Wabah Pandemik dalam Manuskrip Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath-Thā’ūn Karya Ibnu Hajar

oleh Reporter

29 April 2020 | 10:17

Naskah Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath-Thā’ūn Yang artinya “pemberian bantuan kepada para pederita penyakit tho’un” adalah salah satu Karya Al- Imam Al- Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqallany (w. 852 H/1448 M) yang sangat mengagumkan. Secara pendekatan disiplin ilmu filologi sebagaimana dijelaskan Ahmad ‘Isham ‘Abd al- Qadir al-Katib (pentahkik“Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath- Thā’ūn”), penulisan naskah ini sempat terhenti beberapa waktu dan baru selesai tahun 833 H. sebagaimana yg dijelaskan oleh pentahkiknya manuskrip ini ada empat salinan naskah yang tersebar di berbagai tempat, yaitu: Pertama, Perpustakaan al-Auqaf asy-Syarfiyah, Aleppo, kedua, Naskah Perpustkaan Dar al-Kutub azh-Zhahiriyah, Damaskus, ketiga, Naskah Perpustakaan Hagia Shopia, Sulaimaniyah, Istanbul, keempat, Naskah Perpustakaan al-‘Utsmaniyah, Aleppo.

Naskah tersebut ditulis sesaat setelah Al- Imam Al- Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqallany kehilangan ketiga anak perempuan yang sangat dicintainya, yaitu Fathimah, Zeinah dan Gholiyah. Mereka meninggal dunia akibat terserang penyakit yang ganas dan mematikan yang tengah melanda negerinya yaitu wabah penyakit Tho’un. Selanjutnya, latar belakang Ibn Hajar menulis naskah ini juga karena banyaknya pertanyaan dan permintaan dari kolega-koleganya untuk mengumpulkan informasi seputar pandemi Tha’un, yaitu dengan memberi penjelasan atasnya, dan mempermudah makna dan pemahaman atasnya, serta aturan (hukum) atasnya.

Arwin Juli Rakhmadi Butar butar dalam buku yang ditulisnya, yaitu Kepustakaan Medis-Pandemik di dunia Islam (2020), menjelaskan bahwa Al- Imam Al- Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqallany dalam Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath-Thā’ūn mencantumkam kerangka pembahasan naskah tersebut berupa bab-bab dan fasal- fasal yang ditulisnya berikut ini ;

Bab pertama: Tentang mabda’ Tha’un. Ada 4 fasal: (1) penjelasan bahwasanya ia menular di kalangan orang- orang dahulu, (2) penjelasan bahwa wabah itu rahmat bagi umat Nabi Muhammad Saw, (3) penjelasan tentang orang- orang yang tertular di zaman dahulu, dan (4) penjelasan apa-apa yang rumit tentangnya.

Bab kedua: tentang terminologi. Ada 9 fasal: (1) tentang asal-usul kata Tha’un, (2) penjelasan bahwa Tha’un lebih spesifik dari wabah, (3) hadis-hadis terkait dan penjelasan bahwa ia merupakan kejahatan Jin, (4) tentang jawaban atas problematika yang muncul, (5) tentang tata cara mengkompromikan antara statemen “ikhwanikum” dan “a’da’ikum”, (6) penjelasan bahwa Jin menguasai dan memaksa manusia, (7) hikmah tentang penguasaan Jin, (8) tetang doa-doa (zikir) yang akan menjaganya dari tipu daya Jin, lalu penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an, dan doa-doa Nabi saw. (9) penjelasan hal-hal rumit dalam bab ini.

Bab ketiga: penjelasan bahwa Tha’un itu ‘syahadah’ bagi umat Muslim. Ada 10 fasal: (1) hadis-hadis terkait, (2) dalil bahwa syahadah diperoleh dengan niat, (3) makna syahid, (4) tentang jawaban siapaun yang berdoa dengan syahadah bersamaan memperdayakan orang-orang kafir, dan harapan maksiat akan terhalang. (5) tentang dalil tingkatan dan keutamaan para syahid. (6) tentang bahwa syahid di medan perang lebih utama dari semua syahid tanpa terbunuh kecuali Tha’un, maka ia terhitung syahid juga. (7) tentang syarat-syarat dikategorikan syahid dalam wabah Tha’un dibandingkan dengan syahid di medan perang. (8) tentang jawaban doa Nabi Saw untuk kota Madinah yang tidak dimasuki Tha’un. (9) tentang jawaban atas hadis kondisi Tha’un sebagai rahmat atau syahadah, dan penjelasan tentang kebanyakan sebab-sebab terjadinya Tha’un.(1) penjelasan tentang apa-apa yang rumit pada bab ini.

