Paradigma Silaturahmi dalam Konteks Pengembangan Kualitas Diri

oleh Fia Afifah

19 September 2025 | 17:04

Ishmah Azkiya Akhyar, S.Psi (Ketua PC Pemudi PERSIS Cibeber)

Silaturahmi mungkin bisa dikatakan sebagai ibadah sosial, karena menjalin dan mempererat hubungan antar manusia merupakan perintah agama yang mendatangkan kebaikan di dunia dan di akhirat, serta merupakan akhlak mulia yang dianjurkan untuk menjaga harmoni masyarakat dan mendapatkan Ridha Allah SWT.


Ibadah ini mudah dilaksanakan, hanya membutuhkan sedikit waktu, namun dapat membawa banyak manfaat. Aktivitas silaturahmi ini juga tidak sulit, sesederhana berkumpul bersama, makan bersama, atau sekedar saling bertukar cerita. Dengan perkembangan teknologi masa kini, silaturahmi juga bisa dilakukan secara virtual, tidak harus selalu bertemu secara fisik.


Selama ini, dampak positif dari silaturahmi hampir selalu dilihat dari segi terpeliharanya hubungan antar sesama manusia yang harmonis yang tentunya tidak bisa dipisahkan dari manusia yang lainnya. Sehingga jarang sekali dilihat dari konteks pengembangan kualitas diri pada individu.


Padahal, agar bisa membangun dan menjaga hubungan antar sesama manusia dengan baik, diperlukan berbagai keterampilan dan sikap tertentu dari setiap individu yang terlibat dalam interaksi kehidupan sosial tersebut.


Dalam konteks pengembangan kualitas diri individu, silaturahmi dapat menjadi media bagi pertumbuhan pribadi individu. Artinya, silaturahmi bukan hanya tentang menjaga dan memanfaatkan hubungan tersebut untuk belajar dari orang lain, tetapi juga menjadi pintu bagi ide-ide serta peluang yang dapat memajukan diri sendiri.


Melalui silaturahmi, kualitas diri individu dapat berkembang dalam aspek-aspek berikut ini:


1. Kecerdasan Spiritual

Akhir-akhir ini, pentingnya nilai-nilai khususnya nilai-nilai religious telah menjadi isu yang semakin menonjol. Tren ini ditandai dengan meningkatnya perhatian di kalangan profesional dan masyarakat umum tentang nilai-nilai agama. Di sisi lain, era modern telah menimbulkan kecemasan, keterasingan, kekerasan, egoisme dan depresi, tetapi semangat hidup manusia tidak dapat ditekan.


Masyarakat menginginkan sesuatu yang yang “lebih”, dimana hasrat untuk “menjadi penting”, “merasa dianggap” dan eksistensinya diakui. Hal ini tampaknya menimbulkan harapan baru pada fenomena spiritualitas yang kemudian diikuti dengan berkembangnya usaha-usaha yang bijaksana dan tepat, yaitu dengan menyuntikkan perspektif spiritual (Tart, 1977).


Sebagai ibadah sosial, silaturahmi seharusnya tidak hanya mampu meningkatkan kepekaan sosial individu, tetapi seharusnya juga dapat berperan dalam menumbuhkan nilai-nilai yang berkaitan dengan kebaikan dan keridhaan Allah SWT, yaitu nilai-nilai spiritual.


Kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya (hanif), memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta prinsip “hanya karena Allah” inilah yang disebut dengan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).


Momen silaturahmi adalah kesempatan untuk saling memaafkan, saling mengintrospeksi, dan juga memperkuat ikatan batin. Tradisi silaturahmi tidak hanya mempertemukan individu lintas usia, tetapi juga menjadi arena transmisi nilai yang kaya akan muatan spiritual, etika, dan psikologis.


Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya hubungan sosial yang sehat sebagai prasyarat terciptanya masyarakat yang damai dan penuh berkah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati. (Q.S. Al-Hujurat [49]: 10).


Ayat ini memperlihatkan bahwa persaudaraan dan perdamaian adalah dua pilar utama dalam kehidupan sosial Islam. Dengan demikian, silaturahmi tidak hanya berfungsi sebagai ajang nostalgia, tetapi juga merupakan strategi sosial berbasis spiritual untuk memperkuat ikatan ukhuwah dalam kerangka takwa.


2. Kecerdasan Intelektual

Interaksi yang positif dapat menciptakan pertukaran pikiran, perspektif, serta pengalaman dengan orang lain. Hal ini dapat membantu individu dalam mengembangkan kecerdasan intelektualnya. Kecerdasan intelektual (intelligence quotient) adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman, berpikir menggunakan proses-proses metakognitif, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar.


Komunikasi yang didasari oleh silaturahmi cenderung lebih positif dan konstruktif. Interaksi yang positif juga memungkinkan terjadinya dialog atau kerjasama yang positif. Melalui dialog, diskusi dan bekerja sama dengan orang lain juga dapat meningkatkan pemikiran kritis, memperluas pemahaman, serta menumbuhkan nilai-nilai penghargaan untuk meraih prestasi.


Alhasil, individu jadi memiliki potensi untuk meningkatkan kepuasan hidup (life satisfaction) sebagai hasil dari pengembangan diri.


3. Kecerdasan Emosional

Dalam era masyarakat modern saat ini, kompleksitas hubungan sosial, tekanan emosional, dan dominasi interaksi digital, kemampuan untuk mengelola emosi dan membangun relasi interpersonal yang sehat menjadi kebutuhan yang esensial.


