Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya membangun tempat (bangunan) di lahan pemerintah terus disewakan oleh yang membangun? Ade Hidayat_Pameungpeuk.
Jawaban:
Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 2021 tentang “Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah” dijelaskan, bahwa tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, bukan tanah wakaf, bukan tanah ulayat dan/ atau bukan merupakan asset barang milik negara/ barang milik daerah.
Kemudian pasal 2 ayat (2) tanah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh negara dapat memberikannya kepada perorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah sesuai dengan peruntukan dan keperluannya, atau memberikannya dengan hak pengelolaan.
Kemudian dalam peraturan tersebut dijelaskan secara rinci tentang hak pengelolaan, hak guna usaha, hak guna bangunan dan pakai atas tanah. Terkait dengan hak guna bangunan disebutkan sebagai berikut:
Hak guna bangunan di atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri. Hak guna bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri berdasarkan persetujuan hak pengelolaan. (Pasal 38 ayat 1 dan 2)
Perpindahan hak milik telah diatur dalam Islam, baik melalui jual beli, sewa menyewa, hibah, waris dan lain-lain. Perpindahan harta dengan cara yang tidak dibenarkan dikhawatirkan jatuh kepada haram atau cara yang batil. Allah swt berfirman,
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ...
"Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu …" (al-Nisa' [4]: 29)
Berdasarkan uraian di atas, tanah milik pemerintah diperbolehkan untuk digarap apabila resmi mendapatkan hak pengelolaan atau hak lainnya sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Terkait mendirikan bangunan di atasnya dan menyewakannya, semuanya sudah diatur dalam perundang-undangan tersebut. Apabila sesuai kesepakatan dan tidak ada yang dilanggar, maka hukumnya boleh.
Kerjasama dalam bentuk pengelolaan, hak guna bangunan, atau hak guna pakai bisa termasuk kepada jenis-jenis transaksi yang dibenarkan dalam islam, seperti rahn (gadai), qardhu (pinjam meminjam), mudharabah atau musyarakah (kerja sama), atau ijarah (sewa). Di mana dari masing-masing pihak mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dalil-dalilnya antara lain sebagai berikut.
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ ...
"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …." (al-Ma'idah [5]: 1)
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ...
"… Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …" (al-Baqarah: 283)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
Dari Ibnu'Umar Ra berkata: Nabi Saw memperkerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja. (HR. al-Bukhari)
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا، وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا »
Dari Amr bin Auf al-Muzani, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR. Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi 3/28 no. 1352, hasan lighairih)
Dalam kerjasama tersebut tidak boleh ada pihak yang dirugikan, baik pemerintah maupun orang yang memanfaatkan lahan. Dalam qaidah fiqhiyah disebutkan:
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ
"Tidak boleh memadaratkan dan tidak boleh membalas kemadaratan.” (Metodologi Pengambilan Hukum Dewan Hisbah: 71)
Terkait pemanfaatan lahan pemerintah, sebaiknya difahami secara teknis peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak terjadi kesalahfahaman atau pelanggaran dalam transaksi dan kerjasama yang dilakukan masing-masing pihak.
Kesimpulan:
- Mendirikan bangunan di atas lahan pemerintah dan menyewakannya diperbolehkan apabila dilakukan dengan cara yang benar (sah), baik secara syar’i maupun hukum pemerintah (peraturan dan perundang-undangan)
- Mendirikan bangunan di atas lahan pemerintah dan menyewakannya tanpa seizin pemerintah hukumnya haram.
BACA JUGA:Hukum Menerima Hadiah dari Pegawai dengan Penghasilan Haram dalam Islam