Ustadz Aceng Zakaria; Sang Maestro Nahwiyyah

oleh Reporter

21 Januari 2020 | 06:09

Nama Ustadz Aceng Zakaria sudah tidak asing lagi dalam dunia ilmu bahasa Arab. Pria kelahiran Garut 72 tahun yang lalu ini sangat monumental dengan berbagai karya dan pengabdiannya. Dalam bahasa Arab tercatat puluhan kitab telah beliau susun dan dipakai banyak kalangan. Terlebih dalam bidang Nahwiyyyah beliau berhasil menyusun kitab yang dinamai dengan al-Muyassar.
Dalam acara Festival Kampus Staipi Garut hari ini (Jumat 29 November 2019) diselenggarakan workshop Nahwiyah dengan narasumber Ustadz A. Zakaria. Keberadaan ustadz A. Zakaria di Staipi dan atau acara-acara kampus tentu sudah biasa. Namun, kehadiran sebagai pemateri workshop Nahwiyah ini merupakan peristiwa langka. Penulis, misalnya, kenal dengan buku al-Muyassar sejak tahun 1994, dan bertemu ustadz A. Zakaria lebih lama lagi. Akan tetapi untuk khusus menimba ilmu tentang buku tersebut secara langsung belum pernah dilakukan. Meski belajar di pesantren Persis sejak 1994 hingga 2000 pembelajaran saya dapatkan dari guru yang berguru terhadap ustadz Aceng. Kehadiran ustadz Aceng sebagai pemateri tema Nahwiyah ini tentu sangat berharga sekali.
Ustadz Aceng mengawali materi workshop dengan memberikan gambaran latar belakang Pendidikan beliau. Secara formal belajar pria asal Wanaraja ini hanya sampai Mu’allimin di Pajagalan Bandung. Di Mu’allimin pun beliau hanya menjalaninya selama 1 tahun. Pada masa itu Muallimin hanya 2 tahun, dan Tsanawiyyah 4 tahun. Ustadz Aceng menyelesaikan dua tingkat tersebut dalam dua kali ujian yang berjarak 2 minggu. Maka pria yang kini tinggal di Rancabango ini mempunyai 2 ijazah berbeda tingkat tapi tahunnya sama yaitu 1970. Lima tahun kemudian ustadz Aceng menjadi pengajar di pesantren tersebut, untuk kemudian ia kembali ke Garut menjadi ulama besar di Garut.
Percepatan pembelajaran ustadz Aceng bukan tanpa alasan. Ustadz Aceng sebelum ke Pajagalan telah menamatkan berbagai kitab pesantren. Menurut pengakuan beliau 10 kitab pesantren sudah dikuasai semenjak usia Sekolah Dasar. Bahkan, di usia tersebut sudah mengajar ilmu-ilmu keagamaan kepada usia yang lebih tua. Ketika memasuki Pajagalan maka hasil pembelajaran dan pengajaran sebelumnya diperlihatkan. Beberapa pengajar di Pajagalan sempat meragukan kemampuan ustadz Aceng. Karena seseorang yang berpangkat sersan mayor saja hanya diterima di tingkat Tajhiziyah (kelas persiapan sebelum Tsanawiyah). Namun, keraguan itu beliau jawab dengan menyelesaikan pembelajaran dan ujian dengan cepat dan tepat.
Keahlian beliau dapatkan bukan tanpa pengorbanan. Setiap belajar dan mengajar di siang hari maka pada malam harinya beliau memperdalam materi tersebut. Dalam paparan beliau disampaikan bahwa kemampuan itu beliau dapatkan dari hasil belajar dan mengajar. Dengan belajar dan mengajar tersebut beliau terkondisikan untuk terus menambah ilmu. Tidak hanya itu, beliau pun menulis bahan pelajaran dan pengajaran tersebut. Bahkan, untuk menambah ilmu pun beliau lakukan dengan debat. Bagi ustadz Aceng debat tersebut bukan untuk bertebah dada melainkan media untuk mencari ilmu dan kebenaran.
