Siapa yang Perlu Keadilan?

oleh Reporter

15 Januari 2021 | 11:32

Ketika mendengar kata keadilan maka yang tergambar sekilas sangat memerlukan ialah yang menuntut keadilan. Adapun yang mempunyai peran menegakkan keadilan seolah tiada keperluan. Terlebih bagi yang tidak terikat dengan dua posisi tersebut. Namun, apakah memang demikian, atau justru sebaliknya?

Beberapa waktu lalu ada tokoh Islam yang menyelenggarakan acara melibatkan banyak orang. Kerumunan pun tak dapat dihindari. Pihak pemerintah daerah memberikan teguran dan memberlakukan denda. Sang tokoh pun mengakui dan memenuhi dendanya. Di lain tempat ada kerumunan yang tidak kalah banyak, baik kegiatan keagamaan maupun politik. Untuk kegiatan kedua ini ternyata tidak sama perlakuannya dengan yang diberikan kepada tokoh pertama. Jangankan ditegur dan didenda, disebut pun tidak oleh yang mempermasalahkan tokoh pertama tadi. Bahkan, ketika ada yang mempertanyakan sikap tersebut berbagai argumen berbeda pun keluar membelanya.

Peristiwa di atas mendorong pihak yang masih mempunyai nurani dan keinginan benar meneriakkan harusnya ditegakkan keadilan. Apakah secara pribadi, berkelompok, maupun bersinergi dalam menyuarakan kebenaran langkahnya tidak dijadikan pertimbangan. Bahkan terlihat suara-suara tersebut berusaha dipadamkan. Sekali lagi bersuara maka upaya pun diarahkan untuk mendiamkan. Pihak lain menyatakan sikap yang sama maka sama dibuat tidak berdaya. Pemohon keadilan pun sulit menemukan keinginan dan haknya. Seolah-olah keadilan tersebut hanya diperlukan bagi yang meminta. Adapun yang berposisi menegakkan seperti tidak punya kepentingan terhadapnya.

Untuk melihat keadaan demikian kita harus menengok sejarah. Timbul tenggelamnya suatu bangsa dan kekuasaan sangat terikat dengan pemeliharaan keadilan. Semakin terjaga keadilan maka rakyat semakin cinta, bahkan musuh pun menjadi segan. Manakala tidak terjaga keadaan sebaliknya akan ditemukan. Orang yang cinta kebenaran senantiasa mengingatkan keharusan perwujudan keadilan. Oleh karenanya kita dapat memahami kenapa al-Qur`an berisi kisah-kisah. Termasuk didalamnya kisah pergulatan antara yang memelihara keadilan dan yang menghancurkannya. Al-Qur`an sebagai firman Allah menghadirkan gambaran berbagai episode terkait keadilan.

Allah Subhānahu wa Ta’āla memberikan bimbingan penegakkan keadilan. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” (QS. al-Nisa [4]: 58). “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran,” (QS. al-Naḥl [16]: 90). “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Māidah [5]: 8). “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan,” (QS. al-Nisa [4]: 135)

Allah memerintah untuk menetapkan hukum dengan adil. Allah memerintah adil, melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Orang beriman harus menegakkan keadilan dan menjadi saksi yang adil. Tidak boleh kebencian mendorong untuk berlaku tidak adil. Penegakkan keadilan dan menjadi saksi tersebut harus dilakukan karena Allah. Menegakkan keadilan dan menjadi saksi yang benar meski terhadap diri sendiri, ibu bapak, dan kerabat kita.

Apa yang Allah bimbingkan kepada manusia adalah untuk kebaikan mereka di dunia dan akhirat. Perlakuan tidak adil tentu akan menjadi kecelakaan dan kerugian terutama di akhirat. Dalam suatu hadits riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa kepemimpinan merupakan amanah. Bila tidak ditunaikan akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari Kiamat. “Kehinaan dan penyesalan tersebut ialah bagi orang yang tidak punya kepantasan terhadapnya. Atau bagi orang yang punya kecakapan akan tetapi tidak berlaku adil. Maka Allah Ta’ala akan menghinakan dan memperlihatkan kejelekannya pada hari Kiamat. Orang itu pun menyesal pada apa yang ia melalaikannya,” demikian penjelasan Imam Nawawi.

