oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar (Ketua HMK PP PERSIS)
Kekalahan Turki Usmani dalam Perang Dunia I (1914-1917) dari Inggris dan sekutunya telah mengubah peta politik di Timur Tengah. Usmani yang semula menjadi penguasa atas kawasan ini harus kehilangan banyak wilayah di bawah kekuasaannya di Timur Tengah, tidak terkecuali kawasan Baitul Maqdis (Islamicjerussalem). Kawasan ini sudah sejak lama menjadi incaran Inggris dengan alasan ingin merelokasi orang-orang Yahudi yang bermasalah di Eropa; walaupun mungkin motif agama dan balas dendam Perang Salib ada di belakang itu.
Akan tetapi, berkali-kali Sultan Abdul Hamid menolak permintaan Inggris dan komunitas Yahudi untuk membangun pemukiman resmi dan permanen untuk Yahudi di Baitul Maqdis, walaupun posisi Usmani sudah semakin lemah saat itu.[1] Setelah kalah dalam Perang Dunia I, Usmani tiada kuasa lagi mencegah ketika Arthur Balfour mengeluarkan pengumuman bolehnya orang-orang Yahudi membangun pemukiman di kawasan ini, karena saat itu Baitul Maqdis secara de jure berada di bawah kekuasaan Inggris.[2] Pemberian Inggris atas wilayah Baitul Maqdis dan beberapa kawasan di sekitarnya yang kemudian diberi nama Palestina kepada Zionis-Yahudi ini merupakan bagian dari kesepakatan atas dukungan Zionis internasional terhadap Inggris pada Perang Dunia I.
Sejak tahun 1917 ini dibuat suatu kesepakatan aneh yang tidak pernah terjadi dalam sejarah antara Inggris dengan Yahudi. Tepatnya tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour menjanjikan kepada bangsa Yahudi bahwa mereka akan dibangunkan tanah-air khusus bagi bangsa Yahudi di kawasan yang oleh Inggris dinamai Palestina. Ini jelas aneh. Bangsa Yahudi tidak pernah menghuni kawasan ini; tidak pernah juga ikut menaklukkannya, walaupun Yahudi berada di pihak Inggris pada Perang Dunia I. Tiba-tiba bangsa yang tidak punya hak apa-apa di tanah ini ingin membangun negaranya di sini. Dari sinilah kezhaliman dimulakan di Baitul Maqdis. Apalagi pada tanggal 9 Desember 1917 Jendral Allenby berhasil menaklukkan Baitul Maqdis dan menganggapnya sebagai kemenangan Perang Salib.[3]
Kejatuhan Baitul-Maqdis ke tangan Inggris ini kemudian secara bertahap diikuti dengan runtuhnya Kekhalifahan Usmani di Istanbul. Mula-mula Turki Muda berhasil melemahkan peran Khalifah yang kalah perang hanya sebagai simbol keagamaan. Akan tetapi kemudian pada bulan Maret 1924, secara resmi institusi kekhalifahan dihapuskan dan didirikan Negara Turki sekuler sebagai suatu negara bangsa. Dalam banyak riset disebutkan bahwa keruntuhan Usmani ini lebih disebabkan semakin melemahnya kekuasaan Khalifah daripada disebabkan karena kekalahan dalam perang. Salah satunya karena semakin kokohnya gerakan Turki Muda yang berkolaborasi dengan Inggris dan Zionis Yahudi yang menggerogoti kekuasaan Khalifah.[4]
Runtuhnya kekhalifahan Usmani menyebabkan situasi di Baitul Maqdis semakin memburuk. Inggris melepaskan kawasan Baitul-Maqdis secara keseluruhan dari Syria sesuai dengan kesepakatan dengan Prancis tahun 1916 (Perjanjian Sykes-Picot) dan membentuk kawasan sendiri setelah kawasan ini ditaklukkan yang dinamakan “Palestina”.[5] Kawasan ini, termasuk Baitul Maqdis di dalamnya, setelah dikuasai Inggris kemudian diserahkan kepemimpinannya kepada seorang Yahudi bernama Herbert Samuel antara tahun 1920-1925. Sampai berdirinya Negara Israel pada tahun 1948, penguasa-penguasa di Palestina yang diangkat Inggris semuanya dalam rangka memuluskan misi pendirian negara bagi orang-orang Yahudi dan mengusir bangsa Arab-Baitul Maqdis dari tanah mereka sendiri.[6]
Runtuhnya Kekhalifahan Turki Usmani dan jatuhnya salah satu warisan umat Islam sedunia, yaitu Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis menjadi perhatian tersendiri bagi umat Islam, bukan hanya di kawasan tetapi juga di seantero dunia Islam, tidak terkecuali di Indonesia; walaupun antara tahun 1917 sampai 1945, situasi di dalam negeri Indonesia pun tidak kalah genting. Rakyat Muslim Indonesia tengah menghadapi masa akhir kolonialisme bangsa Eropa, terutama Belanda yang telah lama mengcengkramkan kekuasaannya di tanah yang berpendudukan mayoritas Muslim ini. Oleh sebab itu situasinya kurang lebih sama; sama-sama sedang dijajah. Situasi yang sama-sama sedang dalam kolonialisme ini tidak menyebabkan umat Islam Indonesia kehilangan sensitivitas dan kepedulian kepada umat Islam di belahan bumi lain; apalagi menyangkut salah satu warisan umat Islam, Masjidil-Aqsha yang disucikan.
