinsi Banten. Polda Banten, seperti dilaporkan banyak media massa, kemudian menutup 10 lokasi PETI.
Persis dan Musibah Banjir
Kabar musibah banjir Kabupaten Lebak itu sampai pula ke telinga seorang perempuan pebisnisyang juga ketua Bidgar Zakat, Infak, dan Sadakah PD Persistri Kota Tasikmalaya. Naluri sadakahnya bangkit, dan memang ibu empat anak laki-laki ini suka sekali berpetualang ke tempat-tempat musibah, misalnya pernah pula ke Sulawesi, untuk menyampaikan bantuan. Selain jadi anggota tasykil PD Persistri, perempuan berusia 40-an tahun ini nempel pula dengan Sigab PD Persis Kota Tasikmalaya. Dengan Sigab ini pula, Ai sampai pula ke Kabupaten Lebak.
Hajjah Ai Nurhayati, demikian perempuan pebisnis kain mukena dari Kota Tasikmalaya itu, hadir ke lokasi musibah di Kabupaten Lebak untuk menyampaikan bantuan perlengkapan masjid sementara, seperti karpet, meja kursi untuk khatib, pengeras suara, dan lain-lain. “Insya Allah, saya akan kembali lagi ke Lebak,” katanya, penuh semangat, kepada Risalah.
Dari lingkungan internal Persis, diakui Ketua Sigab PW Persis Banten, Ustaz Nopi Abdul Farid, bantuan datang pula dari PD Persis lainnya di Provinsi Jawa Barat. Penyerahan bantuan ada yang langsung, ada pula yang dititipkan.
Di lingkungan PW Persis Banten, Pusat Zakat Umat (PZU) dan Sigab bekerja sama menghimpun dana, baik untuk operasional maupun untuk para korban musibah banjir. “Kami membeli kebutuhan sesuai dengan permintaan dari para korban musibah banjir,” kata Koordinator Lapangan Sigab PW Persis Banten, Ahmad Sayuti, yang juga ketua PW Pemuda Persis Bantenini kepada Risalah.
Aksi Sigab PW Persis Banten selanjutnya, menurut Ketua Ustaz Nopi Abdul Farid, berupa pemulihan mental para korban banjir. “Kebutuhan fisik, seperti makanan, minuman, pakaian, sudah cukup. Bantuan para dermawan melimpah,” kata Ustaz Nopi pula.
PZU Persis Banten menyerahkan pula bantuan untuk PD Persis Bekasi, yang juga sejumlah anggotanya terkena musibah banjir. Bantuan diserahkan oleh Ketua PZU Provinsi Banten, Haji Juanda, dan diterima oleh Ketua PD Persis Bekasi, Ustaz Beben Mubarok, M.A. dalam kesempatan pengajian di STIA Maulana Yusuf Banten, di Kota Serang, Ahad pekan lalu.
Bantuan dari para dermawan, sesaat setelah diketahui terjadinya musibah banjir, datang dari mana-mana, dari berbagai pihak dan kalangan, Pemerintah dan swasta, ormas dan parpol. Kalau bangsa Indonesia ini disebut-sebut paling gemar bersadakah, maka musibah banjir Lebak salah satu buktinya.
Selamat Tinggal Kemiskinan!
Sebuah kampung yang gersang dan berbukit, di sebuah pedalaman Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak. Penduduk hanya berkebun atau bertani. Inilah satu-satunya pekerjaan mereka sehari-hari.
Entah dari mana asalnya, tanah gersang dan berbukit itu diketahui mengandung emas yang bisa ditambang secara tradisional. Mereka coba, dan ternyata bukan hoax.
Maka, aksi penggalian demi penggalian bongkahan emas terus dilakukan, dan perlahan tapi pasti, pekerjaan baru ini kemudian mengangkat pula tingkat penghasilan mereka ke arah yang jauh lebih sejahtera.
Mereka tak lagi miskin. Terjadilah perubahan sosial sebnagai dampak penghasilan emas. Maka, sebuah spanduk dipasang di kampung itu. Bunyinya, sensasional, “Selamat tinggal kemiskinan”.
Apakah perut bumi Kecamatan Cibeber mengandung emas pula, seperti kawasan gunung dan bukit di Kecamatan Lebakgedong, yang jaraknya puluhan kilometer ke arah selatan? Jauh, memang, tapi kedua kecamatan itu satu kesatuan hamparan wilayah “urat” emas dalam perut bumi masing-masing.
Penutupan PETI di wilayah Kecamatan Lebakgedong berimbas pula pada penambangan emas di wilayah Cibeber. Mereka resah karena akan kehilangan pekerjaan dan sekaligus penghasilan kalau saja lahan emas mereka ditutup seperti di wilayah Kecamatan Lebakgedong.
Gagasan kemudian muncul. Mereka berencana membentuk Koperasi Tambang Rakyat, di dua desa : Cikotok dan Pasirgombong. Melalui koperasi itu, mereka berharap, aksi penambangan emas jadi legal, dan diwadahi oleh koperasi. Rapat rencana pembentukan koperasi itu akan digelar dalam waktu dekat ini.
“Freeport”nya Lebak
Dulu, Cikotok adalah “Freeport”nya Kabupaten Lebak. Produksi emas sudah dihentikan sejak sekitar 15-an tahun lalu setelah beroperasi sejak zaman Belanda, dan memang Belanda yang menemukan dna memulaianya. Mengapa dihentikan? Karena tak lagi menguntungkan kalau ditambang. Akan lebih besar biaya produksi daripada hasil emasnya.
Bawah tanah Cikotok sendiri sebetulnya sudah penuh lubang bekas penggalian bongkahan emas. Tapi, mengapa Cikotok tak pernah ambruk? Karena memang penggaliannya dilakukan secara sistematis dan terkontrol. Ada penyangga lubang, banyak tiang, sehingga sampai kini tak terdengar Cikotok ambruk.
Masuklah Anda ke lorong-lorong vertikal dan horizontal di bekas penggalian emas Cikotok ini. Menegangkan dan mengasyikkan dalam lorong gelap yang diterangi lampu senter yang kita bawa. Ada air sebening kristal mengalir di beberapa lorong.Sungguh, sangat menarik jadi wisata geologi!
Perut bumi Kabupaten Lebak memang mengandung emas. Bahkan, dicurigai ada emas bawah laut di Pantai Selatan yang luas sejuh mata memandang. Ada sebuah nama kecamatan, di Kabupaten Lebak ini, namanya Kecamatan Gunung Kencana. Mungkinkah sebuah isyarat, perut bumi kecamatan ini mengandung kencana (emas) yang belum tersentuh? (Laporan Dean Al-Gamereau dari Kabupaten Lebak).
Sebuah kampung, setelah disapu bersih musibah banjir, di pedalaman Kecamatan Lebakgedong (Foto : Nopi Abdul Farid, Sigab PW Persis Banten)