Pada zaman Rasulullah ada seorang perempuan mencuri. Pihak keluarga pun berusaha menyelamatkannya agar tidak dihukum. Mereka mengutus Usamah untuk memohon kepada Rasulullah agar tidak dihukum. Maka Rasululllah shallallāhu ‘alaihi wa sallam berkhutbah: “Hai manusia! Hanya saja kerusakan orang-orang sebelum kalian adalah ketika orang mulia mencuri maka mereka membiarkannya. Akan tetapi ketika orang lemah mencuri maka ditegakkan hukuman. Demi Allah! Seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri tentu Muhammad akan memotong tangannya.” Sabda Rasul ini paling tidak memberikan dua pengajaran; pertama, keberadaan kelaliman merupakan sumber kerusakan suatu masyarakat, dan kedua, Rasulullah sangat memperhatikan keadilan. Meski terkait anak sendiri bila melanggar akan dilakukan penegakkan hukuman.

Hal itu diikuti pula oleh para khalifah setelahnya. Manakala Khalifah Abu Bakar rhadhiyallāhu ‘anh sakit, yang itu dekat dengan kewafatannya, beliau berkata kepada keluarga: “Lihatlah apa yang bertambah pada hartaku setelah aku memegang kepemimpinan. Berikanlah kepada khalifah setelahku. Maka sesungguhnya aku telah menganggapnya halal.” Mengetahui hal ini maka Umar pun berkata: “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Sungguh akan lelah orang setelahnya.” Apa yang dilakukan Abu Bakar rhadhiyallāhu ‘anh merupakan cermin kesadaran kepemimpinan yang baik. Beliau menyadari benar bahwa kepemimpinan bukan untuk menumpuk kekayaan, apalagi dengan jalan yang tidak benar. Kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan.

Satu waktu ada dua orang yang berselisih menghadap Amirul Mukminin Umar bin al-Khathab rhadhiyallāhu ‘anh. Maka beliau duduk di atas lututnya dan berkata: “Ya Allah! Bantulah aku untuk memutuskan diantara keduanya. Sesungguhnya diantara mereka berdua akan mengembalikanku dari agamaku.” Khalifah Umar memahami benar amanah keadilan yang harus ditegakkan pemimpin. Manakala yang berselisih akan saling berupaya mencari kemenangan maka Umar memohon kepada Allah untuk diberikan bimbingan dan kekuatan menghadapinya. Khalifah Umar memohon bantuan kepada Allah untuk dapat mewujudkan keadilan.

Ada seorang pegawai Khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Aziz yang meminta kewenangan lebih untuk menindak orang-orang yang berlaku curang. Maka Khalifah menjawab: “Amma ba’d! Yang paling aneh diantara yang aneh ialah permintaan ijinmu kepadaku untuk menyiksa manusia. Hal itu seolah-olah aku mempunyai tameng untukmu dari siksa Allah. Seumpama ridoku kepadamu akan menyelamatkanmu dari murka Allah ‘Azza wa Jalla. Maka lihatlah orang yang bertanggung jawab terhadap sesuatu dengan bukti kebenaran. Ambillah ia dengan apa yang ditegakkan dengan bukti. Siapa yang menetapkan kepadamu sesuatu maka ambillah apa yang ia tetapkan. Siapa yang mengingkari maka mintalah bersumpah kepada Allah Yang Maha Agung dan biarkan jalannya. Demi Allah! Adalah ketika mereka bertemu Allah dengan pengkhianatannya lebih aku sukai dibanding aku berjumpa dengan-Nya dengan mempertanggung-jawabkan darah-darah mereka.”

Penegakkan keadilan, meski itu terhadap diri dan keluarga, akan menghasilkan kebaikan di dunia dan akhirat. Semakin tinggi dan luas lingkup penegakkan keadilannya maka akan banyak pula kebaikan yang didapatkan pelakunya. “Ketika sultan selamat dari kelaliman maka keutamannya tidak akan tertahan, martabatnya terus bertambah. Ia akan mengalahkan orang-orang yang senantiasa salat malam dan shaum di siang hari. Karena manfaat mereka – yang salat dan shaum tadi – tidak berakibat kepada yang lainnya. Manfaatnya tidak akan melampaui. Tetapi dengan pemimpin adil maka para ahli ibadah dapat beribadah, para pedagang dapat bepergian, dan para pelajar akan sibuk mencari ilmu. Maka seolah-olah pemimpin tersebut beribadah kepada Allah dengan ibadah semua yang dipimpinnya,” demikian uraian Ibnu al-Jauzi. (/Yusup Tajri)

Reporter: Reporter Editor: admin