Oleh:
M. Adli Hakim H.
(Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Analisis Kebijakan Publik PP Pemuda Persis)
Dunia Islam kembali dirundung nestapa menyaksikan hal yang terus berulang, brutalisme Israel terhadap warga muslim Palestina, yang lagi-lagi dilakukan di bulan suci Ramadhan. Diketahui, kekerasan dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil Palestina yang sedang melakukan aktivitas di kompleks masjid Al-Aqsa. Polisi Israel menembakkan peluru logam berlapis karet, gas air mata, dan granat setrum ke arah para pengunjuk rasa yang bersenjatakan batu. Lebih dari dua ratus warga Palestina terluka di luar masjid Al-Aqsa, wilayah Yerusalem Timur yang diduduki.
Media banyak menyiarkan latar belakang mengapa terjadi bentrokan, namun umat Islam tentunya mengetahui benar bahwa dari saat ke saat, dan tahun ke tahun, alasan dari pihak Israel tidak akan pernah bisa diterima. Mengapa? Karena, bagi masyarakat peradaban modern, tidak ada konflik atau bahkan bentrokan yang lebih penting daripada keselamatan warga sipil. Terlebih, aparat kepolisian di belahan dunia mana pun dimandatkan untuk melakukan tugas mengayomi dan memerhatikan prinsip Hak Asasi Manusia. Maka dalam kesempatan ini penulis sama sekali tidak tertarik untuk membahas mengapa kali ini Israel melakukan kekerasan tidak beradab, karena diduga kuat hanya di sanalah nilai-nilai kemajuan peradaban manusia tidak dikenal. Untuk bangsa yang tidak mengenal nilai peradaban, alasan bahkan tidak diperlukan.
Pada tulisan singkat ini penulis hanya mencoba menyoroti peristiwa hukum di dunia internasional yang terjadi beberapa waktu ke belakang, yang seharusnya pada saat itu lebih disoroti oleh banyak pihak khususnya di Indonesia. Pada 13 Agustus 2020 lalu, Israel menandatangani perjanjian perdamaian dan normalisasi penuh hubungan diplomatik dengan Uni Emirat Arab (UEA), yang dicomblangi (tentunya) oleh Amerika Serikat (AS) di bawah rezim Donald Trump. Maka UEA adalah negara arab pertama, setelah sekian lama (Mesir 1979 dan terakhir Yordania 1994), yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.
Peristiwa hukum ini adalah peristiwa yang besar dikarenakan, di samping substansinya, pihak-pihak yang menandatangani perjanjian normalisasi ini pun ternyata terus bertambah. Setelah UEA kemudian Bahrain pun melakukan normalisasi penuh dengan Israel pada 15 September 2020, bahkan dikabarkan Oman dan Maroko ikut menyusul. Perjanjiian perdamaian dan normalisasi antara Israel dan negara-negara arab ini yang kemudian mereka namakan sebagai Abraham Accord / Perjanjian Ibrahim.
Abraham Accord bisa dikatakan sebagai ambisi capaian politik luar negeri yang lama dinantikan oleh Israel, khususnya Netanyahu. Netanyahu pada saat itu mendapatkan banyak tekanan politik internal dari konsituennya untuk merealisasikan janji kampanye, yaitu aneksasi di Tepi Barat. Adapun bagi AS yang aktif selaku “mak comblang”, tidak terlepas dari kepentingan Donald Trump yang saat itu memerlukan resource untuk menghadapi Pemilu. Kaitannya jelas, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa siapa pun yang ingin pemimpin AS sangat memerlukan dukungan dari Israel, dengan cara menunjukkan “prestasi” bagi kepentingan negara tersebut.
Di sisi lain, negara arab yang menandatangani Abraham Accord memiliki kepentingan bekerja sama dengan negara Israel. Di samping berbagai hal, titik tekan yang dianggap kebutuhan mendesak dan menjadi prioritas utama politik luar negeri bagi blok teluk (Saudi, UEA, dkk.), adalah kerjasama keamanan dengan Israel untuk menghadapi musuh bersama yang paling diwaspadai. Musuh bersama itu adalah negara Iran yang semakin hari semakin meluas pengaruhnya. Dalam upaya menghadapi persaingan dengan Iran, maka UEA menganggap Israel-lah yang sanggup memberikan bantuan yang memadai.
Fakta demikian selayaknya menjadi kekhawatiran bagi umat Islam, karena negara-negara arab tersebut justru sibuk mempertahankan pengaruh dibanding menjaga solidaritas pada amanat bersama, yaitu kemerdekaan saudara-saudara kita di Palestina. Perbuatan UEA dan Bahrain melakukan normalisasi penuh hubungan diplomatik sangat mencolok, seolah dua pihak yang memiliki hubungan terlarang justru melakukan perselingkuhan secara terang terangan. Namun demikian, hanya sedikit pihak yang melakukan kajian atas pengaruh perjanjian damai antara negara-negara Arab dengan Israel bagi kemerdekaan rakyat Palestina. Hal ini tidak terlepas dari gencarnya framing dan endorse yang disampaikan oleh para diplomat, untuk memoles bahwa Abraham Accord adalah hal yang baik bagi rakyat Palestina.
