Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia bahkan dunia digemparkan oleh musibah dengan mewabahnya virus corona atau covid-19. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari penularan virus yang secara cepat banyak tersebar diberbagai wilayah di Indonesia, bahkan dunia. Update 28 Maret 2020 dari Web resmi Kemenkes RI (kemkes.go.id), Jumlah kasus positif Covid-19 menjadi 1155 tersebar di 29 Provinsi, dengan jumlah total kematian 102 orang.
Penularan virus Covid-19 ini telah mewabah secara luas, bahkan Word Health Organization (WHO) telah menetapkan virus corona atau Covid-19 sebagai Pandemi. Hal itu dikarenakan virus corona telah menyebar lebih dari 100 negara di dunia. WHO sendiri mendefinisikan Pandemi sebagai situasi ketika populasi seluruh dunia ada kamungkinan terkena infeksi ini dan berpotensi sebagian dari mereka jatuh sakit. Menurut KBBI, Pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak dimana mana atau meliputi geografi yang luas. Artinya, virus Corona telah diakui menyebar luas hampir ke seluruh dunia. Dengan terjadinya fenomena di atas, maka pantaslah penyebaran virus ini dikatakan sebagai musibah bagi kita semua dan menjadi ujian yang harus disikapi dengan bijak.
Jika kita perhatikan lebih cermat, dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bagaimana keharusan kita dalam menghadapi musibah yang terjadi, sebagaimana dalam QS. Al-Hadid ayat 22, QS. At-Thagahabun ayat 11 dan QS. Al-Baqarah ayat 155:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22)
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (11)
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Merujuk dari redaksi tiga ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa segala musibah yang ada di dunia ini merupakan ujian yang berikan oleh Allah kepada seluruh umat manusia dan haru disikapi dengan sikap sabar. Dalam tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Hadid ayat 22, ayat tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini telah tercatat lauhul mahfuzh sebelum manusia diciptakan, dan ujian yang menimpa manusia itu bisa berupa musim paceklik atau kekeringan dan bisa juga berupa rasa sakit dan penyakit. Imam Qatadah mengatakan bahwa telah diceritakan kepada kami bahwa tiada seorang pun yang terkena luka karena batang dan tidak pula musibah yang menimpa telapak kaki (tertusuk duri) dan tidak pula terkilirnya urat, melainkan karena perbuatan dosa (yang bersangkutan), dan apa yang dimaafkan oleh Allah darinya adalah lebih banyak.
Di dalam QS. Al-Baqarah ayat 155 dijelaskan bahwa Allah SWT memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan atau musibah kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka dengan rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Ayat ini cukup relevan jika dihadapkan pada situasi pandemi corona hari ini dimana umat manusia banyak merasa takut dan khawatir terkena virus dan banyak memilih tindkan preventif (pencegahan) untuk mencegah tertularnya virus ini. Belum lagi di beberapa negara dan wilayah pada beberapa waktu lalu sudah diberlakukan social distancing (mengurangi interaksi atau menjaga jarak dengan orang lain) dan lockdown (menutup wilayah yang terjangkit wabah agar tidak ada orang yang masuk dan keluar) yang menyebabkan sebagian umat manusia mengalami kelaparan karena kekurangan bahan pangan, melemahnya perekonomian negara karena terbatasnya interaksi sosial dan perekonomian antar manusia. Menyebarnya virus ini, menyebabkan pula banyak manusia mengalami kematian dan kehilangan sanak saudara. Berdasarkan hal tersebut, maka ayat ini cukup relevan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada hari ini ketika mewabahnya pandemi corona, sehingga dalam kondisi ini kita dianjurkan untuk berlaku sabar.
Dalam sebuah hadis shahih pun dijelaskan bahwa kita selaku muslim diharuskan berlaku sabar. Rasulullah SAW pernah bersabda:
عَجَبًا لِلْمُؤْمِنِ، لَا يَقْضِي اللَّهُ لَهُ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ، إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاء صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاء شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ
Sungguh mengagumkan orang mukmin itu, tiadalah Allah memutuskan suatu keputusan baginya kecuali adalah kebaikan belaka baginya. Jika ia tertimpa kedukaan, maka ia bersabar, dan bersabar itu adalah baik baginya. Dan jika ia mendapat kesukaan, maka bersyukurlah ia dan bersyukur itu lebih baik baginya. Dan hal itu tidak didapati pada seorang pun kecuali pada diri orang mukmin.
