Salah satu dari misi besar dakwah Islamiyah adalah sebagai gerakan penyelamatan umat manusia. Merujuk kepada kandungan ayat ke 103 dari surat Ali Imran. " ...dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika kalian dalam keadaan bermusuhan kemudian Allah mempersatukan hati kalian sehingga dengan nikmat Nya itu kalian menjadi bersaudara. Dan ingatlah ketika kalian sedang berada di tepi jurang neraka lalu Allah selamatkan kalian daripadanya..."
Sebagai gerakan penyelamatan, umat dan bangsa Indonesia tidak kurang membutuhkan gerakan dakwah untuk menyelamatlan mereka dari kehancurannya. Terutama kehancuran akibat perpecahan dan kehancuran karena kebodohan sehingga salah jalan kehidupan menjurus kepada tepi jurang neraka. Dengan perpecahan membawa kehancuran akibat hilangnya marwah dan kekuatan umat sehingga akan mudah sekali dikalahkan dan dikuasai musuh. Sedang dengan kebodohan umat menjadi salah arah perjalanan, yang dicita- citakannya kejayaan dan kemuliaan tetapi jalan yang ditempuhnya menuju kehancuran.
Dakwah sebagai gerakan penyelamatan akidah, ubudiah, akhlak dan moral individu, keluarga, masyarakat, hingga bangsa dan negara, membutuhkan aktor-aktor yang mumpuni, yaitu para duat ilallah yang mewarisi karakteristik para nabi: shidiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Dengan kualitas meneladani sifat para nabi itulah memungkinkan gerakan penyelamatan umat dapat dilakukan dengan maksimal.
Dalam dakwah dibutuhkan kefatonahan para duat sebagai aktor utama gerakan dakwah dalam memilih strategi yang paling tepat untuk membangkitkan potensi kekuatan umat dan mempersatukannya.
Sebagai salah satu contoh kefatonahan yang dimiliki salah seorang aktor dakwah yang paling melegenda kepiawaiannya di bidang strategi dakwah adalah Abuya Dr.Mohammad Natsir, rahmatullah alaih, dimana salah satu filosofinya yang selalu uptodate adalah ungkapan "... kalau dulu kita berdakwah lewat politik, sekarang kita berpolotik lewat dakwah.." (Pemimpin Pulang: 157)
Dakwah memang sangat erat hubungannya dengan siyasah bahkan dakwah itu tidak dapat dilaksanakan dengan tepat jika tidak menggunakan sisayat, yaitu siyasatud dakwah. Sebagaimana juga siyasah islamiyah tidak bisa dilepaskan dari tujuan dan kaidah-kaidah dakwah.
Ketika politik kekuasaan Orde Baru sangat represif dan tidak membuka peluang tumbuh suburnya gerakan partai politik Islam, Pak Natsir justru mengoptimalkan gerakan dakwah yang berdampak menguatnya politik Islam di kemudian hari. Pilihan strategis yang ditempuh Pak Natsir sungguh luar biasa. Dengan menjadikan tiga basis kekuatan umat sebagai pusat utama gerakan dakwah apa yang kemudian sering disebut sebagai tiga pilar utama gerakan dakwah: yaitu Mesjid, Pesantren, dan Kampus. Fakta kemudian menunjukan bahwa kebangkitan dakwah dan politik Islam Indonesia sejak dibubarkannya Masyumi hingga era reformasi ini dimotori oleh tokoh-tokoh yang lahir dari kaderisasi tiga pilar ini. Melalui kajian-kajian keislaman yang intensif, khutbah jumat, kuliah romadhan, dan sebagainya bangunlah kesadaran dan ghirah masyarakat muslim. Dengan pesatnya perkembangan pendidikan pesantren dan meningkatnya kualitas keilmuannya sehingga lahirlah dari pesantren kader-kader ulama yang sekaligus cendekiawan. Demikian pula melalui gerakan dakwah kampus dari perguruan tinggi perguruan tinggi negeri yang penting di Indonesia, terlebih dari perguruan perguruan tinggi Islam melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang juga ulama. Dengan kader kader umat yang mumpuni seperti itulah pada akhirnya sebagian pos-pos penting dan jabatan strategis di lembaga pemerintahan pusat dan daerah maupun lembaga non pemerintahan mulai diisi kader-kader umat yang peduli dan militan terhadap dakwah.
Maka jika kita menyaksikan geliat dakwah Islamiyah yang begitu menggairahkan di bumi Indonesia pada akhir tahun delapan puluhan hingga masa reformasi sekarang ini, maka tidak mungkin kita mengabaikan kontribusi yang begitu besar dari keberhasilan strategi tiga pilar dakwah diatas.
Tantangan Tiga Pilar Dakwah.
Setelah lewat duapuluh satu tahun masa reformasi, mungkinkah posisi strategis dari tiga pilar dakwah ini bisa terus dipertahankan bahkan ditingkatkan peran dan fungsinya sehingga memberi kontribusi yang lebih besar lagi bagi kejayaan Islam di bumi nusantara ini.?