Bab keempat: hukum suatu negeri yang terjadi Tha’un. Ada 4 fasal: (1) penahanan keluar dari suatu daerah dengan melarikan diri. (2) tentang kisah Umar bin Khattab tatkala pulang dari perjalanan ke Syam dimana di Syam terjadi Tha’un, informasi tentang Abdurrahman bin Auf tentang hal itu, perbedaan para sahabat tentang hal itu dan ulama sesudah mereka, penjelasan (hukum) orang yang keluar dengan melarikan diri (meninggalkan desa) atau berniat melarikan diri dan bantahan atasnya, dan kombinasi dua hadis terkait. (3) penjelasan tentang hikmah terhadap larangan keluar dari suatu negeri yang terjadi Tha’un. (4) penjelasan apa-apa yang problematik dalam bab ini.

Bab kelima: tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap Tha’un tatkala telah mewabah. Ada 5 fasal: (1) adakah dianjurkan berdoa agar wabah itu hilang atau tidak? Jika dianjurkan, adakah dianjurkan berkumpul jika telah mewabah secara umum? Jika tidak dianjurkan, adakah mencukupi kunut nazilah? Ataukan dikiyaskan dengan kunut nazilah yang dianjurkan berpuasa sebelumnya? Lalu adakah dianjurkan keluar ke lapangan seperti halnya salat istisqa’? (2) jika Tha’un telah mewabah secara umum harus ditakuti ataukah tidak? (3) tentang berhati-hati pada saat terjadi Tha’un dan penyakit-penyakit lainnya, lalu pembahasan tentang penyenbuhan dan obat-obatan. (4) adab (etika) terhadap orang yang tertimpa musibah Tha’un, yaitu berdoa kepada Allah memohon kesehatan, bersabar, rida, dan berbaik sangka kepada Allah. Lalu adab tatkala berobat dan keutamaannya, dan lain-lain. (5) penjelasan tentang apa-apa yang problmatis pada bab ini.

Adapun bagian akhir buku (khatimah), berisi informasi tentang pandemik Tha’un yang pernah terjadi dalam Islam, dan sekilas tentangnya. Jika diringkas, secara umum naskah ini membahas 3 hal, yaitu: pertama, tentang penyakit Tha’un. Kedua, tentang obat-obatan. Ketiga, tentang kepustakaan penyakit Tha’un.

Akademisi UIN Syarif Hidayatullah yang juga filolog Prof Oman Fathurahman menjelaskan, salah satu yang dibahas oleh Ibnu Hajar dalam Naskah Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath-Thā’ūn ini adalah pentingnya menghindari kerumunan.

Menurut Kang Oman, Ibnu Hajar menekankan tentang pentingnya 'social distancing' karena wabah tha'un sangat berbahaya dari segi penyebarannya. Oleh karena itu, dianjurkannya untuk menghindari kerumunan. Hal ini dalam pemahaman sekarang dinamakan sebagai social distancing. Maknanya, tetap harus ada ikhtiar untuk melindungi diri, keluarga, dan sesama warga dalam menghadapi wabah. Naskah itu juga menganjurkan umat Islam untuk mengonsumsi makanan bergizi serta rutin menjalani pola hidup sehat.

Menurut Kang Oman, pesan al-Asqalani ini dapat diartikan sesuai dengan konteks zaman kini. Misalnya, melakukan vaksinasi (bila ada) atau meminum suplemen vitamin. "Poinnya adalah, kita diwajibkan untuk berusaha," kata Kang Oman.

Pandangan penulis secara ikhtishar, langkah solusi dalam menghadapi wabah pandemik sebagaimana terdapat dalam Naskah Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath-Thā’ūn Ibnu Hajar al‘Asqallany, antara lain; Pertama, Isolasi, yaitu hindari dan jauhi apapun yang bisa membuat terinfeksi wabah tersebut. Kedua, Take Care of your health, yaitu jaga kesehatan dengan baik sebagai modal hidup di dunia dan akherat. Ketiga, Face mask, Jangan menghirup udara yang sudah tercemar dan membawa kuman wabah tersebut. Keempat, Social distancing, jangan mendekat atau berdekatan dengan orang yang sudah terkena wabah tersebut. Kelima, Positive thinking & Optimistic, Buang pikiran dan perasaan buruk jangan terpengaruh oleh ramalan, fantasi, dsb. Keenam, Gabungkan usaha aktif dengan Iman dan Tawakal kepada Allah, tidak fatalistik dan tidak pula angkuh. Ketujuh, mengambil keputusan dan pilihan yang rasional dengan mempertimbangkan maslahat dan mudarat.

Dalam pandangan Al- Imam Al- Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqallany dalam karya monumentalnya, Naskah Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath-Thā’ūn ini seolah-olah memberikan pesan tersurat dan tersirat bahwa wabah itu adalah sejenis penyakit (pandemik) yang menular di tengah masyarakat, sejatinya wabah sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman, bersabar, dan rida.  Walohu a’lam Bish Showab

 

***

Penulis: Dr Uus Rustiman Lc.,M.Hum
[Dosen Tetap Sastra Arab Departemen Filologi & Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UNPAD]

Reporter: Reporter Editor: admin