Maka dari itu, HIMI PERSIS perlu mengambil peran yang bijak dalam menghadapi kondisi seperti ini dengan menyadari betul peran seperti apa yang harus diambil sebagai kader yang melabeli diri dengan muslimah muda cendekia. Karena, jargon tersebut merupakan semangat yang HIMI PERSIS pilih sehingga harus diemban dalam segala ruang dan waktu ketika kita telah mendeklarasikan diri sebagai kader HIMI PERSIS.
Dalam Narasi Gerakan HIMI PERSIS setidaknya ada tiga alasan mengapa HIMI PERSIS mengambil Muslimah Muda Cendekia sebagai jati diri bagi kadernya. Pertama, HIMI PERSIS menjadikan Islam sebagai asas organisasi. Artinya, HIMI PERSIS adalah organisasi yang menjadikan Islam sebagai pondasi seluruh tindak tanduk langkahnya. Islam menjadi dasar dan tujuan yang dijadikan organisasi. Sebagai sebuah jati diri tentu muslimah sangat tepat untuk merepresentasikan kader HIMI PERSIS. Kedua, HIMI PERSIS adalah organisasi yang mewakili kelompok muda. Usia anggotanya tidak boleh lebih dari 30 tahun. Sesuai dengan UU kepemudaan No. 40 tahun 2009, Pemuda atau kelompok muda adalah dari 16-30 tahun. Karenanya, kata muda dipilih untuk menegaskan identitas kader HIMI PERSIS sebagai organisasi yang didalamnya adalah kelompok muda dan berjiwa muda untuk mengembangkan dan merubah tatanan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Ketiga, sebagai bagian dari gerakan mahasiswa tentu tidak bisa dilepaskan dari ranah intelektual. Adalah aneh jika gerakan mahasiswa atau mahasiswa itu sendiri jauh dari budaya intelektual. Kekuatan dan kekhasan mahasiswa adalah intelektualitas. Maka dipilihlah cendekia sebagai representasi dari kemahasiswaan. Kata cendekia adalah padanan kata dari intelektual. Tentu saja bukan tanpa alasan kata cendekia dipilih ketimbang intelektual.
Nurcholis Madjid menjelaskan, Cendekiawan –yang mempunyai sifat dan karakter cendekia– digambarkan sebagai orang-orang yang berilmu atau ulama. Dalam al-Quran, ulama hanya disebut dua kali. Pertama, untuk menunjuk kepada para sarjana keagamaan di kalangan kaum Yahudi yang mengetahui ajaran-ajaran kitab suci (ulama Bani Israil; QS. AS-Syu’ara; 197). Kedua, dalam rangka pujian kepada mereka sebagai golongan yang benar-benar bertaqwa kepada Allah, melalui kemampuannya memahami berbagai gejala alam, sejak dari hujan yang diturunkan Allah dari ketinggian, buah-buahan yang berwarna-warni, bahan-bahan dalam susunan geologis gunung-gunung yang berwarna-warni, aneka ragam manusia, dan aneka ragam binatang, baik liar maupun peliharaan (lihat QS. Al-Fathir; 27-28). Dengan demikian, lanjut Nurcholis, menurut pengertian Al-Quran, kaum cendekiawan (yang mempunyai sifat cendekia) atau ulama ialah mereka yang sanggup dengan baik memahami seluruh gejala alam di sekitarnya (seperti kemampuan Adam mengenali nama-nama) sebagai bekal menjalankan tugas kekhalifahan, lalu mampu menangkap pesan-pesan ilahi dibalik gejala-gejala alam sekitar itu sebagai ayat-ayat atau sumber-sumber ajaran dan menyampaikannya kepada masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, kata cendekia diadopsi terlebih dahulu, kemudian diadaptasi dengan menggunakan perspektif Islam, dalam hal ini dengan menggunakan innamal ilmu bitta’allum. Maka dengan alasan itulah kata cendekia lebih dipilih dibanding dengan kata intelektual untuk menjadi salah satu jati diri kader HIMI PERSIS.
Berdasarkan penjelasan mengenai jati diri kader muslimah muda cendekia dari Narasi Gerakan HIMI PERSIS di atas, setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mengambil peran sebagai kader muslimah muda cendekia dalam menghadapi pandemi corona hari ini, diantaranya adalah:
1. Tetap meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan, dan ghirah jihad dalam menegakkan ajaran Islam.
Menyadari diri sebagai kader HIMI PERSIS berarti menyadari sepenuhnya akan misi organisasi yang diemban sebagai kader dakwah Islam, khususnya aktivis muda Jam’iyyah Persatuan Islam. Tidak cukup hanya sampai menyadari tapi tingkat kesadaran itupun harus dibersamai dengan wujud keimanan, ketaqwaan dan ghirah dalam berjihad terlebih dalam kondisi pandemi corona hari ini.
