Beredarnya Waria saat Ramadhan dan PSBB

oleh Reporter

13 Mei 2020 | 17:33

Bandung - peris.or.id, Saya teringat sebuah kisah pada masa Khalifah Umar Bin Khattab. Saat itu Madinah tengah dilanda wabah kelaparan kemudian terjadi pencurian seekor unta milik seorang laki-laki dari Muzainah oleh beberapa pembantu Hatib bin abi Baltha’ah. Lantas kejadian tersebut dilaporkan kepada Khalifah Umar dan digelarlah persidangan untuk mengadili perkara tersebut. Setelah diselidiki, rupanya  para pelaku terpaksa mencuri karena mereka kelaparan dan tidak tahu harus berbuat apa.
​Khalifah Umar menjatuhkan putusan agar Hatib bin Abi Batha’ah membayar ganti rugi sebesar dua kali lipat sehingga unta yang dicuri menjadi halal. Hal ini dikarenakan para pelaku berada dalam tanggungan Hatib dan kelaparan yang dialami mereka disebabkan oleh Hatib.
​Lalu apa hubungannya kisah tersebut dengan masih beredarnya waria saat bulan suci Ramadhan yang mestinya dihormati terutama oleh kaum muslim ditambah dengan himbauan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah?
​Telah menjadi rutinitas bagi pemerintah atau ormas islam ketika Ramadhan datang selalu ada penertiban ‘tempat-tempat hiburan’ agar tak beroprasi sebagai bentuk penghormatan bulan suci ini. Namun, Ramadhan kali ini seolah tak terdengar kegiatan tersebut dilakukan, mungkin karena memang pasca wabah pandemi covid-19 banyak tempat usaha yang diberhentikan dahulu atau media terlalu sibuk memberitakan pembebasan napi atau artis yang melakukan stay at home dengan menampilkan ke-serbamelimpahan mereka.
​Ditengah-tengah bencana wabah ini, terdapat banyak masyarakat yang kesulitan mencari rezeki karena sumber penghasilan mereka terputus dan akhirnya mencari jalan buntu. Seperti orang yang panik hampir tenggelam, dia akan meraih apapun yang ada didekatnya sekalipun itu hanya sebuah ranting pohon atau benda kubing sekalipun. Keadaan ini membuat masyarakat panik kesulitan bertahan hidup yang akhirnya membuat mereka melakukan apapun tak peduli dilarang atau tidak yang terpenting masih ada sesuap nasi untuk bisa dimakan esok hari.
​Beberapa waktu kemarin sempat viral kejadian seorang youtuber yang menge-prank sejumlah waria dan anak-anak dengan memberikan sembako yang berisi sampah. Waria yang menjadi korban melaporkan kejadian tersebut karena merasa dilecehkan. Saya menonton kejadian tersebut pada salah satu acara yang menayangkan bagaimana kepolisian bertindak dalam menangani kejahatan, seorang waria mengatakan “sampah, pinginnya berharap gitu dikasih mie, tahunya apa gitu. Saya Cuma pingin buat besok makan. Saya juga sadar bahwa pemerintah sedang PSBB tapi kalau saya gak cari makan mau dari siapa.”
​Terlepas dari hukum waria, kita harus bisa melihat bahwa mereka adalah manusia yang memiliki hak yang mesti dipenuhi seperti memperoleh pekerjaan, mendapatkan keamanan, kebutuhan yang terpenuhi dan lain sebagainya. Di negara kita hal tersebut dijamin oleh konstitusi yang dijabarkan dalam pasal 28 UUD 1945. Dalam islam konsep pengelolaan negara dikenalkan melalui fiqh siyasah. Dalam fiqh siyasah terdapat istilah maqashidu syariah, dimana yang menjadi salah satu kewajiban imam adalah hifdz mal dalam artian mengusahakan kecukupan sandang, pangan dan papan rakyatnya.
​Dalam kondisi pandemi seperti ini sebenarnya sudah ada Undang-Undang Karantina Kesehatan yang mengatur cara penanganannya. Menurut Undang-Undang Karantina Kesehatan ditengah kondisi bencana nasional kebutuhan pokok masyarakat ditanggung oleh pemerintah, namun seolah mangkir dari tanggungjawabnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar yang tak mengharuskan menjalankan kewajiban menanggung semua kebutuhan rakyatnya. Himbauan-himbauan dengan hastag #DiRumahAja begitu marak digaungkan, aktifitas masyarakat dibatasi dengan pemberlakuan PSBB namun tak ada jaminan pemenuhan kebutuhan mereka. Jika keadaan seperti ini tetap diberlangsungkan maka yang terjadi bangsa ini bukan hanya dihantam oleh pandemi covid-19 tapi juga dengan bencana kelaparan. Menjadi buah simalakama, seolah rakyat haruskan memilih, mati karena covid-19 atau karena kelaparan.
​Dalam kisah Khalifah Umar diatas, penanggungjawab yang digambarkan oleh sosok Hatin bin Abi Batha’ah harus bertanggungjawab dengan menerima hukuman atas perbuatan pembantunya sebagai tanggungannya. Dalam hidup bernegara, rakyat adalah tanggungjawab pemerintah. Maka kondisi masyarakat harus ditanggung oleh pemerintah. Kelaparan yang dialami oleh rakyat yang mengakibatkan dia melakukan hal-hal yang tak seharusnya sedikit banyaknya disebabkan oleh pemerintah jadi mestinya pemerintah memberikan solusi terbaik atas keadaanini. Bukankah konstitusi mengatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara?
​Beberapa waktu kebelakang saya menonton berita tentang sebuah desa di daerah Jawa Tengah yang menerapkan kebijakan karantina mandiri terhadap warganya yang berstatus ODP. Desa mengahruskan warganya yang berstatus ODP untuk tetap dirumah selama dua minggu dan sebagai jaminan kehidupan mereka, Desa menanggung kebutuhan dengan memberikan sembako bernilai Rp.50.000 perhari bagi setiap orang dan sembako itu diantarkan ke rumah-rumah waga setiap harinya. Dana tersebut diambil dari Anggaran Dana Desa, dan kebijakan tersebut berhasil, tak ada warga yang nakal nekat keluar rumah karena tak ada alasan mendesak yang mengharuskan mereka keluar.
Saya berpandangan bahwa hal ini menjadi contoh baik bagi pemerintah untuk menangani kondisi pandemi agar segera berakhir dan warga tak harus memikirkan perut mereka diesok hari. Pemerintah harus bekerjasama dari pusat sampai daerah memiliki satu tujuan dan bergerak kearah yang sama.  
​Pasca wabah pandemi covid-19 bukan hanya kesehatan yang diserang tetapi stabilitas ekonomi pun ikut menjadi korban. Hidup yang sulit menjadi lebih sulit. Hal ini menjadi penekan untuk seseorang melakukan hal yang tak semestinya dilakukan. Sebagai manusia biasa, seseorang yang memiliki profesi sebagai waria mungkin saja diidalam hati mereka bukan hendak tak menghormati bulan suci, bukan pula tak ingin mematuhi himbauan pemerintah untuk melakukan PSBB dengan DiRumahAja, tapi kebutuhan perut yang harus dipenuhi menuntut mereka untuk tetap beroprasi menjajakan diri demi sesuap nasi.
Oleh: Leli Novianti, S.H. - Staff Kantor konsultasi Bantuan Hukum PP Persis

Reporter: Reporter Editor: admin