Jawabannya tentu saja bisa dan harus terus dikembangkan. Hanya masalahnya, apakah musuh-musuh dakwah akan berdiam diri dan membiarkan kebangkitan Islam ditopang oleh tiga pilar penting ini? Banyak pihak yang tidak suka terhadap kebangkitan umat di negeri ini sejak dari awal kemerdekaan hingga saat ini berusaha terus mempengaruhi penguasa serta memberi opini yang menakutkan jika Islam benar-benar menjadi ideologi umatnya.
Oleh sebab itu berbagai cara dilakukan agar semua potensi dan basis kaderisasi umat itu bisa dikooptasi dan dikendalikan. Kemudian momentum itu ditemukan dengan merebaknya isu terorisme global, yang terus menerus dikerucutkan kepada umat Islam sehingga menjadi isu ekstrimisme, radikalisme, dan intolerans.
Aksi-aksi kekerasan dan bom bunuh diri pasca reformasi yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang diduga terkait jaringan teroris global maupun lokal, terlepas mereka benar-benar jaringan teroris ataukah sebagai korban yang "ditorerisasikan" yang pasti opini masa telah terbentuk bahwa Indonesia darurat teroris.
Penelitian berbagai lembaga yang entah kebetulan atau sebuah skenario besar mereka bersama sama meneliti perkembangan pemikiran radikal dan intolerans difokuskan kepada tiga basis dakwah, yaitu Mesjid, Pesantren, dan Kampus. Hasilnya pun sama seperti sengaja didesain bersahut-sahutan bahwa sejumlah besar Mesjid, Kampus, dan Pesantren benar benar telah terpapar paham radikal dan intoleran yang menjadi akar terorisme.
Tentu saja hasil-hasil penelitian dengan biaya yang tidak sedikit itu menjadi justifikasi yang jitu bagi penguasa pemangku kebijakan untuk mengeluarkan berbagai regulasi untuk memantau dan mengendalikan Mesjid, Kampus, dan Pesantren. Dengan alasan program deradikalisasi itulah pintu masuk ke dalam tiga pilar dakwah itu yang selama ini tertutup menjadi terbuka lebar.
Banyak ilmuan dan sebagian guru besar yang menjadi tokoh gerakan dakwah di kampusnya mungkin tidak bisa lagi mempunyai posisi penting dan strategis mengarahkan gerakan kampus, ia harus tersingkir dengan stigma terpapar radikal. Demikian juga para aktivis dakwah mesjid dibuat ketar-ketir, apalagi mesjid milik BUMN, mereka juga akan dipojokan dengan stigma radikal dan intolerans ketika menyelenggarakan dakwah yang tegas menyatakan mana yang hak dan mana yang sesat apalagi jika mengandung unsur kritik yang dinilai provokasi terhadap kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat. Dengan alasan deradikalisasi pula dakwah dan ceramah di mesjid diawasi bahkan majelis taklim harus mendaftarkan diri lengkap dengan susunan pengurus, para ustaz pematerinya, hingga daftar para pesertanya.
Untuk pilar yang ketiga, pilar gerakan dakwah yang paling pital, yaitu Pesantren, pemerintah juga telah membuat sejumlah regulasi dan kebijakan. Dari mulai mengontrol kegiatan dan kurikulum pesantren, rencana penghapusan terma jihad dan khilafah dari mata pelajaran agama Islam, hingga Undang-Undang Pesantren.
Kita semua belum bisa memastikan kemana arah dari semua kebijakan dan regulasi yang mengatur dan mengendalikan tiga pilar harakah dakwah Islamiyah itu ditujukan. Apakah benar-benar sebuah tujuan yang luhur demi keutuhan masa depan umat, bangsa dan negara dan terhindar dari perpecahan dan disintegrasi. Dan memang demikian itulah yang diharapkan serta didicita-citakan para aktivis dakwah, Indonesia yang bersatu, berdaulat, mandiri, adil dan makmur di bawah keridhoan Allah Swt. Namun tidak berarti bahwa kita tidak harus hati-hati dan waspada terhadap kemungkinan dan dampak negatif yang mungkin muncul dari kebijakan dan regulasi-regulasi seperti itu. Bukan hal yang mustahil melainkan hal yang lumrah dalam sejarah para rezim dan penguasa, regulasi dan aturan kebijakan yang netral dan objektif kemudian diselewengkan menjadi pintu masuk dan alat legitimasi untuk melakukan tindakan represif terhadap lawan politiknya dan kelompok-kelompok yang dianggapnya sebagai kaum oposisi.
Karena itu menjadi kewajiban kita pada forum ini untuk mengkaji sejauh mana fenomena berbagai kebijakan dan regulasi pemerintah terhadap Mesjid, Pesantren , dan Kampus itu. Apakah suatu yang memberi harapan optimistis bagi dakwah ke depan atau sebuah potensi tantangan yang bisa berdampak buruk bagi gerakan dakwah.
Wallahu Alam bisshawab.
Dr. Jeje Zaenudin 24 Des 2019