Sebagai kader HIMI PERSIS, membangun keshalehan sosial saat ini merupakan sebuah kewajiban. Di sini lah peran HIMI PERSIS sangat dibutuhkan oleh umat. Karena, jangan-Jangan apa yang terjadi hari ini adalah azab atau peringatan yang ditimpakan akibat akumulasi dari semua perbuatan dosa yang telah dilakukan.
Meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan kepada Allah dengan memperbanyak ibadah, dzikir, beristigfar, memperbanyak shadaqah, dan berdoa, itulah yang harus disadarkan secara kolektif kepada masyarakat. Selain itu, menjaga ghirah jihad untuk tetap memperjuangkan agama-Nya juga merupakan suatu hal yang penting. Semua harus meyakini apa yang diikhtiarkan pada hari ini merupakan jihad yang harus tetap dijaga ruh-nya agar senantiasa berkobar dan tidak pernah padam.
2. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian dalam mengikuti panduan dan protokoler tindakan preventif untuk memutus mata rantai penyebaran virus.
Dengan banyaknya virus yang menyebar, tentu saja para ulil amri (dalam hal ini pemerintah atau pimpinan Jam’iyyah) tidak akan tinggal diam begitu saja melihat kondisi penyebaran virus yang makin mewabah. Maka dari itu adanya aturan social distancing, atau bahkan lockdown merupakan suatu ikhtiar untuk memutus mata rantai penyebaran virus. HIMI PERSIS selaku umat dan rakyat yang dipimpin menyadari adanya ikhtiar baik tersebut dan akan turut serta mengedukasi masyarakat untuk mentaati anjuran dari pemerintah. Karena, keputusan yang diambil merupakan hasil diskusi dan pertimbangan yang panjang. HIMI PERSIS harus berkomitmen untuk memberantas segala bentuk kejahilan yang dapat merugikan, karena bentuk ikhtiar ini sesuai dengan hadis dari Rasulullah SAW :
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR Ahmad, Musnad Ahmad, II: 443, No. 9720, Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, V: 142, No. 24.543)
لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ“Dan janganlah membawa onta yang sakit kepada onta yang sehat” (HR Al-Bukhari No. 5774 dan Muslim No. 2221)
Ada satu do’a yang diajarkan Rasulullah SAW agar terhidar dari virus yang mewabah, yaitu:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ الأَسْقَامِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit sopak, gila, kusta, dan dari segala penyakit yang buruk/mengerikan lainnya.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 93, No. 1554, Ahmad, Musnad Ahmad, III: 192, No. 1302).
3. Meningkatkan rasa solidaritas antar sesama muslim dan manusia pada umumnya.
Sudah menjadi sebuah keharusan bagi kita selaku kader muslimah untuk meningkatkan rasa solidaritas antar sesama muslim, ataupun sesama manusia dengan adanya kesadaran yang tertancap dalam diri bahwa rasa solidaritas antar sesama muslim itu dibangun atas dasar keimanan “kal jasadil wahid” dan menyadari bahwa sesama manusia kita harus memiliki rasa ukhuwah basyariyah/insaniyyah.
Dalam konteks fenomena pandemi corona hari ini, rasa kepekaan terhadap lingkungan dan rasa solidaritas bisa diwujudkan dalam bentuk aksi nyata membantu keperluan dan kebutuhan yang penting dibutuhkan saat ini semampu kita, meskipun itu hanya membantu men-share info / gerakan gerakan sosial yang terpercaya. Setidaknya kita telah mampu menjadi salah satu keran untuk berlangsungnya kebaikan dan kebermanfaatan bagi orang lain yang membutuhkan. Dan masih banyak lagi kegiatan sosial yang bisa dilakukan untuk membantu melawan pandemi corona, dengan banyak bersedekah dan lain sebagainya.