Wasilah berbagai jalan pembelajaran tersebut menempatkan ustdz Aceng menjadi ulama yang produktif. Hingga hari ini sudah 90 buku beliau tuliskan. Karya yang banyak tersebut tentu sangat menambah perbendaharaan keilmuan. Beberapa pemangku kampus semisal Prof. Didin Hafiduddin dari UIKA Bogor dan Prof. Syihabuddin dari UPI Bandung menyarankan agar beliau memproses untuk pemenuhan mendapatkan gelar doktor honoris causa. Namun tawaran tersebut tidak ditindaklanjuti oleh beliau. Beliau lebih tertarik untuk menetapi keadaan yang sedang dijalani hingga hari ini.
Kitab Nahwiyyah al-Muyassar adalah salah satu karangan ustadz Aceng Zakaria. Beliau tuliskan buku itu tahun 1982. Hasil dari pembelajaran di pesantren Garut dan Bandung, juga pengalaman mengajar mengantarkan keinginan untuk menyusun kitab Nahwu secara khusus. Dalam pandangannya kitab-kitab Nahwu yang ada belum menjadi jembatan yang mudah untuk mempelajari Bahasa Arab, terutama yang bukan orang Arab. Ada buku yang disusun dengan mengedepankan bahasan yang rumit, tidak ada definisi yang jelas, contoh-contoh yang itu-itu juga dan tidak mengarahkan kepada pengertian yang jelas, serta ada yang sulit difahami oleh bukan orang Arab. Buku-buku Nahwu tersebut dengan sendirinya tidak sistematis. Untuk itu beliau tertarik untuk menyusun al-Muyassar.
Ustadz Aceng mulai menyusun al-Muyassar dengan meringkas buku-buku Nahwu yang ada. Rumusan-rumusan tersebut ia skemakan untuk lebih memudahkan. Bahasa-bahasa yang tidak dapat dimengerti beliau sederhanakan. Definisi yang belum ada maka beliau buat. Susunan pun dibuat semudah dan sesederhana mungkin. Ia awali pembahasan dengan huruf, kalimat, dan jumlah. Huruf ia kelompokkan menjadi ma’ani dan mabani. Kalimat dibagi kepada Isim,  Fi’il, dan Huruf. Jumlah ia bagi kepada Ismiyyah dan Fi’liyyah. Kemudian tahap selanjutnya ia sampaikan macam-macam Isim dan kedudukannya, juga macam-macam Fi’il. Di tahap akhir ia uraikan mengenai kedudukan kalimat yang marfu, manshub, dan majrur.
Al-Muyassar yang dibedah di Festival Staipi sekarang adalah jilid pertama. Beliau menyusun kitab Nahwu ini hingga 3 jilid. Di samping itu, pembelajaran Nahwu pun beliau buat menjadi paket 40 dan 20 jam. Bahkan untuk Nahwu ini dibuatkan dalam bentuk mahfuzhat (format hafalan bahasa Arab yang sederhana). Tidak sampai itu, beliau pun menyusun pula saudara kembar Nahwu yaitu Ilmu Tasrif. Untuk Tasrif pun beliau susun menjadi 3 jilid. Untuk masing-masing jilid pertama saja maka pembelajar akan mudah untuk menguasainya. “Kalau al-Muyassar jilid pertama dikuasai maka 60% perbendaharaan bahasa Arab akan dikuasai. Sesianya sekitar 30% di jilid kedua, dan 10 % di jilid terakhir,” papar ustadz Aceng. 
Kemudahan ini memang bukan sekedar isapan jempol. Dalam suatu video di media sosial ustadz Dr. Firanda Adireja menyarankan kepada jamaahnya untuk belajar nahwu melalui al-Muyassar. Bahkan ustadz M. Abduh Tuasikal membuat kajian khusus pembelajaran nahwu al-Muyassar secara berseri yang kemudian diviralkan lewat media sosial. Beberapa minggu yang lalu, sewaktu ustadz Aceng di Jogjakarta, datang beberapa ustadz yang meminta ijazah pengajaran al-Muyassar. Padahal ustadz-ustadz tersebut belum pernah belajar di pesantren Persis dan baru ketemu dengan Ustadz Aceng.
Di akhir bahasan Ustadz Aceng menjelaskan bahwa penamaan al-Muyassar adalah untuk memudahkan. Terlebih menurut beliau bahwa bahasa Arab itu memang mudah, bahkan jujur. Berbeda dengan bahasa lain yang kadang antara penulisan dan pembacaan itu berbeda. Beliau pun menyarankan bahwa dalam mempelajari bahasa Arab harus diyakini bahwa itu mudah. (Yusup Tajri)

Reporter: Reporter Editor: admin