Kalau memang umat Islam Indonesia juga memberikan perhatian terhadap masalah Baitul-Maqdis ini, dalam situasi terjajah ini apa yang bisa dilakukan umat Islam Indonesia? Apa yang mendorong mereka melakukan hal tersebut? Juga bagaimana reaksi pemerintah Hindia Belanda terhadap aksi-aksi umat Islam Indonesia atas penderitaan saudara mereka di Baitul-Maqdis?
Dengan mengungkap masalah-masalah tersebut diharapkan para pembaca dapat menemukan jejak sejarah atas sikap rakyat dan para pemimpin Indonesia terhadap masalah-masalah di Baitul-Maqdis dan Palestina. Kisah ini juga menjadi dasar historis yang kuat terhadap berbagai sikap luar negeri pemerintah Indonesia setelah merdeka seperti penolakan pemerintah Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sikap ini merupakan sikap ideologis para pendiri negara ini yang apabila terjadi perubahan berarti terjadi pengkhianatan atas cita-cita luhur Kemerdekaan Indonesia.
Gagasan Pan-Islamisme Awal Abad ke-20 di Indonesia
Untuk menelusuri dasar sikap para aktivis dan umat Islam Indonesia pada umumnya terhadap masalah-masalah di dunia Islam terlebih dahulu harus diurai mengenai gagasan Pan-Islamisme yang pada abad ke-20 menjadi salah satu wacana yang cukup penting di kalangan para aktivis Islam. Pan-Islamisme adalah gagasan tentang persatuan umat Islam sedunia yang diserukan banyak pemimpin dan aktivis Islam seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi, dan lainnya.
Gagasan ini muncul setelah kolonialisme terhadap negeri-negeri Islam di Asia dan Afrika oleh negara-negara Eropa semakin kuat. Pada saat yang sama, kekuatan Turki Usmani yang selama berabad-abad memainkan peran sebagai negara adi daya yang melindungi banyak kawasan Islam semakin melemah sejak abad ke-19. Puncaknya terjadi saat kekalahan Usmani pada Perang Dunia I yang berujung runtuhnya Kekhalifahan Islam terakhir ini.
Gagasan Pan-Islamisme ini segera menjadi wacana hampir di semua kawasan Islam, baik yang sudah dijajah sejak lama seperti di kawasan Asia Tenggara ataupun yang baru saja direbut dari kekuasaan Usmani seperti di kawasan Timur Tengah. Umumnya gagasan ini bersemai di antara para pemimpin yang dipertemukan antara satu dengan yang lainnya. Titik-titik pertemuan paling penting adalah di Mekah saat melaksanakan Ibadah Haji dan di bangku-bangku perkuliahan seperti di Universitas Al-Azhar. Gagasan ini cepat menyebar ke mana-mana yang efeknya pada awal abad ke-20 semangat umat Islam untuk menggalang persatuan untuk memulihkan kembali kekuatan umat Islam menghadapi kolonialisme Barat mengalami peningkatan yang cukup tajam.