Terakhir, terkait ukhuwah bagi seorang aktivis muslimah, sejatinya ia harus menyadari bahwa persaudaraan (ukhuwah) merupakan hal awal yang harus ia bangun untuk membangun kerja kerja tim yang dahsyat demi tercapainya kesuksesan bersama, meskipun dalam konteks hari ini interaksi sosial harus sangat dibatasi untuk memutus rantai penyebaran virus, namun niatan untuk menjalin ukhuwah dalam hati senantiasa tidak boleh padam. Hari ini banyak sekali media untuk menjalin ukhuwan/solidaritas tersebut. Selain itu, sebagai aktivis muslimah, ia pun harus menyiapkan dirinya untuk membayar harga demi mewujudkan persaudaraan (ukhuwah) yang sejati. Harga yang harus dibayar adalah kesiapan untuk salamatu shadr (lapang dada) sebagai level terendah, sampai harga nilai tertinggi dari ukhuwah, yaitu itsar (altruisme/mendahukan orang lain). Tak jarang ketika mewabahnya virus corona hari ini terjadi perbedaan pendapat sehingga terjadi dinamika yang mungkin mengarah ke arah yang lebih buruk, hal ini yang harus sama Sama kita redam, dan mendahulukan kepentingan bersama agar tidak memperkeruh keadaan. Karena masih banyak hal dan tugas positif yang harus dilakukan.
Hal ini yang harus sama sama kita insafi agar tetap kuat berjamaah dan berukhuwah meskipun banyak rasa sakit yang ditimbulkan dari adanya interaksi sosial, namun ukhuwah yang sehat tetap bisa diikhtiarkan dan dibangun melalui komunikasi yang sehat dan budaya tabayun bila ada informasi yang tidak mengenakan. Ali Bin Abi Thalib pernah berkata “Kekeruhan dalam jamaah lebih baik daripada kebeningan dalan kesendirian.” Rasulullah SAW pun pernah bersabda “Seorang mu’min yang bercampur gaul dengan manusia dan bersabar atas kesakitan (akibat bergaul) yang menimpa mereka lebih baik dari orang yang yang tidak bercampur gaul dengan manusia dan tidak mampu bersabar atas kesakitan yang menimpa mereka.” (HR. Ibnu Majah, dengan sanad yang hasan).
4. Meningkatkan pengetahuan mengenai virus corona yang benar yang terjadi hari ini agar tidak terjebak dalam kepanikan dan isu-isu yang tidak bersumber.
Sebagai kader cendekia, yang merupakan lanjutan jati diri kader dari falsafah gerakan ‘ulul ilmi, ia harus menyadari bahwa ia adalah kader cendekia dan kader ilmiah dalam segala ruang dan waktu, dalam segala kondisi, termasuk kader cendekia pada hari ini ketika sedang terjadi penyebaran wabah corona. Tak terkecuali kita pun harus mengambil peran untuk sama sama mencerdaskan, baik mencerdaskan diri, maupun orang lain mengenai kondisi yang terjadi pada hari ini.
Buruknya kondisi pandemi corona hari ini tak jarang diperparah dengan menggeliatnya opini opini masyarakat yang secara sadar ataupun tidak malah semakin membuat gaduh masyarakat dengan lontaran berita yang bersumber dari emosional semata dan kedangkalan ilmu. Hal ini disebabkan miniminya tingkat literasi masyarakat terhadap ilmu. Setidaknya hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kemasan berita mengenai virus covid-19 yang semakin membuat khawatir dan menakutkan, namun adapula berita yang membuat masyarakat menjadi tenang.
Tentunya, berita yang harus diambil adalah berita yang mendekati kepada kebenaran yang bersumber dari sumber resmi dan terpercaya. Karena, berita dengan kemasan sebaran virus corona yang mencekam akan membuat masyarakat semakin gelisah dan panik secara berlebihan. Ketika kondisi psikologis kita berada pada kondisi tidak stabil dan stress, maka sistem imun tubuh akan berkurang dan menyebabkan diri mudah tertular oleh virus.
Maka disinilah peran kita sebagai kader cendekia harus mengambil peran dalam mencerdaskan masyarakat mengenai hal ini, dengan menyebarkan ilmu yang benar dan mengemasnya menjadi khabar yang menenangkan. Tidak serta merta menyebarkan berita yang tak jelas sumbernya, apalagi yang menimbulkan bertambahnya kegaduhan dan kepanikan yang berlebihan pada masyarakat, namun bukan berarti kita pun harus mencela dan menimbulkan ketidak percayaaan ketika ada berita atau himbauan yang kurang mengenakkan untuk kita tersebar. Tetap selektif dan berpikir positif, jangan bosan untuk menebar kebermanfaatan dan mengedukasi banyak orang. Tetap kuatkan Ikhtiar, Do’a, dan Tawakkal!! Salam HIMI PERSIS!! Salam Mulimah, Muda, Cendekia!! (Bintun-Nahl-Cangkuang, Kab.Bandung)
Kepesantrenan
19 Januari 2025 | 14:04
Daurah Al-Qur’an PPI 100 Banjarsari: Membangun Kecerdasan Spiritual Santri