Dalam istilah psikologi, kemampuan ini disebut dengan emotional intelligence (kecerdasan emosional), yaitu kapasitas untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri serta orang lain secara konstruktif.


Silaturahmi sesungguhnya dapat dikatakan sebagai ekosistem sosial yang mendukung pembentukan kecerdasan emosional tersebut. Silaturahmi bukan hanya ritual budaya atau ekspresi formalitas sosial, tetapi juga merupakan proses psiko-spiritual yang mencerminkan nilai empati, kesadaran diri, pengendalian emosi, dan kemampuan membangun relasi yang penuh kasih dan penghargaan.


Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “…. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisā [4]: 1)


Ayat ini menunjukkan bahwa silaturahmi bukan hanya etika sosial, tetapi juga bentuk ketakwaan kepada Allah SWT yang memiliki dimensi teologis yang dalam. Maka, silaturahmi ini dapat berperan sebagai mekanisme sosial dan spiritual untuk mengasah kemampuan afektif umat Islam dalam merawat harmoni dan solidaritas sosial secara berkelanjutan.


Praktik saling mengunjungi, berdamai, dan berbagi kebahagiaan menjadi bentuk nyata dari internalisasi kecerdasan emosional dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, dengan semakin meningkatnya kecerdasan emosional, maka individu yang melakukan silaturahmi dapat lebih mengelola emosi dan meminimalisir terjadinya konflik.


4. Komunikasi Interpersonal

Kegiatan silaturahmi seringkali menjadi media untuk saling berbagi cerita, pengalaman, dan informasi antar individu yang memperkaya komunikasi interpersonal. Pertemuan dalam rangka silaturahmi memberikan ruang bagi individu untuk memperkuat hubungan pribadi danmeningkatkan empati terhadap orang lain. Dalam kegiatan silaturahmi, komunikasi interpersonal dapat dikembangkan dan dilihat dari cara memuliakan tamu.


Berkaitan dengan memuliakan tamu, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklahdia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)


Dalam komunikasi interpersonal, memuliakan tamu dapat diartikan sebagai upaya memberikan perhatian, penghormatan, dan kesediaan untuk mendengarkan dengan penuh empati. Dalam prosesnya, setiap individu juga perlu berhati-hati dalam melakukan interaksi baik melalui komunikasi yang bersifat verbal maupun komunikasi yang bersifat non-verbal (emosional dan sosial).


Bahkan, dalam setiap interaksi, individu juga dihadapkan pada pilihan untuk berbicara atau diam. Jika memilih untuk berbicara, maka penting bagi individu yang bersangkutan untuk berbicara sesuai dengan norma kesopanan dan etika komunikasi yang baik.


Sementara, apabila memilih diam, bukan berarti menghindari komunikasi, tetapi memilih untuk tidak mengatakan hal-hal yang tidak membawa manfaat atau malah berpotensi merusak hubungan. Dalam beberapa situasi, diam terkadang menjadi pilihan terbaik.


Berkaitan dengan berbicara yang baik atau diam, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (H.R. Bukhari).


5. Kesehatan Mental

Silaturahmi sebagai penghubung emosional juga memiliki dampak positif pada kesehatan mental. Interaksi sosial yang semakin sering dapat menjadi katalisator utama dalam mengembalikan keseimbangan psikologis individu.


Seseorang yang menjalin silaturahmi yang baik akan dialiri dengan dukungan-dukungan sosial serta emosional yang tinggi. Hal ini juga tidak dapat dipungkiri akan berpengaruh juga pada peningkatan subjective well-being (kesejahteraan subjektif) individu.


Kehangatan yang di dapat dari teman, keluarga, atau bahkan jaringan sosial yang lebih luas lagi akan menciptakan rasa keterhubungan serta rasa diterima menjadi bagian dari masyarakat. Penerimaan sosial seperti ini akan meningkatkan self-esteem (harga diri) individu sehingga memberikan kesiapan dalam bersosialisasi, terciptanya interaksi sosial aktif dengan teman-teman yang meminimalisir dampak negatif dalam menghadapi berbagai tekanan.


Hal-hal seperti kecemasan dan stress dalam diri individu pun akan lebih mudah diatasi. Ketika individu sudah mengetahui cara mengelola stresnya, maka tingkat kebahagiaan meningkat dan berperan pula dalam meningkatkan subjective well-being dalam dirinya.


Silaturahmi juga memungkinkan individu untuk terhubung dengan orang lain, menciptakan ikatan emosional, dan merasa dihargai serta diterima dalam komunitas tertentu. Pada akhirnya, silaturahmi dapat mengurangi rasa kesepian, meningkatkan perasaan keterhubungan dan memberikan dukungan emosional.


Silaturahmi lebih dari sekedar bentuk komunikasi biasa. Silaturahmi adalah pola komunikasi yang mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, kepercayaan, dan saling mendukung. Sebagai bagian penting dari kehidupan sosial, silaturahmi memainkan peran yang besar dalam membangun hubungan yang harmonis, baik secara interpersonal maupun sosial.

BACA JUGA:

Pemudi PERSIS Cianjur Siap Ambil Bagian dalam Aksi Membasuh Luka Palestina

Reporter: Fia Afifah Editor: Fia Afifah Rahmah