Di Indonesia, gagasan Pan-Islam ini dipopulerkan oleh para aktivis yang nanti oleh sebagian peneliti disebut sebagai kelompok Islam-modernis yang mendirikan gerakan-gerakan Islam seperti HOS Tjokroaminoto (pendiri Sarekat Islam), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Syaikh Ahmad Soorkati (pendiri Al-irsyad Al-Islamiyah), Ahmad Hasan (guru utama Persatuan Islam), dan lainnya. Gerakan yang mereka dirikan di Indonesia memang tidak secara khusus untuk mengkampanyekan gagasan Pan-Islam, tetapi untuk memperjuangkan nasib umat Islam Indonesia yang tengah dijajah oleh Balanda.
Akan tetapi, Pan-Islamisme menjadi salah satu wacana yang sering mereka munculkan apabila berbicara mengenai masalah di dunia Islam. Walaupun gagasan ini dipopulerkan oleh kalangan Muslim-modernis, namun di kalangan Muslim tradisionalis yang di Indonesia diwakili oleh Nahdhatul Ulama (NU) pun gagasan ini diterima. Artinya semua umat Islam sacara gagasan menyetujui harus adanya persatuan di antara umat Islam sebagai perwujudan dari keharusan berjamaah yang diwajibkan bagi kaum Muslim.
Salah satu contoh respon terhadap persatuan umat Islam yang ditunjukkan oleh para aktivis Islam di Indonesia ini adalah apa yang mereka lakukan saat kekhalifahan Usmani runtuh. Sarekat Islam sebagai pelopor gerakan Islam yang banyak memberikan perhatian pada masalah-masalah politik segera memberikan respon atas keruntuhan kekhalifahan Islam terkhir ini. Dalam beberapa edisi majalahnya, Sarekat Islam menunjukkan sikapnya terhadap runtuhnya Kekhalifahan Usmani. Tidak hanya sampai di situ, Sarekat Islam juga menggagas Kongres Al-Islam yang bertujuan untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan gerakan Islam di Indonesia. Dalam kongres-kongres ini masalah runtuhnya kekhalifahan Islam menjadi salah satu pembicaraan penting. Kongres ini kemudian berkembang menjadi kongres yang diselenggarakan oleh seluruh organisasi Islam di Indonesia.
Begitu juga ketika ada undangan konfrensi internasional yang membicarakan mengenai masalah kekhalifahan Islam ini, dikirimkan pula utusan-utusan menghadirinya, baik di Mekah maupun di Mesir. Walapun konferensi-konferensi tersebut belum sampai melahirkan kekhalifahan baru, namun semangat persatuan umat Islam dari para aktivis Islam di Indonesia terlihat amat besar.
Mereka bahkan melihat bahwa gagasan nasionalisme sempit yang hanya mementingkan kepentingan suatu bangsa tertentu sebagai sesuatu yang tidak Islami. Sikap ini menjadi dasar penting yang akan membentuk persepsi para aktivis Islam di Indonesia ini terhadap masalah Baitul Maqdis. Artinya, sikap terhadap Baitul Maqdis merupakan konsekwensi lanjutan dari sikap dasar aktivis Islam di Indonesia terhadap masalah dunia Islam secara umum.
Selain sikap terhadap masalah persatuan dunia Islam, pandangan-pandangan para aktivis Islam terhadap masalah Baitul-Maqdis juga didasari oleh solidaritas dari sesama negara jajahan. Para aktivis Islam di Indonesia menghadapi musuh yang sama dengan yang dihadapi oleh penduduk Baitul-Maqdis, yaitu bangsa Eropa. Dukungan terhadap nasib penduduk Baitul-Maqdis di sisi lain juga memberikan semangat perlawanan terhadap Belanda di Indonesia semakin kuat. Dorongan ini menambah semangat kemerdekaan semakin membara. (bersambung, klik disini)
[1] Muhsin Muhammad Shalih, Dirâsah Manhajiyyah fî Al-Qadhiyyah Al-Filisthîniyyah, (Kuala Lumpur: Fajar Ulung, 2000) hal. 31
[2] Ibid. hal. 34
[3] Ibid hal. 34
[4] Eugene Rogan, The Fall of the Khilafah, (Jakarta: Serambi, 2016) hal. 467
[5] Muhsin Muhammad Shalih, Op. Cit. Hal. 50
[6] Ibid. hal. 35