Narasi yang disampaikan dan/atau dijual oleh diplomat UEA kepada publik (masyarakat muslim) adalah, “berkat Perjanjian Ibrahim/Abraham Accord ini kita berhasil memaksa Israel menghentikan aneksasi terhadap Palestina secara segera”. Hal ini mengacu kepada deklarasi Abraham Accord paragraf ke-4 yang menyatakan:
“we seek tolerance and respect for every person in order to make this world a place where all can enjoy a life for dignity and hope, no matter their race, faith, or ethnicity. Kami mengupayakan toleransi dan rasa hormat bagi setiap orang untuk menjadikan dunia ini tempat di mana semua dapat menikmati hidup yang bermartabat dan menjanjikan, tidak peduli ras, keyakinan, atau etnis mereka.”
Banyak pihak terbuai atas narasi yang dijual tersebut, tetapi coba kita lihat lebih jelas. Dengan ditandatanganinya perjanjian normalisasi penuh ini, Israel memiliki akses yang signifikan terhadap kebijakan politik luar negeri negara-negara Arab yang terikat sebagai pihak. Hubungan diplomasi tentu memiliki kompromi-kompromi tertentu yang harus dibangun agar kedua negara yang berhubungan tetap berjalan dengan baik.
Dalam hal ini, Palestina dalam posisi sulit. Sebagai contoh, saat ini hubungan Israel dengan Mesir sudah berjalan lama dan sudah cukup erat, terbukti dengan blokade Jalur Gaza yang dapat berjalan dengan baik dan terkendali sampai saat ini karena Mesir bekerjasama kooperatif dengan Israel. Shofwan Al-Bana, Kepala Prodi Ilmu Hubungan Internasional di FISIP UI, mengemukakan pendapatnya bahwa jika UEA dan negara arab lain mengikuti melakukan normalisasi penuh hubungan diplomatik, maka hal ini menunjukkan dukungan terhadap Palestina di negara-negara arab sudah berkurang, dikalahkan oleh prioritas strategis mereka untuk mengalahkan Iran.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa narasi-narasi manis yang disampaikan sebetulnya hanyalah jargon untuk menenangkan publik. Terlebih jika kita menelusuri bahasa narasi yang dipergunakan Israel kepada rakyatnya justru berbeda. Kepada rakyat Israel dinarasikan bahwa dengan Abraham Accord ini “we susppend the annectation”. Sangat berbeda dengan bahasa yang disampaikan kepada publik UEA dan masyarakat Islam. Maka diduga kuat perjanjian ini dipergunakan untuk menciptakan situasi yang memungkinkan agar Israel dapat melakukan aneksasi dengan cara yang jauh lebih sistematis, sebagaimana layaknya blokade Jalur Gaza di Mesir.
Qadarullah, sebagaimana didokumentasikan dalam Sirah Nabi saw., tidak perlu menunggu waktu lama untuk mengetahui bahwa Yahudi senantiasa menunjukan perbuatan tidak beradab –yang biasa mereka lakukan sejak zaman nabi Musa, yaitu mengingkari perjanjian. Terlepas bahasa apapun yang dijanjikan kepada publik, pada Jum’at lalu mata dunia dipertontonkan tindakan keji berupa kebrutalan aparat kepolisian Israel yang melukai ratusan warga sipil Palestina. Jargon manis Abraham Accord yang dikatakan memaksa Israel menghentikan segala tindak aneksasi runtuh dengan adanya peristiwa brutalitas terhadap warga.
Hal ini seyogianya difahami bersama oleh segenap umat Islam sebagaimana diwanti-wanti Al-Qur’an, bahwa bani Israel kafir tidak bisa dihentikan dari perbuatan-perbuatan tercela dan mereka senantiasa mengingkari janji, baik kepada Allah Swt. maupun kepada Rasul-Nya. Maka, sekali-kali kita tidak dapat mempercayai Yahudi yang tetap dalam kekafirannya. Adapun negara-negara Arab yang menjalin diplomasi dengan Israel, sudah jelas hanya mementingkan ambisi tanpa memperhatikan saudara-saudara di Palestina. Sangat disayangkan, peristiwa hukum internasional Abraham Accord tidak benar-benar menjadi perhatian sehingga seharusnya dapat dicegah dengan desakan umat muslim dunia. Kekerasan dan tindakan biadab akan terus terjadi terhadap warga Palestina, terlebih saat ini tindakan represif Israel bisa jadi merupakan buah dari perselingkuhan negara-negara Arab dengan Israel.
Atas perilaku brutalnya, Israel telah jelas melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB, melanggar hukum humaniter internasional, khususnya Konvensi Jenewa IV tahun 1949. Sebagai umat Islam, sudah selayaknya kita mengutuk keras perbuatan keji Israel dan senantiasa berlindung kepada Allah Swt.
Adapun pemerintah Indonesia, alhamdulillah segera bertindak tegas dan bersuara mengutuk keras tindakan Israel, dan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk melakukan tindakan tegas dan terukur atas pelanggaran yang berulangkali dilakukan Israel. Menurut hemat Penulis, jika negara-negara Arab dengan kepentingannya satu per satu meninggalkan Palestina, saatnya Indonesia mengatakan, “biar aku saja!”.
(dh)